Ku Ingin Tua Bareng, Hadi

Nasihin Masha
Wartawan senior, pemerhati ikhwal kebangsaan
Konten dari Pengguna
19 Juli 2020 20:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komisaris Pertagas, Hadi Mustofa Djuraid.
 Foto: Pertagas
zoom-in-whitePerbesar
Komisaris Pertagas, Hadi Mustofa Djuraid. Foto: Pertagas
ADVERTISEMENT
Menjelang Maghrib, kami sampai di rumah kembali. Kutatap kembali kotak itu. Kotak itu pula yang aku tatap sebelum berangkat, setelah Jumatan sebelumnya. Tak hanya onggokan kotak itu, usai Jumatan sejujurnya saya berniat meneleponmu. Seperti biasa, kau adalah lebih dari saudara kandung. Kuingin curhat. Sebetulnya saya berniat menelepon sekitar pukul 10 paginya, tapi curhat butuh ruang private. Saat itu tak memungkinkan. Maka saya pilih usai Jumatan.
ADVERTISEMENT
Duuuh…Hadiii….
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uuuunnn…. Tangisku pecah (bahkan saat menulis ini pun, usai subuh). Usai Jumat, setelah makan siang yang disediakan istri – kebetulan hari itu saya work from home – saya membuka hape. Ternyata Allah SWT sangat menyayangimu. Hadi Mustofa Djuraid (9 Desember 1964), kau berpulang. Pesan pribadi dari banyak teman, grup-grup whatsapp ramai mengabarkan kepergianmu. Saya tak bisa ikut nimbrung dalam pembicaraan virtual itu. Segera berganti baju, bersama istri, saya ke rumahmu. Saya membayangkan istrimu yang baik, Mbak Zahro Naimah, sangat kehilanganmu. Kau menikah usai wisuda, di masjid kampus, dan tak mengarungi masa pacaran. Kini, anak-anakmu sudah dewasa. Anak pertama, Tika, sedang studi doktoral di Jepang. Anak kedua, Dina, sudah menikah satu tahun lalu. Anakmu memang cuma dua. Saya melihat di facebookmu, kau menikmati hari-harimu akhir-akhir ini, sering bersepeda bareng dengan istri. Kamu berfoto bersitatap dengan istrimu. Lembut dan mesra. Kau justru sedang menikmati masa pacaran yang indah, hanya sayang yang terpancar. Tak ada yang lain.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan menuju rumahmu, di dalam mobil, saya dan istri hanya satu-dua kali berucap kata. Kami semua membisu. Beragam rasa berkecamuk. Sedih, terkenang-kenang, sesal, dan beragam rasa yang lain. Padahal di dalam mobil justru biasanya merupakan tempat paling mengasyikkan untuk bercengkerama dengan istri. Tapi tidak untuk kali ini. “Mas Hadi selalu hadir dalam momen penting keluarga kita,” kata istriku. “Ya,” kataku. Singkat. Keluarga kami dan keluarga Hadi saling kenal. Kami sekeluarga berkunjung ke rumahnya, Hadi sekeluarga juga berkunjung ke rumah saya. Saat saya menikah, pada 1998, Hadi sengaja datang lebih awal, bersama Pak S Sinansari ecip dan Mas Ahmadi Thaha. Padahal saya menikah di kampung, jauh.
