Sejarah Tidak Ramah pada Perempuan yang Memimpin Kita

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2022 10:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Deretan perempuan yang saat ini menjabat sebagai perdana menteri. Foto: AFP dan Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Deretan perempuan yang saat ini menjabat sebagai perdana menteri. Foto: AFP dan Reuters
ADVERTISEMENT
Pahitnya, pandemi, sebagaimana semua krisis kemanusiaan besar lainnya, secara faktual memengaruhi perempuan jauh lebih besar daripada laki-laki. Korban terbesarnya? Pemimpin perempuan. Perempuan lebih banyak yang mendapat beban berlebih dengan multiperan yang diembannya, lebih banyak yang memilih berhenti dari pekerjaannya atau menolak promosi yang sejak lama diidamkannya. Khusus para pemimpin ini, gaya kepemimpinan yang kolaboratif dan mengharusnya pelibatan berbagai pemangku kepentingan, emosi yang cendrung lebih tidak stabil dalam konteks isolasi selama wabah, juga diakui memperburuk kualitas hidup dan kepuasan kerjanya di posisi puncak di organisasi. Pemimpin perempuan, bahkan lebih dari rata-rata pekerja perempuan lainnya, kondisi kesejahteraan mentalnya, terdata mengalami lebih banyak masalah dan memiliki lebih sedikit sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya.
ADVERTISEMENT
Krisis ini, tentu bukan hal baru dalam perjalanan pribadi maupun profesi yang kita alami. Dalam kilas balik saya sendiri, masih ingat sekali bahwa pengalaman mendirikan sekolah dan memimpinnya di umur dua puluh dua, saya pernah ada di periode yang ingin “memalsukan” umur menjadi lebih tua, hanya agar sekadar bisa lebih dianggap terpercaya dan tidak “kemudaan” di dunia kerja. Saat itu, saya belum menyadari bahwa faktor “merugikan” lainnya yang juga menempel di identitas saya, dan sebenarnya rentan menjadi masalah ada kepemimpinan perempuan yang selalu dianggap lebih lemah. Bahkan di bidang pendidikan yang secara tradisional lebih banyak guru perempuannya, lebih dari 70% kepala sekolah di jenjang usia dini hingga rektor di perguruan tinggi, masih di dominasi oleh laki-laki.
ADVERTISEMENT
Malangnya, terlahir sebagai perempuan hampir selalu berarti kekurangan teladan dan inspirasi kepemimpinan, yang menyebabkan kurangnya motivasi bahkan tidak cukup punya imajinasi untuk membayangkan menjadi pemimpin di organisasi. Studi di berbagai konteks menunjukkan, solusi yang mesti kita inisiasi, bukan hanya mendorong seorang perempuan untuk proaktif melampaui batasan, tetapi menuntut perubahan kebijakan dan perubahan praktik yang secara turun-temurun terus dikuatkan.
Menumbuhkan lebih banyak pemimpin perempuan bukan hanya soal memberikan kesempatan di posisi penting di korporasi atau menyediakan mentoring yang meningkatkan kompetensi, tetapi lingkaran sosial yang mendukung adalah bagian yang jauh lebih penting untuk merekognisi sekaligus berempati pada proses perempuan beridentifikasi dengan perannya sebagai pemimpin di berbagai profesi.
Validasi sekaligus afirmasi ini, mendorong lebih banyak perempuan untuk percaya diri, bersedia mengambil resiko untuk bereksperimentasi dengan perilaku dan situasi kepemimpinan yang mungkin tidak secara langsung menguntungkan saat ini. Berbagai survey skala besar, bahkan di negara barat, menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja, termasuk di generasi muda, masih sulit memberikan jawaban atas pertanyaan tentang keuntungan memiliki atasan perempuan atau dampak dari jumlah pemimpin perempuan yang signifikan di perusahaan. Sebaliknya, mayoritas pandangan menyatakan, perempuan - bukan saja sudah yang berhasil menjadi pemimpin, tapi bahkan yang berkeinginan menjadi memimpin/ adalah orang-orang yang kurang ramah dalam pergaulan, bahkan mengorbankan berbagai hubungan. Stereotipe ini adalah alasan mengapa perempuan-perempuan tidak berebutan mengangkat tangan saat ditanya siapa yang ingin jadi ketua kelas atau angkatan, maupun direksi perusahaan.
ADVERTISEMENT
Jelas ada opini yang bersebrangan yang harus dihadapi perempuan, misalnya: prasangka tentang tubuhnya yang lebih kecil atau suaranya yang lebih pelan yang dianggap kurang otoritatif dalam mengambil keputusan. Ada juga struktur kekuasaan yang harus dinavigasi terus-terusan, yaitu terbukti bahwa perempuan bekerja bukan hanya butuh akses TPA (tempat pengasuhan anak) atau prasekolah yang murah, tetapi butuh gender quota dan aturan kerja fleksibel yang memungkinkannya bekerja dari mana saja.
