Nilai Tak Ternilai dalam Pendidikan

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
2 November 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak membaca buku cerita. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak membaca buku cerita. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia kehilangan banyak sekali talenta, justru di sistem persekolahan yang salah. Anak dan pemuda yang tumbuh dengan perasaan tak bernilai karena diukur dengan ujian yang terbatas hanya mementingkan angka, melupakan cita-cita pendidikan yang seharusnya menumbuhkan kompetensi yang utuh sesuai keberagaman potensi manusia.
ADVERTISEMENT
Nilai skor dalam sistem pendidikan, yang sekarang menjadi obsesi banyak pemangku kepentingan, baru mulai populer di tahun 1940-an. Alasan utamanya - sebagaimana banyak hal dalam “formalisasi” lainnya, bukan untuk kepentingan personalisasi bagi muridnya (bukan juga untuk guru dan orang tua), tetapi untuk memudahkan lembaga penyelenggara. Perpindahan antarlembaga, seleksi masuk ke jenjang berikutnya, menjadi terlalu lama dan susah kalau kita menghabiskan waktu memahami anak dengan utuh, tanpa “ukuran yang baku”. Nilai skor yang digunakan mensimplifikasi proses ini, tentu bukan dosa yang tak bisa diterima sama sekali, namun bahayanya menjadi tidak terbatasi saat nilai skor kemudian menjadi satu-satunya panduan sekaligus tujuan dalam seluruh tahapan pendidikan, yang bahkan lebih penting dari proses belajar (dan mengajar) itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Saat nilai skor semata yang mendasari motivasi murid dan mahasiswa kita, tak heran prinsip yang dijalankan adalah bagaimana mendapatkan nilai setinggi-tingginya dengan usaha serendah-rendahnya. Bandingkan prinsip ini dengan nilai yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan di masa depan: belajar sebanyak-sebanyaknya dengan usaha yang sekeras-kerasnya. Jauh bedanya! Dengan sengaja atau tanpa sengaja, kita mengirimkan pesan yang tak sejalan dalam pengasuhan: membuat anak-anak kita gagap nilai dalam hidupnya, justru saat mereka merasa sukses dengan nilai skor sekolahnya. Mudah dibayangkan, dan kita lihat setiap hari dalam kenyataan, betapa nilai skor (dalam ujian, dalam ulangan, dalam perangkingan, dalam perlombaan) kemudian menjadi bagian yang terus diulang dalam percakapan, pembelajaran, pujian, ancaman, perayaan maupun penghakimam di proses pendidikan. Anak usia dini hingga mahasiswa perguruan tinggi, guru, dosen dan orangtuanya makin menguatkan obsesi ini, mendorong penggelembungan skor menjadi makin tinggi karena adanya tekanan untuk untuk terus meningkatkan angka akreditasi, kolusi dalam tes seleksi, beban administrasi yang melulu tentang mengisi penilaian dengan satu angka/huruf sebagai kriteria terstandarisasi tetapi artinya tidak dipahami.
ADVERTISEMENT
Lingkaran setan dalam perubahan pendidikan, mudah ditemukan hulu dan hilirnya pada saat kita menyadari: apa yang selama ini kita anggap penting sebenarnya bukan yang esensi tetapi sekadar miskonsepsi. Sebaliknya, apa yang sebenarnya berharga dan tak ternilai justru luput menjadi nilai yang kita biasakan sejak dini.
Bayangkan kalau dunia hanya terdiri dari orang-orang yang “pintar” dengan satu jenis definisi saja - karena semua dinilai dengan skor yang sederhana. Langkah awalnya yang perlu jadi komitmen bersama - mereformasi sistem penilaian kita. Yang seringkali paling menentangnya? Yang punya skor nilai tinggi, yang selama ini membatasi atau dibatasi identitasnya oleh diri dan lingkungan sendiri sebagai “sang berprestasi”. Murid dan mahasiwa berprestasi, orang tua dengan anak berpretasi, guru atau kepala sekolah maupun dosen dan pimpinan lembaga pendidikan tinggi yang menikmati status quo sebagai pemenang di sistem yang rapuh ini. Saya punya pengalaman pribadi menjadi bagian darinya, sekolah favorit dan skor nilai ujian yang sempurna - pada akhirnya saya sadari (dan terus dibuktikan oleh ribuan data terkini) bukan dimensi utama yang menggambarkan pendidikan yang saya lalui.
ADVERTISEMENT
Menyatakan bahwa semua kelas harus berubah menjadi tidak memberikan skor nilai, jelas bukan larangan yang bisa diberlakukan sebagai resep tunggal solusi. Yang paling penting kita advokasi, justru membudayakan nilai tak ternilai yang seharusnya menjadi ciri dan cara utama dalam proses pendidikan kita sehari-hari. Ada yang bilang, “when you know what’s important, it’s very easy to ignore what’s not”, saya yakin pada saat diri kita berfokus pada nilai yang tak ternilai yang perlu ditumbuhkan di pendidikan, maka pentingnya skor nilai yang kurang berarti juga akan makin terdeflasi.