Jonan di makam Hadi Mustofa
Deg. Hati ini berdegup. Kami tiba di rumahmu. Tukang tenda sedang membongkar besi-besi tenda dari truk. Memang, tenda belum terpasang. Rumahmu belum ramai. Saya dan istri langsung masuk. Saya langsung bersimpuh di sisimu. Kutatap wajahmu yang samar bertirai kerudung putih berbunga. Kain batik menutupi sekujur tubuhmu. Kuraba tanganmu. Ingin berjabat. Kuusap-usap. Tanganmu dingin. Lembut. Air mata merembes hangat. Istrimu bertanya. Kulihat wajahnya basah oleh air mata. Ia tak begitu mengenaliku atau ingin meyakinkan diri? Maklum wajahku kecil. Sehingga masker itu memenuhi 75 persen wajahku. Apalagi berkacamata dan berpeci hitam. Jadi sangat rapat. Perlahan saya buka maskerku. Mbak Naimah terpekik menangis. “Mas Nasihin…,” katanya tersedu. Ia ingin memelukku. Kudorong istriku untuk memeluknya. Mereka bertangisan, berpelukan. Saya jadi ikut menangis lagi. Kulihat Yahya Zaini, politisi Golkar, berdoa di depan jenazah.
ADVERTISEMENT
Dalam hitungan menit, persiapan untuk memandikan sudah beres. Kudekap kepalamu. Kuangkat bahumu. Kami menggotongmu ke pemandian. Sarung tangan, kaos tipis lengan panjang, dan celana training bertali di bagian bawah masih lekat menempel. Perlahan kuikut menggunting kausmu dan kaus dalammu. Kaus dalam itu masih cepel oleh keringatmu. Basah kuyup. Perjalanan sekitar 23 km itu sangat jauh untuk bersepeda dengan sepeda lipat.
Sekitar enam orang memandikan Hadi. Dari pihak keluarga ada menantu dan keponakannya. Keluarga di Jawa Timur tentu belum datang. Kusiram perlahan, kugosok perlahan. Wajahmu tersenyum dalam tidur. Dimulai seperti diwudukan, lalu dimulai dari bagian kanan dulu. Dibersihkan mulutnya. Disabuni dan dibilas. Terakhir disiram dengan air yang sudah dicampur dengan gerusan kamper. Saya menyusul Mbak Naimah dan Dina untuk ikut menyiram terakhir kalinya. Lalu digotong kembali untuk diletakkan di kain kafan yang sudah membentang. Kudekap kepala dan bahunya. Setelah pengkafanan selesai, jenazah Hadi diangkat ke dipan. Wajahnya dibiarkan terbuka, untuk penghormatan terakhir. Istri dan anaknya memeluknya, menciumnya. Ignasius Jonan (datang bersama istrinya), mantan menteri perhubungan dan mantan menteri ESDM, memandangi wajah Hadi untuk terakhir kalinya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu jenazah dibawa ke Masjid Darussalam, yang berada di dalam komplek Griya Tugu Asri, Depok, sekitar 500 meter dari rumah Hadi. Setelah ikut mengangkat keranda, saya ikut masuk ke mobil ambulans. Berbarengan dengan waktu Ashar, maka sebelum sholat jenazah, didahului dengan sholat Ashar. Dalam sambutannya, Ustad Zamzami, guru mengaji Hadi bercerita tentang sosok Hadi. Hadi selalu datang awal di masjid saat subuh. Dimulai dengan sholat Fajar, lalu sholat Subuh, dan diakhiri dengan membaca Alquran. Begitu hari-harinya dilalui. Hadi memang pernah bercerita bahwa sudah lama ia aktif di majelis taklim di komplek perumahannya. Terakhir ia bercerita bahwa ia ikut tahfidz, hapalan Alquran. Hadi sudah lulus dua juz. Pagi Jumat (17/7) itu ia baru menyetor hapalan yang baru.
