Semua Murid Semua Guru: Senyuman dalam Pengungsian

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
19 Juni 2018 16:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pengungsi pencari suaka di Kebon Sirih (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Para pengungsi pencari suaka di Kebon Sirih (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kagum pada akting Jackie Chan, lagu Bob Marley, tulisan Thomas Mann atau penemuan Albert Einstein? Belum tentu kita tahu bahwa persamaan di antara mereka adalah sesama pengungsi dan pencari suaka.
ADVERTISEMENT
Berjalan ke luar rumah dan sekadar bertanya pada tetangga--di Jakarta, Bantul atau Manado, banyak yang masih terperangah dan tidak sadar bahwa sekitar 14 ribu pengungsi hidup di berbagai daerah di Indonesia.
Jumlah tersebut sebetulnya kecil dibanding ratusan ribu di Thailand atau Malaysia, apalagi dibanding total pengungsi dunia sekitar 22,5 - 24 juta orang dari 65 juta orang yang memilih bermigrasi meninggalkan tanah airnya (angka tertinggi sepanjang masa setelah perang dunia ke-2).
Protes imigran di perbatasan AS-Meksiko (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Protes imigran di perbatasan AS-Meksiko (Foto: AFP)
Kebijakan imigrasi Amerika Serikat yang makin ketat setelah presiden Donald Trump, menuai banyak kritik dan kesedihan--terutama mengenai pemisahan anak dengan keluarganya. Keprihatinan yang penting tentang apa yang terjadi di negara adidaya, namun tidak selalu diiringi kesadaran tentang isu yang sama di negara kita.
ADVERTISEMENT
Bayangkan perasaan dan pikiran anda saat kehilangan KTP atau kartu ATM di perjalanan--keruwetan berkait identitas dan keamanan, berhubungan dengan petugas bandara atau kepolisian yang hanya beberapa hari atau jam saja sudah cukup menguras tenaga.
Keluarga pengungsi mengalami kehilangan identitas dan kewarganegaraannya dalam skala yang lebih hebat, dalam jangka waktu yang jauh lebih lama. Bersama itu pula hilang berbagai hak mereka untuk berpindah kota atau rumah, bekerja, dan bersekolah. Detensi dan pengecekan harian, juga pembatasan jam malam--semua ini menjadi bagian hidup dari ribuan anak di sekitar kita.
Aksi imigran Afrika di Israel menolak deportasi (Foto: REUTERS/Amir Cohen)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi imigran Afrika di Israel menolak deportasi (Foto: REUTERS/Amir Cohen)
Cukup banyak perubahan yang dilakukan pemerintah Indonesia yang bekerja dengan berbagai organisasi masyarakat dan antarnegara. Walaupun belum meratifikasi konvensi PBB berkait ini, namun Peraturan Presiden di akhir 2016 mengklarifikasi bahwa mereka bukan kriminal dan perlu mendapat penanganan. Sayang dalam pelaksanaannya, isu otonomi daerah dan alokasi sumber daya terus menghantui berbagai upaya berdaya.
ADVERTISEMENT
Banyak kesempatan kita untuk berubah sikap. Bila sebelumnya kita memandang imigrasi dengan ketakutan, kita bisa menunjukkan lebih banyak kepedulian.
Pendidikan adalah hak setiap anak, namun kenyataannya sangat sedikit anak pengungsi dan pencari suaka yang mendapatkannya. 91% anak di dunia mendapatkan pendidikan dasar, hanya 61% anak pengungsi dan pencari suaka bersekolah. Di tingkat menengah, hanya 34% dibanding 84% anak dunia dan hanya 1% yang melanjutkan ke perguruan tinggi dibanding 36% penduduk lain.
Bayangkan betapa banyak potensi kontribusi yang hilang, berapa banyak kemiskinan dan ketidakberdayaan yang diwariskan. Banyak anak yang kemudian bekerja di bawah umur atau bahkan menjadi bagian organisasi teroris atau tentara bayaran.
ADVERTISEMENT
Belum lagi faktor budaya yang dibawa, masih membuat kesempatan anak-anak perempuan terbatas--dan pada akhirnya menjadi korban eksploitasi seksual atau pernikahan dini.
Kesempatan memperluas jaringan dukungan, meningkatkan pemahaman akan diri dan lingkungan serta nantinya menggerakan perubahan - hanya akan terjadi bila pendidikan dilakukan berkelanjutan. Manfaatnya akan terasa pada anak dan keluarga yang bersangkutan, juga negara yang ditinggalkan maupun negara yang menjadi tempat pemberhentian.
Dengan cara yang lebih sederhana, mari mencari tahu apakah sekolah Anda termasuk salah satu yang menerima anak pengungsi dan pencari suaka, yang saat ini sudah bisa belajar di berbagai sekolah negeri. Pertemuan dan perkenalan, selalu menjadi awal dari perubahan dan penghormatan.
Protes penahanan terhadap pencari suaka (Foto: REUTERS/David Gray)
zoom-in-whitePerbesar
Protes penahanan terhadap pencari suaka (Foto: REUTERS/David Gray)
Jika bertemu dengan keluarga berkebangsaan lain di tempat atau kendaraan umum, tersenyum atau menyapa dalam bahasa Indonesia bisa menjadi sangat berharga bagi mereka yang merasa asing dan tidak diterima. Mengingat bahwa senyuman selalu dibalas dengan senyuman, di mana pun kita berada di dunia, adalah salah satu berkah hidup manusia.
ADVERTISEMENT
Mari memperingati Hari Pengungsi dan Pencari Suaka Dunia, 20 Juni 2018.