Merdeka Belajar: Lebih dari Satu Kartini dan Kartono

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
21 April 2017 12:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi seorang perempuan yang sendiri. (Foto: Unsplash)
Seringkali tak mudah jadi perempuan. Berbeda dengan Kartini dan Kartono, di masa sekarang, perempuan bisa masuk ke sistem persekolahan yang sama, mendapat pelajaran yang sepadan.
ADVERTISEMENT
Namun saat kesempatan untuk putra dan putri seolah-olah sudah setara, pilihan pekerjaan dan kursi kepemimpinan di mana perempuan bisa berkarya, tetap masih jauh tertinggal.
Tak jarang serba salah jadi perempuan. Berbeda dengan Kartini dan Kartono, di masa sekarang, tingkat putus sekolah dan prestasi akademik perempuan cendrung lebih baik dari laki-laki.
Hanya saja, percakapan terpenting buat putri masih berkisar soal penampilan, tuntutan kepada para ibu dan istri adalah kesempurnaan dalam berbagai peran.
Sumber masalahnya mungkin diri kita sendiri. Perbedaan bukan sesuatu yang bisa dihilangkan. Sebagian perbedaan jenis kelamin sudah bawaan.
Tentu variasi antar sesama laki-laki dan sesama perempuan pun banyak, namun riset menunjukkan, struktur jaringan otak dan cara kerja laki-laki dan perempuan banyak berbeda.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, sejak mulai memegang pensil, perempuan menggambar banyak orang dan benda, laki-laki menggambar banyak aksi, sampai warna yang digunakan untuk bercerita pun gradasinya berbeda.
Kemampuan mendengar perempuan --termasuk memahami instruksi guru-- lebih mumpuni, hubungan pertemanannya lebih banyak membutuhkan percakapan. Namun dalam berbagai perannya, penelitian menunjukkan bahkan dalam di ruang rapat, perempuan lebih jarang dikutip dan didengarkan.
Jadi jelas, sumber masalahnya tidak bisa selesai hanya dengan menyalahkan diri sendiri.
Sumber masalahnya kadang dunia yang masih berstandar ganda. Sebagian perbedaan jenis kelamin disebabkan pengasuhan dan budaya lingkungan.
Dibanding puluhan tahun lalu, kini risiko perempuan terlibat penggunaan narkoba dan menderita gangguan makan jauh lebih besar. Perisakan dan kekerasan oleh dan kepada perempuan makin meningkat.
ADVERTISEMENT
Namun dalam berbagai perannya, penelitian menunjukkan perempuan cenderung menilai dirinya lebih rendah dari kemampuannya, menerima remunerasi yang lebih kecil dibanding kontribusinya.
Jadi, sekali lagi, sumber masalahnya tidak bisa selesai hanya dengan melawan dunia kita.
Jangan-jangan kecenderungan kita yang kadang membutakan diri pada perbedaan jenis kelamin, membuat kita tidak sensitif terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan. Memberikan dukungan untuk perkembangan bukan semata-mata soal kesamaan tapi soal memanusiakan hubungan, responsif terhadap keragaman.
Pendidikan perlu menjadi bagian dari solusi, tidak hanya sekedar bisa menghasilkan resolusi tapi menumbuhkan aksi. Data tentang anak perempuan sekarang, tidak hanya menunjukkan kemajuan, tapi juga menyimpan narasi memprihatinkan.
Kita bisa dengan mudah menyalahkan orang tua atau memaki media seolah kekurangan waktu orangtua bekerja disebabkan oleh "tangan tersembunyi". Padahal, kebijakan perusahaan atau pemerintahan ditentukan orang-orang yang punya ibu dan ayah, suami atau istri, putra dan atau putri.
ADVERTISEMENT
Jangan bayangkan tayangan sensual atau penuh makian dibuat oleh "tokoh dibalik layar" yang tak bernama dan tak punya keluarga.
Saat ini, bicara tentang Kartini dan Kartono bukan lagi sekadar membolehkan putri naik pohon, atau menunda pernikahan dini. Anak-anak perempuan kita butuh dipahami.
Kemajuan kadang hanya ditandai tuntutan berprestasi, tanpa kesadaran bahwa keberhasilan bagi perempuan sering diiringi iri bukan hanya dari laki-laki tapi bahkan dari kaumnya sendiri.
Bukan sekadar tuntunan bagaimana menjaga diri, hal yang sangat sulit dipraktikkan saat masyarakat cenderung cepat menghakiminya saat mencoba mandiri.
Pendidikan untuk perempuan seringkali dilakukan oleh lebih banyak perempuan di pendidikan. Tanggung jawab perubahan dibebankan (lagi-lagi) pada ibu di ruang keluarga maupun ibu guru di ruang kelas. Tanggung jawab ini terlalu berat untuk dipikul sendirian atau sebagian.
ADVERTISEMENT
Anak-anak perempuan kita membutuhkan ayah dan pak guru, kakak, om dan tante, eyang dan kakek serta semua yang peduli, lintas generasi.
Kita barengan yang bukan hanya menerbitkan terang setelah gelap, bukan hanya mendorong perempuan untuk menjadi "versi lain" dari kekuatan seperti laki-laki atau kecerdasan seperti Kartini.
Karena apa pun badai yang dihadapi, tidak ada yang lebih berharga untuk setiap perempuan selain dicintai saat menjadi dirinya sendiri.
#SemuaMuridSemuaGuru