Pemberitaan pendirian atau aktivitas tambang di Indonesia selalu beriringan dengan gerakan masyarakat yang menolak ruang hidupnya dirampas dan dirusak. Persoalannya selalu sama: negara gagal menjamin hak hidup warga negaranya—jika bukan menggadaikannya ke perusahaan. Konflik masyarakat dengan perusahaan tambang yang di-backing-i negara terjadi hampir di setiap pulau utama di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua.
Merujuk laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada 2014-2020, telah terjadi setidaknya 116 kasus konflik pertambangan terdata. Jenis kasus konflik tambang beragam, dari kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, kasus perampasan lahan, kasus kriminalisasi warga yang menolak tambang, kasus pemutusan hubungan kerja, dan sejenisnya.
Kasus-kasus konflik tambang di Indonesia terus terjadi hingga hari ini. Terbaru adalah konflik yang disebabkan pendirian tambang mineral oleh Perusahaan Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara; kasus pendirian tambang batu andesit oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Desa Wadas, Jawa Tengah; dan kasus pendirian tambang nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Namun bukannya berbenah dan menyelesaikan konflik pertambangan, pemerintah bersama DPR malah memberikan karpet merah untuk pendirian tambang-tambang baru melalui pengesahaan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dan UU Cipta Kerja (UU CK) yang menawarkan efisiensi dan kemudahan berusaha.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814