Pekerjaan Pertama Tak Pernah Berhenti Dampaknya

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2021 19:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi surat kabar. dok: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi surat kabar. dok: pixabay.com
ADVERTISEMENT
“Pekerjaan” pertama saya, membuat dan mendistribusikan surat kabar di sekolah dasar, saat saya kelas tiga.
ADVERTISEMENT
Di 8 tahun usia, belajar di Madrasah Pembangunan (yang dikelola IAIN Jakarta-nama Universitas Islam Negeri (UIN sebelumnya)) dan mempraktikkan #merdekaberkarya. Tentu dulu saat menjalaninya, tak ada bayangan bahwa menulis akan jadi salah satu bagian super penting dari karier saya, walau setelah belajar psikologi saya jadi paham, usia 8-9 tahun menjadi sangat penting secara perkembangan, sebagai tahap di mana bakat dini dan bahkan preferensi kegiatan jangka panjang mulai anak tunjukkan. Lupa nama surat kabarnya, dan bahkan tak ada fotonya—yang saya ingat dan jadi pelajaran pertama; pemantik terkuat dalam memulai sesuatu adalah kegelisahan yang membara.
Membaca selalu jadi bagian dari kegiatan favorit, dan koran serta majalah berita selalu jadi bacaan sebelum atau sepulang sekolah (tergantung jadwal loper yang kadang tak konsisten mengantarnya). Wajar saja, Elaa di masa itu ingin mendiskusikan apa yang dibaca-menganalisa (dengan sederhana), membandingkan informasi atau perspektif yang berbeda dari teman-temannya. Kenyataannya, literasi media belum menjadi kebiasaan bagi banyak anak sebaya, pun ada membaca rutin yang dilakukan hampir semua dilakukan berkait tugas di buku pelajaran yang tak menggambarkan apa yang terjadi di dunia luar kelas. Keputusan membuat surat kabar versi saya, menulis tangan rangkuman berita-berita terpenting yang terjadi di hari sebelumnya, membagikannya bahkan ke kakak kelas yang tak pernah disapa-adalah keputusan yang mudah dan jadi awal dari orientasi untuk selalu beraksi. Dapat idenya, langsung dikerjakan esoknya.
ADVERTISEMENT
Pelajaran kedua yang sampai sekarang masih jadi mantra: kita baru akan tahu penting/tidaknya cita dan tepat/tidaknya cara setelah dicoba. Tak perlu dapat jawaban atas semua resah, sebelum yakin bahwa ide perlu diwujudkan secara nyata. Sederhananya: kalau aksi dilakukan setelah 100% yakin akan berhasil, nggak pernah akan ada aksi berarti di muka bumi ini.
Kapan kesusahan (besar) datang? Di tantangan langkah kedua dan seterusnya. Aneh mungkin mendengarnya, rasa lelah saat “hanya” bikin dua edisi yang ditinggal pembaca di kantin tanpa dilihat lagi - besar sekali! Rasanya ingin langsung berhenti bikin lagi. Akan tetapi rasa lelah saat menyalin ulang lembaran-lembaran sama 50 kali, justru tak terasa sama sekali, karena membayangkan bahwa yang dikerjakan akan bermakna setelah sampai ke yang berlangganan nanti.
ADVERTISEMENT
Saat itu saya juga belajar, energi datang dari kontribusi, makin banyak yang dibagi, makin ringan rasa di badan dan di hati.
Yang pasti-modal semangat sangat berharga, karena “dari sekadar ada sampai ke benar bermakna” panjang sekali jalannya. Di usia berapa pun, kita butuh api yang terus menyala walau banyak yang memberi komentar bahwa usahanya tak berguna. Apa argumen mereka? Berita yang saya rangkum dan pilih, pasti terlambat karena baru bisa dibaca keesokan hari-ada teman-teman yang bilang lebih baik cari koran bekas dan baca lengkap belasan halaman agar tak rugi. Pendapat mereka sekarang sangat bisa saya pahami dan bahkan mengingatnya dengan agak geli, tetapi saat dulu mendapat umpan balik ini dari sahabat sendiri, tentu ada sedikit frustrasi. Tetapi pelajaran keempat dari jadi “redaktur” kecil harian ini, saya dapatkan dari percakapan penuh empati dengan sekelompok kecil teman dan masih saya jadikan pedoman hingga kini: kualitas karya selalu ditentukan oleh kemampuan kurasi dan elaborasi. Kecepatan dan kelengkapan bisa menarik untuk sebagian besar orang, tetapi selalu ada yang lebih menikmati ulasan pertandingan dengan informasi tambahan soal ukuran lapangan atau mengapresiasi laporan soal pidato di sidang PBB yang dilengkapi 1 paragraf biografi tentang masa kecil seorang Perdana Menteri.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada bagian dari karya ini yang mungkin dianggap sia-sia oleh sebagian pembaca di sini-menulis tangan begitu banyak halaman dalam satu hari. Kenapa tidak langsung difotokopi? Jawaban praktisnya saat itu, uang jajan saya jumlahnya tidak mencukupi-mesin Xerox tak terjangkau kalaupun saya mau puasa setiap hari :). Pelajaran jangka panjangnya, saya percaya tidak ada satu bagianpun dari pekerjaan “besar” yang terlalu “kecil” untuk dilakoni. Ada satu formula rahasia yang kemudian ditemukan oleh pembaca setia surat kabar ini-eksemplar yang ditulis terakhir kali, walau tulisan tangannya sudah kurang rapi dan spidolnya tidak terlalu warna-warni, biasanya isinya paling tidak membosankan-karena sudah menemukan cara paling efektif untuk mengekspresikan pesan (sering juga jadi edisi spesial dengan bonus teka-teki silang 😁)
ADVERTISEMENT
Walau hanya satu tahun ajaran masa terbitnya-saya yakin bahwa usaha pertama tak pernah berhenti dampaknya. Usia saya masih terlalu dini untuk bisa punya konsistensi melanjutkan upaya yang sempat berhenti saat liburan sekolah dan “berganti hobi”-tetapi upaya di umur berapa pun tak pernah terlalu muda (atau tua) untuk kita yang berdaya. Pengalaman pertama bekerja juga tak pernah terlalu cepat atau terlalu lambat hadirnya.
Hikmah tak selalu dipahami saat peristiwa terjadi. Selain catatan pembelajaran yang diuraikan tadi, saya juga jadi terlatih punya stamina membaca dan menulis tiap hari, dimensi kompetensi yang esensi dan terus berkait dengan tugas yang saya jalani di karier saat ini.
#merdekaberkarya #merdekaberkarier