Semua Murid Semua Guru: Belajar (Lagi) tentang Gizi

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
25 Januari 2018 17:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar tentang gizi (Foto: Najelaa Shihab)
zoom-in-whitePerbesar
Belajar tentang gizi (Foto: Najelaa Shihab)
ADVERTISEMENT
Makanan adalah urusan pendidikan
Anak yang tumbuh dengan gizi seimbang, seyogyanya bukan hanya tujuan petugas kesehatan. Salah satu bagian dari kompleksitas pendidikan adalah tujuannya yang berkait banyak aspek perkembangan. Pencapaian intelektual atau akademis, fisik atau motorik semua berhubungan.
ADVERTISEMENT
Makanan bukan cuma urusan mengenyangkan dan menguatkan badan, tetapi berkait dengan energi yang dimiliki untuk konsentrasi dan melakukan stimulasi, rutinitas harian dan kedisiplinan, kepercayaan diri dan hubungan antar teman, mencapai bukan hanya yang halal tapi juga thayyiban. Kalau tidak percaya, bayangkan efek yang muncul bila seseorang kelaparan atau kelebihan makan, kekurusan atau kegemukan - ini bukan hanya masalah angka di timbangan.
Gizi yang seimbang dimulai dari Air Susu Ibu (ASI)
ASI adalah hak asasi bayi dan ibu. Tidak ada satu makanan atau minuman apapun yang mampu memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang bagi semua dan setiap anak, kecuali ASI eksklusif di usia 0-6 bulan. Saat ini, angka capaian dari berbagai pemberian ASI di Indonesia masih rendah (lihat tabel data), ibu dan bayi butuh dukungan utuh dari berbagai pihak --pasangan dan keluarga, di fasilitas kesehatan dan tempat kerja sampai kebijakan negara. Inisiasi menyusu dini, makanan pendamping ASI yang dibuat di rumah sendiri, menyusui sampai dua tahun (atau lebih) juga jadi bagian dari pembiasaan yang juga kita advokasi.
ADVERTISEMENT
Gizi seimbang bukan lagi tentang 4 makanan sehat dan susu yang (tidak) sempurna
4 sehat 5 sempurna, sudah tidak tepat diajarkan, tetapi melupakan mantra ini ternyata tidak mudah bagi sebagian kita. Kesalahpahaman konsep ini muncul karena porsinya seringkali menjadi tidak proporsional. Terlalu banyak gula dan karbohidrat sederhana, terlalu sedikit makanan berserat.
Susu yang meningkatkan risiko anemia dan alergi -juga bisa menyebabkan diare pada manusia dengan intoleransi laktosa- tidak selalu baik untuk raga. Saat ini, 50% dari isi piring kita seharusnya terdiri dari sayuran dan buah-buahan. Kesempurnaan justru muncul saat kita mengkonsumsi hasil dari kebun sendiri atau lahan sekitar.
Kebiasaan gizi yang baik di sekolah, bukan hanya tentang bekal sehat dan kantin lezat di jam istirahat
ADVERTISEMENT
Kesiapan belajar anak dimulai dari kebiasaan sarapan. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan, dimulai dari apa yang dilakukan keluarga di pagi hari. Setiap tahapan perkembangan seringkali punya beragam tantangan. Misalnya kesukaan pada sayuran dan buah-buahan. Seringkali pada saat sudah tidak bisa “dipaksa” atau dapat uang saku yang boleh digunakan “sesukanya”, kebanyakan di atas usia 10 tahun, anak tidak memilih makanan dengan bijaksana.
Di usia remaja, kekurangan utama berdasar data adalah cairan. Membiasakan air sebagai bagian dari keseimbangan, memperbanyak olahraga dan bukan sekedar propaganda langsing atau berbagai diet, perlu diteladankan oleh lingkungan.
Pada akhirnya, belajar ulang tentang gizi bukan hanya soal pengetahuan apalagi peraturan, tetapi mempraktikkan dalam keseharian. Perintah kitab suci sampai penelitian terkini jelas menunjukkan bahwa gizi bukan hanya tentang isi piringku atau piringmu. Hari ini, mari refleksi diri sambil belajar lagi. Apakah kita semua sudah bermakna bagi sesama dalam soal gizi.
ADVERTISEMENT
Anak yang rajin mencuci tangan akan sia-sia usahanya bila ibu tidak menutup makanan yang akan disajikan, anak yang memakai alas kaki di lapangan agar tidak cacingan akan tetap gagal sehat bila warung tetangga menjual makanan kemasan yang banyak pewarna atau garam.