Setelah perlawanan atas bias gender dari generasi pertama sebelum kita yaitu di masa ibu atau nenek kita, di generasi kedua tahun 2022, makin banyak yang percaya bahwa keseimbangan gender sudah tercipta. Bagi sebagian kita yang bersekolah dengan teman perempuan dengan prestasi luar biasa misalnya, sulit membayangkan bahwa tak lama sesudah capaian kelulusan, perempuan-perempuan ini akan mengalami begitu banyak rintangan.
ADVERTISEMENT
"Misinformasi” bahwa sudah tidak ada masalah lagi, membuat perjuangan untuk kesetaraan saat ini justru sulit untuk mendapatkan momentum kembali. Kita perlu menyadari bahwa bias di generasi kedua ini, tidak berarti ada niatan jahat untuk menyingkirkan atau merugikan sebagian perempuan. Bias ini menciptakan konteks dan dalam kondisi tertentu yang seringkali “tidak disengaja membuat perempuan gagal tumbuh berkelanjutan, mentok aktualisasi dan kontribusinya hanya sampai suatu tingkatan yang dianggap “cukup” oleh lingkungan.
Hingga saat ini, setelah puluhan tahun menginisiasi dan memimpin berbagai organisasi, saya masih punya ketakutan-ketakutan dalam pekerjaan, yang tentunya sebagian berdasar dan sebagian tidak. Ada satu jebakan yang lebih rentan dialami perempuan yang baru saya sadari belakangan, kita seringkali lebih peduli dan "berinvestasi" berlebihan pada penilaian sekitar. Tak heran banyak langkah yang diurungkan sebelum “mendapat persetujuan”. Yang saya pelajari, lagi-lagi setelah mencari berbagai strategi, semua ketakutan ini perlu dilawan dengan keyakinan akan pentingnya tujuan. Makna bekerja, kemuliaan karya, dampak pada penerima manfaat dari misi kita, adalah tameng sekaligus senjata ampuh sepanjang masa. Kekhawatiran di awal karier dan di tengah karier saat ini sangat berbeda, saya tak bisa menjanjikan tantangannya akan menjadi lebih mudah. Tetapi yang saya yakini, respon saya terhadap diri sendiri, maupun persepsi orang lain yang saya terima tentang apakah, kapan dan bagaimana saya harus menunjukan otoritas menjadi makin bisa terkendali.
ADVERTISEMENT
Ujian terberat pertama ada di perjalanan mencapai puncak pertama. Penelitian menunjukkan, perempuan sangat sulit menembus seleksi posisi manajerial pertama, karena kandidat laki-laki biasanya diseleksi berdasar potensi di tahapan karier berikutnya, sementara pelamar perempuan dinilai berdasar pengalaman yang sudah dilalui di tahapan karier sebelumnya.
Sepanjang penugasannya, perempuan juga ternyata lebih banyak diminta menangani hal-hal berkait operasi daripada strategi, efeknya? Pada saat ada penilaian performa, banyak yang dipandang lebih rendah potensi kepemimpinannya dibanding kenyataannya. Masih berkait penilaian performa, perempuan juga melaporkan umpan balik dari sejawat maupun atasan yang seringkali bertentangan, misalnya: dianggap perlu lebih tegas pada bawahan, tetapi juga diminta tidak terlalu tinggi menetapkan standar di pekerjaan.
Salah satu trik yang sangat membantu mengatasi kebingungan ini yang sudah saya terapkan, punya kelompok aman yang berkolaborasi untuk menginterpretasi umpan balik yang diberikan. Menguatkan relasi, alih-alih mengalienasi teman dalam perjalanan ini memang seringkali jadi kunci untuk menguatkan jaringan pengaman dalam pekerjaan perempuan.
ADVERTISEMENT
Pernahkah saya ada di titik ingin menyerah, memilih tanjakan yang lebih minim curamnya? Sering sekali! Tetapi saya juga sadar, berada di posisi ini, dan benar-benar memilih berhenti masih amat sangat jauh bedanya.
Sebagai perempuan multi peran, yang salah satunya adalah tanggung jawab kepemimpinan, kita tidak akan pernah
mencapai puncak keseimbangan dan kesempurnaan. Setiap periode adalah kesempatan berdaya dan mendorong perbaikan. Di kesulitan, jangan merasa sendiri sebagai korban keadaan, di kesuksesan jangan menciptakan “exclusivity” sebagai contoh pengecualian.
Mari menulis sejarah ke depan bersama-sama yang lebih ramah. Dunia perlu melihat senyata-nyatanya, bahwa sudah ada dan akan lebih banyak perempuan di depan yang mewariskan teladan kepemimpinan. Pemimpin yang bukan sekadar mencapai posisi idaman atau bertahan, tetapi melakukannya dengan kondisi kesejahteraan mental yang optimal dan juga menguatkan kesejahteraan mental semua yang dipimpinnya, terutama sesama perempuan dengan optimal juga - mencapai aktualisasi diri sebagai individu yang paling mumpuni di sepanjang karier bersama.
ADVERTISEMENT
Selamat berefleksi dan membuat rencana aksi perbaikan untuk diri dan sesama yang kita cintai di Hari Kesejahteraan Mental Dunia ini!