Provinsi Aceh punya memori pahit tentang bencana alam. Pada Minggu, 26 Desember 2004 gempa dahsyat berkekuatan 9,3 magnitudo mengguncang Aceh. Saking kuatnya, gempa ini disebut terbesar kelima dalam sejarah, setara bom 100 gigaton yang menyebabkan planet bumi bergetar 0,4 inci-1 sentimeter.
Gempa tersebut memicu tsunami berketinggian mencapai 30 meter dengan kecepatan 100 meter per detik (360 kilometer per jam). Lima belas negara terdampak tsunami ini. Provinsi Aceh menjadi yang terparah setelah Sri Lanka, India, dan Thailand. Akibat tsunami, diperkirakan 200-300 ribu orang meninggal dan 500 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Genap 18 tahun sudah sejak peristiwa itu, ingatan tentangnya masih melekat kuat dalam benak masyarakat Aceh dan rutin diperingati setiap 26 Desember.
Pascagempa dan tsunami 2004 di Aceh, banyak orang bertanya-tanya tentang akar penyebab bencana dahsyat itu. Beragam narasi berkembang, namun yang menarik adalah narasi yang menghubungkan perilaku maksiat/dosa dengan kejadian bencana. Mayoritas masyarakat Aceh meyakini bahwa tsunami (atau kejadian bencana lainnya) merupakan bentuk hukuman Tuhan akibat perilaku maksiat/dosa yang dilakukan manusia. Lalu bagaimana manifestasi keyakinan ini dalam masyarakat Aceh? Dan bagaimana implikasinya terhadap penanggulangan bencana di Aceh?
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814