Semua Murid Semua Guru: Disiplin Positif, Solusi yang Dicari Guru

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
3 Juli 2018 22:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melatih anak disiplin sejak dini (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Melatih anak disiplin sejak dini (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Disiplin adalah salah satu karakter positif anak yang paling sering didambakan oleh guru. Yang kita sering lupakan, disiplin tidak pernah berdiri sendiri. Disiplin adalah alat dengan tujuan antara, yang selalu berkait tujuan utama yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Apabila tujuan pendidikan dan pengasuhan, di sekolah maupun di rumah, adalah anak yang bahagia, mandiri dan cerdas - maka proses disiplin yang kita lakukan seharusnya mendukungnya. Untuk anak yang bahagia, disiplin tidak boleh menyakitkan dan membahayakan, namun harus memberi pelajaran yang dilakukan dengan tenang dan penuh kasih sayang.
Untuk anak mandiri, disiplin bukan sekadar menuruti peraturan, tetapi memunculkan kesadaran, pemahaman, dan pengendalian diri sepanjang hayat. Untuk anak cerdas, disiplin bukan sekadar mengikuti ancaman atau sogokan, tetapi mengkritisi, berefleksi, dan berkolaborasi dengan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Buat saya, pertanyaan utamanya adalah apakah kita mendidik untuk kenyamanan jangka pendek - yang penting materi terselesaikan, piala diterima di tangan, atau kita melakukannya untuk kebutuhan anak jangka panjang.
Bila kita memilih yang kedua, maka kita perlu percaya, proses melibatkan anak yang seolah lebih lama, menghargai progres, dan bukan hanya merayakan yang sempurna, adalah pendekatan disiplin yang lebih bermakna untuknya. Berapa banyak dari guru yang siap mencoba?
Disiplin juga salah satu tantangan dalam hubungan, yang paling sering dikeluhkan guru dalam kelas (pelatihan). Yang kita sering lupakan, disiplin selalu berkait dengan kegiatan kelas, namun sebagaimana semua proses belajar perlu terjadi di berbagai konteks yang beragam.
Karenanya, disiplin bukan tentang manajemen kelas yang dikendalikan oleh guru, namun tentang keseluruhan aspek perkembangan pada diri anak. Banyak guru yang terjebak pada siklus menyalahkan diri sendiri (atau menyalahkan orangtua, zaman, dan teknologi).
Anak yang sedang dihukum. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Anak yang sedang dihukum. (Foto: Thinkstock)
Guru “berlatih” sendirian dengan ratusan teknik hukuman maupun sogokan, tapi melupakan dukungan lingkungan dan kesiapan anak untuk menumbuhkan disiplin diri. Di saat seperti ini, yang terjadi sebetulnya bukan masalah intensi - bukan guru yang tidak baik hati atau tidak mengerti, tetapi masalah ekspektasi.
ADVERTISEMENT
Apakah kita termasuk kelompok (sebagian besar) guru yang punya harapan terlalu rendah atau terlalu tinggi pada muridnya sendiri?
Karena merendahkan kemampuan pengendalian diri anak, dengan niat baik, orang dewasa di sekitar anak menggunakan berbagai alat tambahan - tabel atau stiker, pujian yang berlebihan atau hadiah yang tidak dibutuhkan. Alih-alih membantu, semuanya pada akhirnya hanya menyebabkan anak kecanduan dan ketergantungan.
Membedakan penguatan dengan sogokan, adalah kunci disiplin positif. Buat saya, pertanyaan utamanya adalah apakah kita percaya bahwa anak lahir dengan kecendrungan pada kebaikan, melakukan sesuatu bukan hanya untuk kesenangan tapi keberhasilan.
Bila jawabannya iya, maka kita perlu percaya bahwa anak belajar karena keberhasilan memecahkan masalah dan menjawab keingintahuan memberikan kepuasaan berkelanjutan bukan karena peringkat, nilai, piagam atau sertifikat yang biasanya hanya menghasilkan tepuk tangan instan.
ADVERTISEMENT
Apakah guru tahan untuk maraton sampai ke titik akhir proses pendidikan?
Membedakan hukuman dan konsekuensi adalah kunci disiplin positif. Buat saya, pertanyaan utamanya adalah siapa yang paling diuntungkan dari respons kita - apakah kepentingan anak atau orang dewasa yang utama. Bila kita percaya pada hak mereka, maka tidak ada sedikit alasan pun untuk menyatakan bahwa kesakitan anak mendorong perubahan, apalagi dianggap “perlindungan demi masa depan”.
Semua penelitian dan data lapangan menunjukkan, anak perlu memahami konsekuensi pilihannya, situasi terbaik baginya untuk belajar adalah saat meneladani sikap orang dewasa yang berempati dan menghormati dalam berbagai situasi.
ADVERTISEMENT
Riset juga menunjukkan, menjadi guru yang pemarah atau dalam tekanan emosional, sangat merugikan diri dan terbawa ke dalam berbagai aspek kehidupan.
Bagaimana cara kita menumbuhkan kedisiplinan, adalah pelajaran utama yang kita tumbuhkan dan akan diteruskan anak, dan kembali kepada bagaimana mereka memperlakukan kita nantinya.
Ilsutrasi memarahi Anak. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi memarahi Anak. (Foto: Thinkstock)
Karenanya, salah satu konsekuensi favorit saya terhadap pelanggaran kesepakatan adalah meminta anak melakukan aksi membantu orang.
Prosesnya dimulai dari mengidentifikasi tantangan apa yang menyebabkan anak sulit memenuhi kesepakatan, mengidentifikasi modal kekuatan apa yang dimilikinya untuk memperbaiki kekurangan, kemudian memberikan kesempatan mempraktikan “rencana perubahan” dengan melakukan suatu kebaikan pada korban atau siapapun di sekitar.
Disiplin memang bukan inovasi baru di pendidikan, masalahnya - pendekatan yang kita gunakan, dipinjam dari medan perang atau laboratorium dengan hewan percobaan.
ADVERTISEMENT
Menjalankan dan mengkampanyekan disiplin positif selama belasan tahun, adalah salah satu perjalanan yang sangat berarti dalam profesi ini dan juga kehidupan saya pribadi. Tapi, pendekatan ini bukan sekadar soal emosi positif yang dialami oleh guru dan anak.
Salah satu kebahagiaan saat ini, adalah melihat bagaimana disrupsi dan kolaborasi di industri, filosofi remunerasi organisasi, membuktikan kekuatan paradigma yang memanusiakan hubungan.
Dunia pendidikan memang seringkali ketinggalan, tetapi para pendidik kini punya kekuatan momentum untuk memutus rantai kebiasaan disiplin kebablasan dalam konteks belajar-mengajar.
Syaratnya? Dilakukan oleh guru-guru yang mempraktikkan keseimbangan antara batasan dan kebebasan, ketegasan, dan pemberdayaan (sebagaimana ribuan contoh yang sudah saya temui di kelas). Disiplin positif, solusi yang dicari, tapi berat dijalani, hanya untuk guru yang berani.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah salah satu tulisan di Surat Kabar Guru Belajar edisi 16 di http://bit.ly/SKGuruBelajar16 #merdekabelajar #gurubelajar #semuamuridsemuaguru