ADVERTISEMENT
***
Direktur Utama Balai Pustaka (BP), Achmad Fachrodji, dan sejumlah general managernya datang bertakziyah, menemui istri Hadi usai penguburan. Saya yang sengaja ikut mengantar istri Hadi ke rumahnya sempat berbincang sebentar dengan dirut yang sukses memperbaiki kinerja perusahaan penerbit buku milik negara ini. Rupanya Hadi pagi-pagi sudah menggowes sepedanya menuju ke kantor BP. Jam tujuh lebih sudah tiba di kantor BP yang terletak di bilangan Matraman. “Jaraknya sekitar 23 kilometer. Jadi jika pulang pergi ya 46 kilometer,” kata Fachrodji. BP dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sedang memiliki gawean menyusun buku sejarah kereta api. Hadi yang pernah membantu Jonan saat menjadi dirut KAI diminta membantu penulisan buku tersebut. Hadi memang menulis beberapa buku tentang kereta api. Ia juga banyak mengerjakan penulisan buku sejumlah BUMN. Ia juga menulis biografi Jonan dan Abdulrahman Saleh, mantan Jaksa Agung.
ADVERTISEMENT
Usai rapat, sekitar pukul sembilan, Hadi pulang ke rumahnya lagi. Istrinya, Naimah, sudah mengingatkan Hadi untuk tak perlu memakai sepeda. Saat berangkat, maupun saat mau pulang. “Jam sembilan telepon. Mau pulang katanya,” katanya. Di saat kesedihan menyembul tak tertahan, dengan suara merintih dan tersedu, ia bilang, “Sudah dibilangin jangan naik sepeda pulangnya….” Hadi memang sering bepergian ke Jakarta dari Depok dengan bersepeda. Namun pulangnya selalu menggunakan taksi online. Sepeda lipat memang memudahkan untuk dikemas di dalam mobil.
Namun suaminya tak kunjung datang. Ia menelepon berkali-kali, tapi teleponnya tak diangkat. Tentu ia khawatir. Apalagi itu hari Jumat. Jam dua belas harus sudah berangkat sholat Jumat. Hingga akhirnya, telepon itu diangkat. “Ini dengan siapa?” suara seseorang. Bukan suara suaminya. “Saya istrinya,” jawabnya. “Ini dari rumah sakit. Ibu tunggu saja di rumah,” kata orang itu. Telepon langsung ditutup. Hadi yang datang ke rumah adalah Hadi yang sudah menjadi jenazah.
ADVERTISEMENT
Dari tamu-tamu yang bertakziyah, dari karangan bunga yang berjejer, dari ucapan-ucapan duka di facebook, dari ucapan-ucapan simpati di grup-grup whatsapp, merupakan bukti jejak perjalananmu. Ada lima kesimpulan: ramah, pekerja keras, pendiam, profesional, dan berkomitmen. Walau tak banyak bicara, saat bicara Hadi akan lancar, runtut, jelas, kalimat yang bagus, dan enak didengar. Tak salah jika Jonan mengangkatnya sebagai staf khusus saat menjadi Menhub maupun Men ESDM. Tak salah pula jika ia menjadi juru bicara. Sebagai pekerja keras dan orang yang cerdas, ia bisa belajar dengan cepat. Tak lama duduk di Kemenhub, ada kecelakaan pesawat. Hadi dengan tangkas memberikan keterangan yang clear. Tak hanya berbicara langsung, tapi juga ia aktif memberikan siaran pers dan memberikan keterangan melalui twitter. Padahal dunia penerbangan adalah hal baru bagi Hadi. Tentu saja ia terbantu dengan pola kerja Jonan dan nama besar Jonan yang sukses menjadi dirut KAI. Namun tanpa kemampuan personal tentu Hadi tak mungkin bisa beradaptasi dengan cepat. Namanya langsung moncer menjadi juru bicara. Hingga kemudian ia tak pernah muncul lagi. Rupanya ada yang tak suka, ada tekanan politik ke Jonan. “Pak Jonan harus tampil sendiri,” kata Hadi suatu ketika. Padahal selama ini pun Jonan sering tampil, hanya tentu tak semua hal dan tak setiap saat mesti Jonan yang berbicara. Jonan bukan tipikal pejabat yang bersembunyi dari keramaian.