Bersama dengan seluruh tim di Sekolah.mu yang melakukan kampanye ini, saya ingin mengajak kita semua - murid, mahasiswa, guru, dosen, orang tua, penggerak dan pemangku kebijakan pendidikan, secara konsisten merekalibrasi pentingnya praktik baik dalam tiga hal ini:
ADVERTISEMENT
1. Menempatkan umpan balik yang beragam sebagai alat utama dalam interaksi pembelajaran. Skor nilai tidak seharusnya menjdi satu-satunya indikator capaian, disaat metode penilaian lain yang lebih komprehensif jauh lebih bermakna bagi sang pelajar. Umpan balik yang spesifik bukan hanya mengelompokkan atau membandingkan dalam beberapa kategori saja, umpan balik yang menjelaskan langkah menuju mastery yang harus dilakukan selanjutnya bukan hanya melabel dan mengevaluasi kondisi yang sudah tak bisa diubah, serta umpan balik yang berkelanjutan dalam perjalanan belajar dan bukan hanya terbatas di jadwal yang kaku dan terputus untuk topik tertentu. Kemampuan memberikan umpan balik, adalah prediktor utama yang dalam berbagai riset menentukan kesuksesan pendidik dan satuan pendidikan dalam mencapai misinya.
2. Karena yang belajar adalah subyek utama yang perlu terus tumbuh dan mengendalikan prosesnya, maka nilai tak ternilai kedua yang perlu kita praktikkan bersama adalah kesempatan bagi semua murid dan mahasiswa untuk terlibat penuh dalam pendidikannya. Semua pengalaman belajar (dan mengajar) yang paling bermakna buat saya, selalu terjadi saat tidak sekadar satu arah. Merencanakan apa yang relevan, menemukan pemahaman, mengakses capaian - bisa dilakukan bukan hanya oleh pengajar tetapi justru menjadi lebih obyektif dan bermanfaat pada saat murid dan mahasiswa berperan di dalamnya. Kesempatan refleksi, melatih metakognisi, menjadi fondasi dari kegemaran serta kemerdekaan belajar yang dibutuhkan di sepanjang hidup ini. Salah satu cara termudah membedakan paradigma sekolah abad 21 dibanding dengan sekolah abad 19 yang tak sesuai tantangan zaman, adalah penekanan pada partisipasi dan usaha muridnya sebagai bagian dari penilaian pada yang bersangkutan, yang secara eksplisit didokumentasikan perkembangannya. Berbagai studi menunjukkan, persepsi murid tentang nilai berubah drastis dari melihatnya sebagai vonis menjadi menikmatinya sebagai proses - saat ia menjadi bagian aktif dalam asesmennya.
ADVERTISEMENT
3. Nilai tak ternilai yang juga selalu saya apresiasi dari sumber belajar saya selama ini: tidak pernah sekadar menyatakan PR, ujian atau projek mata pelajaran apa pun sebagai sekadar penugasan, tetapi selalu sebagai kesempatan belajar. Masih terbayang jelas pembimbing thesis dan skripsi saya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia - Ibu Fawzia Aswin Hadis (Bu Lola) dan (alm) Bapak Urip Mokoginta (Bang Ade) - yang selalu jadi teladan bahwa proses penulisannya bukan berlomba menuju skor nilai cumlaude yang tertinggi tetapi melatih kemampuan menganalisa substansi serta kecintaan pada profesi. Atau Pak Sumadi, guru di SMAN 28 yang mengajar sosiologi dan tak pernah hanya sekadar membaca atau mengulas soal di buku teks yang wajib dikuasai, tetapi mengajak diskusi lanjutan tentang topik yang ingin diketahui dan relevan untuk remaja yang sedang melalui proses pencarian diri.
ADVERTISEMENT
Proses penilaian yang membuat semua anak merasa memiliki nilai yang tak ternilai adalah pangkal dari pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bukan hanya untuk sebagian anak dengan skor nilai yang (ter)tinggi. Kita ingin menumbuhkan semua dan setiap anak yang terus termotivasi untuk mendalami bidang yang diminati, untuk berkontribusi bagi bangsa ini.
Di hari pendidikan nasional, semoga kita terus diingatkan bahwa pendidikan yang memberdayakan, bukan yang mengkerdilkan, yang akan memajukan peradaban. Kehidupan sosial butuh kolaborasi berbagai keahlian, keberlanjutan pembangunan hanya dimungkinkan pada saat karya dalam berbagai konteks dan bidang terus dilestarikan. Nilai yang tak ternilai dalam pendidikan adalah amanah yang perlu terus kita kuatkan.