Semua Murid Semua Guru: Kebijakan Pendidikan adalah Keputusan Politik

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2017 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru di sekolah (Foto: geralt)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru di sekolah (Foto: geralt)
ADVERTISEMENT
Sore ini saya tergelitik trending topic di media sosial, #stoppolitisasi8jamsekolah. Percakapan publik apapun tentang pendidikan selalu penting, karena menggambarkan paradigma yang ada di masyarakat. Dalam argumen di atas misalnya, jelas terlihat adanya miskonsepsi. Pernyataan yang mempertentangkan kebijakan pendidikan dengan politik adalah pernyataan yang salah kaprah. Semua kebijakan pendidikan adalah keputusan politik. Lanjutan pertanyaannya yang essensial. Siapa pemilik kepentingan yang dibela? Bagaimana posisi pemangku kepentingan dengan peran yang berbeda? Apa kerangka substansi dan konsekuensi yang diperjuangkan atau diabaikan dalam jangka panjang? Mengapa kebijakan ini ditetapkan pada rentang waktu tertentu?
ADVERTISEMENT
Salah satu hambatan utama perubahan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya pemahaman bahwa kebijakan pendidikan dipengaruhi oleh sistem di masyarakat yang sangat luas - ekonomi, budaya, sejarah dan tentunya politik. Selama ini, sudut pandang dan perdebatan kita didominasi perspektif pendidikan sebagai isu mikro - hanya berkait seorang anak atau guru, satu sekolah atau satu menteri.
Tak heran, "hak guru" mendapat perlindungan hukum dilindungi oleh asosiasi, bahkan saat ia menggunakan kekerasan fisik pada anak, sementara kemerdekaannya belajar jarang didukung anggaran pemda yang cukup untuk peningkatan kompetensi. Tak aneh, kalau orangtua berpikir zonasi penerimaan murid sangat merugikan anaknya, tanpa memahami tanggungjawab sosial mempercepat pemerataan pendidikan. Tak mencengangkan, masyarakat bahkan anggota dewan berpikir pergantian (prioritas) kurikulum adalah keniscayaan saat pergantian menteri, tanpa melihat kaitan apa yang dipilih untuk diajarkan dengan demokrasi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Narasi tentang kebijakan pendidikan sebagai bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas sangat esensial. Pengalaman di banyak negara yang mencapai kemajuan pendidikan menunjukkan pentingnya pemahaman konteks dalam perubahan. Kebijakan 8 jam sekolah, sama seperti semua kebijakan pendidikan - penguatan karakter, mengantar anak sekolah, kurikulum 2013 atau ujian nasional sudah seharusnya ditanggapi dengan kritis dari kacamata substansi dan implementasi.
Pertanyaan kunci yang selalu saya gunakan adalah apakah kebijakan pendidikan memberikan dampak yang optimal pada tiga tujuan utama - memperluas akses, mempercepat peningkatan mutu dan mengurangi kesenjangan. Sayangnya, dari penelitian kebijakan sejauh ini, jarang yang berhasil memenuhi aspek-aspek tersebut, dan karenanya jarang yang membawa dampak berkelanjutan.
Sudah puluhan tahun simplifikasi dalam melihat kebijakan pendidikan menjadi penghambat perubahan signifikan. Tanpa monitoring dan evaluasi, beasiswa bisa jadi hanyalah jembatan rapuh bagi kemiskinan. Bisa masuk sekolah, bila tidak diiringi peningkatan kualitas dan upaya sistematis mengurangi keterlambatan perkembangan, tidak akan membuat murid bertahan sampai sekolah lanjutan. Faktanya angka putus sekolah kita masih tinggi, kenyataannya banyak lulusan tidak memiliki literasi yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Di tingkat sistem yang lebih kecil seperti sekolah pun, tiga pertanyaan kunci ini bisa diterapkan. Biasakan mempertanyakan segitiga akses, kualitas dan kesenjangan pada kebijakan pendidikan di lingkungan terdekat kita. Apakah pengayaan olahraga aksesnya dibatasi hanya pada calon pemenang yang penuh bakat atau tujuannya membiasakan hidup sehat, mengajarkan kerjasama dan sportivitas yang mestinya aksesnya terbuka bagi siapapun murid yang berminat? Apakah program membaca setiap hari bukan hanya dijamin terjadi dengan jumlah buku dan waktu yang cukup, tapi dibarengi dengan pemilihan buku berkualitas dari berbagai genre dan latar belakang penulis yang beragam? Apakah pengelompokan murid dibuat berdasarkan tingkat kemampuan matematika yang merugikan anak tertentu atau dengan sengaja dibuat bervariasi untuk mengurangi kesenjangan, agar yang belum siap bisa didukung teman?
ADVERTISEMENT
Politisasi pendidikan, dalam bentuk keterlibatan orangtua, alumni, semua bagian publik termasuk partai, bukanlah otomatis kriminalisasi atau konspirasi. Sama seperti politik bisa dilakukan dengan cara baik maupun cara yang tidak baik, kebijakan pendidikan juga ada yang efektif dan tidak efektif. Publik yang terlibat perlu menolak dimanipulasi, dan tidak hanya sekedar menjadi mitra konsultasi. Mari memahami pentingnya publik yang berdaya dalam mempengaruhi kebijakan pendidikan dari mulai tingkat sekolah, kecamatan dan daerah sampai nasional. Mari kita menjadi dewasa dalam politik pendidikan, saling menjaga janji untuk konsisten pada kepentingan anak, generasi Indonesia masa depan!
#MerdekaBelajar #SemuaMuridSemuaGuru