ADVERTISEMENT
Setelah Jonan dicopot dari jabatan Menhub, Hadi tetap bersama Jonan. Sehingga tak heran ketika Jonan diangkat lagi sebagai menteri ESDM, Hadi kembali menjadi staf khusus. Hadi memang sukses menjalankan tugas sebagai staf khusus yang membidangi komunikasi publik. Rupanya ada saja yang tak suka dengan posisinya sebagai kepercayaan Jonan. Kali ini isu radikal yang disematkan ke Hadi. Namun kali ini Jonan menyatakan dengan tegas: “Saya lebih tahu siapa Hadi.” Jonan adalah seorang Katolik dan beretnis Tionghoa. Sedangkan Hadi seorang Muslim yang taat dan Jawa. Rupanya nilai-nilai Pancasila yang toleran benar-benar dicerminkan pada hubungan keduanya yang akrab. “Mas Hadi seperti keluarga saya sendiri,” kata Jonan. Hadi pun bercerita tentang kehidupan pribadi Jonan dan kerabat Jonan yang juga ada yang Muslim. Setelah Jonan tak lagi menjadi menteri, mereka tetap dekat dan bersama. “Saya kehilangan besar atas kepergian Mas Hadi,” kata Jonan saat memberikan testimoni di Masjid Darussalam. Pada kesempatan itu, Archandra Tahar, mantan wakil menteri ESDM, juga ikut memberikan sambutan.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Hadi dalam hal komunikasi publik sudah sangat panjang. Sebelum membantu Jonan sekitar 10 tahun, Hadi membantu Abdulrahman Saleh saat menjadi Jaksa Agung, membantu Sugiharto dan ikut membantu Dahlan Iskan saat menjadi Menteri BUMN, juga ikut membantu Maftuh Basyuni maupun Suryadharma Ali saat mereka menjadi Menteri Agama. Karena itu, ilmu dan pengalaman Hadi sudah panjang dalam hal seperti itu. Bahkan walau bukan sebagai staf khusus, pidato-pidato Sugiharto diperiksa Hadi terlebih dulu. Tentu puncak kariernya adalah saat bersama Jonan. Ia benar-benar mendapatkan penghargaan yang semestinya. Ia pernah menjadi Dewan Pengawas Antara dan komisaris di Pertagas.
Dunia komunikasi bagi Hadi bukan hal yang baru. Sebelum itu ia melanglang buana sebagai wartawan. Ia meniti karier sebagai reporter Berita Buana. Lalu menjadi reporter Republika di Surabaya hingga kemudian diangkat menjadi kepala biro. Kesuksesannya memimpin di Jawa Timur membuat dirinya ditarik ke Jakarta menjadi redaktur politik dan kemudian koordinator desk nasional yang membawahi isu-isu polkam. Usai reformasi, ia keluar dari Republika menjadi pemimpin redaksi koran Abadi yang terafiliasi ke Partai Bulan Bintang. Hadi memang pernah aktif di organisai keagamaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Namun kemudian koran itu tutup. Ketika Metro TV berdiri ia ditarik Hersubeno Arief – pernah menjadi wartawan majalah Editor dan koran Republika. Sedangkan Hersubeno sendiri diajak oleh Andy F Noya, yang menjadi pemimpin redaksi. Mereka bertiga inilah yang memiliki peran lumayan besar dalam menyusun tim redaksi. Namun Hadi kemudian keluar lagi dari Metro TV. Setelah itu menjadi pemred di Tabloid Fikri dan Majalah Alia serta BUMN Track.
ADVERTISEMENT
Di antara jeda perpindahan dari satu media ke media lain maupun saat tak lagi memiliki pekerjaan di media, Hadi pernah mengalami kehidupan ekonomi yang terpuruk. Beruntung istrinya adalah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Sebagai dosen yang tak menyambi, tentu saja penghasilannya tak cukup untuk menanggung beban keluarga. Namun demikian, Hadi tak pernah mengeluh. Jika berucap tentang hal begitu pun hanya samar. Ia menelan sendiri dan tak pernah mengiba. Ia pria yang tangguh dan penyabar. Hingga kemudian ia bertemu dengan jalannya.
