Semua Murid Semua Guru: Bencana dan Janji pada Anak yang Kita Ingkari

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
30 September 2018 9:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri BUMN, Rini Soemarno, tinjau pembangunan Rumah Ramah Gempa (RRG) di Lombok, NTB, Jumat (28/9/2018). (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri BUMN, Rini Soemarno, tinjau pembangunan Rumah Ramah Gempa (RRG) di Lombok, NTB, Jumat (28/9/2018). (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sejak dahulu kala, posisi dan kondisi geografis Kepulauan Nusantara, rawan bencana. Data menunjukkan, tanah air kita, rata-rata mengalami 2.000 kejadian serius setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu tercatat, 787 banjir, 716 tornado, 614 longsor, 96 kebakaran (termasuk di hutan), 19 banjir regional, 2 letusan gunung berapi (Gunung Sinabung dan Gunung Agung), 11 tsunami, 4.000 gempa bumi (yang 70-100 di antaranya berkekuatan di atas 5,5 skala richter) di Indonesia.
Namun, jangankan untuk orang nun jauh di sana, bahkan untuk kita yang hidup dekat dengan peristiwa, angka di atas tetap mencengangkan sebagai fakta.
Beragam aksi cepat dan tanggap dijalankan oleh pemerintah dan warga. Penyerahan bantuan, perbaikan infrastruktur untuk membantu korban, peningkatan teknologi untuk deteksi dini. Di 2107, 3,4 juta penduduk negara ini, mengungsi karena bencana alam, sebagian di antaranya populasi yang sangat terdampak namun jarang dibicarakan khusus - anak-anak.
ADVERTISEMENT
Selalu mudah menyatakan bahwa anak dan masa depannya harus menjadi prioritas. Di saat “normal” saja, janji ini selalu sulit diiringi langkah nyata. Di saat bencana, hak dan kebutuhan spesifik anak, seringkali hanya menjadi sesuatu yang manis di bibir (atau kamera) saja, tanpa diiringi anggaran dan sumber daya memenuhinya.
Tempat pengungsian, akan dialami dengan sangat berbeda oleh anak dibanding orang dewasa. Dari mulai ketidaknyamanan anak yang terpaksa mengenakan pakaian dewasa atau jenis kelamin yang berbeda dan biasanya buat kita dianggap biasa-biasa saja.
Kerusakan akibat gempa di Kabupaten Donggala, Jumat (28/8). (Foto: Dok. Sutopo)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan akibat gempa di Kabupaten Donggala, Jumat (28/8). (Foto: Dok. Sutopo)
Terlebih lagi trauma yang dialami oleh anak-anak yang terpisah atau kehilangan orangtua karena bencana. Jumlah manusia di tenda darurat, bukan hanya sekadar tentang angka dan masalah fisik yang harus dipenuhi segera, tetapi ada masalah sosial-emosional yang mempengaruhi kondisi mental anak dan berdampak berkepanjangan bila dibiarkan tanpa penanganan.
ADVERTISEMENT
Kesepian dan tidak bisa membicarakan apa yang dirasakan, tidak ada kesempatan bermain dan kekurangan dukungan teman, semua adalah masalah nyata dan besar bagi anak yang tidak bisa dikebelakangkan.
Pemberian makanan yang dilakukan tanpa perencanaan, juga seringkali bukan menjadi akhir, tapi justru awal masalah. Anak-anak yang mengkonsumsi ASI dan Ibu yang menyusui, mendapat “sumbangan” susu formula.
Padahal, gizi ASI justru esensial mengurangi infeksi di saat sulit air bersih, dan kelekatan ibu saat menyusui mengurangi tekanan depresi yang mungkin ibu alami saat menghadapi musibah ini.
Berbagai jenis makanan instan atau berkadar gula tinggi yang diberikan sebagai sumbangan, juga seringkali menumbuhkan kebiasaan makan (tambahan) jangka panjang di anak yang berbeda dengan intensinya yang mulia.
ADVERTISEMENT
Dapur umum yang dikelola bersama dengan menu masakan rumah yang murah, adalah solusi yang perlu dengan segera diusahakan, saat keadaan memungkinkan.
Hak atas pendidikan berkualitas, juga bagian yang tidak terpisahkan dari penanganan. Anak yang tidak bisa bersekolah dengan kondisi yang sama seperti semula, bukan hanya berarti ketinggalan pelajaran yang harus dikejar sampai beberapa tahun ajaran atau sebelum ujian, tetapi juga berarti kehilangan rutinitas terpenting dalam kehidupan.
Sayangnya, pendidikan adalah bidang yang sangat rentan terhadap krisis apapun. Sekolah di daerah bencana sering menjadi tempat pengungsian dalam waktu berkepanjangan. Beberapa negara seperti Filipina sudah membuat aturan khusus yang tidak membolehkan hal ini dilakukan lebih dari 15 hari setelah peristiwa, karena mengganggu anak yang berhak menggunakannya.
Gempa bumi di Donggala, Sulawesi Tengah. (Foto:  ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
zoom-in-whitePerbesar
Gempa bumi di Donggala, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
Namun, ketersediaan tempat seperti sebelum bencana, tidak otomatis menyelesaikan persoalan, karena kekurangan guru sering kali menjadi bagian yang juga harus dipecahkan. Pendidikan selalu butuh berbagai sumber daya, stabilitas, dan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi berbulan atau bertahun kemudian pun, angka anak tidak sekolah atau putus sekolah selalu meningkat di daerah yang bersangkutan. Alasan seperti kehilangan berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk pendaftaran sampai kesulitan keuangan yang menyebabkan membeli seragam atau buku menjadi tidak memungkinkan.
Sebagai catatan tambahan, berbagai risiko berkait dampak bencana pada pendidikan dan anak, lebih banyak terjadi pada perempuan, karena tingginya ketakutan untuk melepaskannya ke sekolah tanpa pengawasan, juga kemungkinan pelecehan dalam situasi pemukiman yang padat dan penuh ketidakpastian.
Pekerjaan kita berkait penanganan bencana bagi anak, dipenuhi daftar panjang yang masih harus dilakukan. Anak-anak perlu lebih banyak didengarkan dan diperhatikan dalam setiap rangkaian.
Bantuan crowdfunding kumparan bersama ACT untuk korban gempa Lombok. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bantuan crowdfunding kumparan bersama ACT untuk korban gempa Lombok. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Pendidikan juga perlu menjadi bagian penting dari pencegahan. Sekolah bukan hanya tempat mencari informasi, tetapi tempat paling strategis untuk mitigasi. Sebagaimana terbukti di berbagai belahan dunia, mitigasi terpenting bukan teknologi, tetapi kekuatan jaringan komunitas, relasi dan komunikasi orang per orang di lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan menjadi titik tolok penyebaran cerita rakyat yang menjadi sumber pelajaran dan pemanfaatan kearifan lokal. Sekolah melatih guru dan orangtua menghadapi berbagai situasi, memastikan strukturnya aman di beragam kondisi dan memberdayakan anak untuk menyiapkan yang diperlukan saat kegawatdaruratan.
Data menunjukkan, 40% penduduk Indonesia rentan mengalami bencana dalam berbagai bentuknya. Kita semua yang kali ini tidak mendapat musibah - tidak bisa merasa jauh dari masalah, karena mungkin saja kita akan terdampak langsung maupun tidak langsung dalam jangka waktu tak lama.
Bagaimana cara kita peduli, akan menentukan keberhasilan solusi. Pastikan apapun bentuk keterlibatan kita dalam doa, donasi atau kontribusi, tidak melupakan kepentingan anak-anak yang seringkali disalahpahami. Mari berhenti mengingkari janji pada anak-anak kita, yang belum punya kemampuan melindungi diri sendiri. #semuamuridsemuguru
ADVERTISEMENT