Dua anaknya boleh dibilang sudah relatif mentas. Memang anak pertama sedang menempuh studi doktoral, tapi ia sudah menjadi dosen di Universitas Indonesia. Sedangkan anak keduanya sudah menjadi dokter gigi dan sudah menikah. Saat bercerita tentang dua anaknya, Hadi suka senyum sendiri. Anak pertamanya tipikal serius, tekun, dan pekerja keras. Mirip seperti Hadi. Sedangkan anak keduanya justru lebih cuek. Hadi dan istrinya pun tak pernah menuntut ini-itu. Namun saat kelas 3 SMA, anak ini bertekad bisa kuliah di UI seperti kakaknya. Ia ingin menjadi dokter gigi. Tentu mereka girang, walau di hati kecilnya kaget dan waswas. Dengan semangat tinggi, Dina ingin ikut bimbel. Akhirnya dipilih bimbel alumni SMA 8. Dan itu jauh, di Tebet, Jakarta. Tapi Dina bersemangat, tiap hari secara mandiri naik KRL. Cita-citanya terwujud. Dina diterima di FKG UI. Hadi bahagia sekali.
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan Hadi adalah saat bercerita tentang anak-anaknya. Ia bercerita tentang kesibukan anaknya yang sudah berpraktik sebagai dokter gigi di beberapa tempat. Tentu penghasilannya lumayan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan penghasilan ayah-ibunya dulu saat baru mulai bekerja. Ia juga bercerita tentang anak pertamanya yang mendapat beasiswa kuliah S2 di Thailand. Lalu menjadi dosen. Dan tentu ia juga bercerita tentang anaknya yang kembali mendapatkan beasiswa untuk kuliah S3 di Jepang. Tika, anak pertama ini, tak bisa pulang mengantar kepergian ayahnya. Ia sudah tahap akhir untuk meraih gelar doktor.
Dengan anak-anak yang relatif sudah bisa mandiri dan dirinya yang sudah tak banyak kesibukan, Hadi banyak menghabiskan waktunya untuk berdua-dua dengan istrinya. Ia sering posting fotonya saat bersepeda dengan istrinya. Berpacaran, sesuatu yang tak ia lakoni saat muda.
ADVERTISEMENT
Pada 7 Juli 2020, pukul 14.04 WIB, pesan WA dari Hadi masuk: “Alhamdulillah telah lahir cucu pertama kami, hari ini Selasa 16 Dzul Qaidah 1441/7 Juli 2020, pkl 11.35 WIB, laki-laki, di RS Hermina Janigera”. Diakhiri dengan ikon dua tangan yang ditangkupkan. Setelah menyampaikan selamat dan doa, saya menyampaikan permohonan maaf karena belum bisa bezoek karena sedang raker selama tiga hari. Ia justru menjawab bahwa memang belum bisa dijenguk. Ada protokol kesehatan yang harus dijalankan di masa wabah Covid-19 ini. Kebetulan pada akhir pekannya, saya harus pulang kampung. Dipanggil mertua. Maka pada Sabtu 18 Juli 2020 saya dan istri berniat untuk ke rumahnya. Tapi pada Jumat 17 Juli 2020, Hadi justru berpulang. Saya sudah meminta istri memilihkan kado yang tepat. Kado itu masih teronggok di rumah, terbungkus dengan rapi, yang tak bosan saya tatap….
ADVERTISEMENT
Hadi tipikal sahabat yang luar biasa. Kami sering membayangkan bisa menjalani hari-hari tua bersama seperti yang kadang kami bicarakan. Traveling, kuliner, menulis, kongkow… Banyak ide yang tertuang. Dan selalu kami jawab: Ayo....
Selamat jalan, saudaraku….
Oleh Nasihin Masha