Nadiem dan Pendidikan Masa Depan

Nasihin Masha
Wartawan senior, pemerhati ikhwal kebangsaan
Konten dari Pengguna
28 Juli 2020 10:35 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasihin Masha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat menghadiri Rapat kerja komisi X DPR RI, Selasa (28/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat menghadiri Rapat kerja komisi X DPR RI, Selasa (28/1). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan singkat Fachry Ali, peneliti dan pengamat sosial di Facebook menjadi viral. Tulisan itu di-capture dan beredar di platform media sosial lain maupun di media jejaring seperti WhatsApp. Tulisan itu juga menjadi berita di media online.
ADVERTISEMENT
Catatan singkat itu mengutip pernyataan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim. “Saya tidak tahu masa lalu. Tapi saya tahu masa depan.” Di situ disebutkan bahwa pernyataan itu disampaikan usai dipanggil presiden untuk menjadi menteri pada akhir 2019. Lalu dikaitkan dengan Program Organisasi Penggerak (POP), yang sedang menjadi kontroversi. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan PGRI menyatakan mundur dari POP.
Ini karena masuknya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, yang masing-masing akan menerima Rp 20 miliar per tahun. Fachry menyatakan bahwa Nadiem benar-benar tidak tahu masa lalu, karena dua yayasan milik taipan itu baru “beberapa menit” lahir dibandingkan dengan Muhammadiyah dan NU yang sudah berkhidmat di dunia pendidikan sejak Indonesia belum merdeka.
Masuknya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation menimbulkan kontroversi karena tiga hal. Pertama, Soekanto Tanoto adalah taipan yang pernah membuat kontroversi karena pernah beredar video tentang ‘tanah airnya’ yang bukan Indonesia. Selain itu, kantor pusat perusahaannya sudah tidak lagi di Indonesia tetapi di Singapura. Ia juga tinggal di Singapura. Kedua, Iwan Syahril, mantan staf khusus Mendikbud yang kini menjadi dirjen di kemendikbud, memiliki keterkaitan dengan dua yayasan itu. Ia lama terlibat dalam kegiatan Sampoerna dan pernah menjadi dekan di perguruan tinggi di lembaga pendidikan Sampoerna. Iwan juga duduk sebagai salah satu anggota dewan penasihat teknis di Tanoto. Ketiga, dua yayasan itu milik taipan yang semestinya tak butuh dana negara. Mereka justru yang semestinya mendanai banyak kegiatan sosial.
ADVERTISEMENT

Nadiem dan Perjalanannya

Narasi Fachry yang membuat kontras masa lalu vs masa depan dan Muhammadiyah-NU vs Tanoto-Sampoerna telah membuat isu ini menjadi mudah hangat. Ada banyak tafsir dan argumen di sana, ada banyak nuansa dan rasa yang saling berkelindan. Apalagi isu POP itu sendiri sudah menjadi isu hangat. Wakil rakyat di DPR pun sudah ikut bersuara. Kalangan intelektual dan akademisi sudah lebih dulu bersuara, seperti Azyumardi Azra misalnya, yang menyatakan rapor Nadiem merah. Program unggulannya tentang pendidikan merdeka ternyata sudah menjadi hak cipta sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan. Belum lagi tentang sekolah daring yang tak diimbangi dengan kebijakan pengiring bagi siswa miskin dan di daerah blank spot.
Sebelum kita mengulas lebih jauh, ada baiknya kita melacak pernyataan Nadiem terlebih dulu. Jika kita lacak di media online dan YouTube, kita akan mendapati pernyataan Nadiem itu terjadi pada Rabu, 23 Oktober 2019. Saat itu ia ditanya wartawan usai pelantikan kabinet di Istana. Inilah transkrip pernyataannya, seperti bisa dilihat pada reportase Kompas TV yang dimuat di youtube:
ADVERTISEMENT
“Alasan kenapa mungkin saya terpilih, walau saya bukan dari sektor pendidikan, satu, saya lebih mengerti, belum tentu mengerti, tapi lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan kita. Itu yang pertama. Memang bisnis saya di bidang masa depan, untuk mengantisipasi masa depan. Dan kebutuhan lingkungan pekerjaan di masa depan itu sangat berbeda dan akan selalu berubah. Dan itulah link and match itu apa yang Pak Presiden bilang kemarin. Sekali lagi ini visi Pak Presiden, bukan visi saya. Link and match itu adalah saya yang akan mencoba menyambung apa yang dilakukan di institusi pendidikan, menyambung kepada apa yang dibutuhkan di luar institusi pendidikan, agar ada adaptasi dengan segala perubahan itu,” kata Nadiem.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Nadiem berbicara tentang peran teknologi di bidang pendidikan untuk mencapai efisiensi dalam birokrasi dan membangun kualitas pendidikan. Terakhir, ia menyampaikan bahwa tidak bisa lagi business as usual, begitu-begitu saja, sehingga harus mendobrak dan melakukan inovasi. Nadiem juga menyampaikan bahwa pendidikan harus berbasis kompetensi dan karakter.
Dengan mengklaim sebagai satu-satunya milenial di kabinet (lahir 4 Juli 1984), Nadiem beberapa kali tampil kasual, termasuk saat menghadiri pelantikan rektor Universitas Indonesia. Ia mengenakan batik dengan lengan digulung, celana jins, dan sepatu nonformal. Hal itu mendapat kritikan dari berbagai pihak. Ia juga beberapa kali terlihat mengenakan jins, tas ransel, lengan baju digulung. Ia mengesankan gaya milenial yang fun dan santuy.
Nadiem adalah putra Nono Anwar Makarim, praktisi hukum sukses berdarah Arab. Nono juga dikenal sebagai aktivis angkatan 66. Pamannya, Zacky Anwar Makarim adalah mantan kepala Bais TNI, seorang intel yang disegani dan dekat dengan Prabowo Subianto. Ibunya, Atika Algadri adalah putri Hamid Algadri, seorang pejuang dari Partai Arab Indonesia yang kemudian bergabung ke Partai Sosialis Indonesia (PSI). Atika adalah kakak Maher Algadri, sahabat Prabowo. Nadiem tumbuh dalam lingkungan terdidik kelas atas, sekular, dan liberal. Tak heran jika sempat beredar foto-foto pernikahannya dengan Franka Franklin di sebuah gereja. Nadiem yang lahir di Singapura banyak berada di luar negeri. Ia menyelesaikan pendidikan SMA nya di Singapura, lalu mengambil pendidikan sarjana dan pasca-sarjana di Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai orang yang cerdas. Setelah berkarier di McKinsey, Zalora, dan Kartuku, akhirnya ia mendirikan Gojek bersama teman-temannya. Namanya melambung setelah sukses menjadikan Gojek sebagai decacorn, sebuah bisnis start up dengan valuasi di atas 10 miliar dolar AS. Nadiem memang fenomenal, wakil generasi milenial yang sukses.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan reportase wartakota.tribunnews.com, ada tiga menteri yang tak menyalami Wapres KH Ma’ruf Amin, usai acara pemberian surat keputusan pengangkatan sebagai menteri. Mereka adalah Teten Masduki, Johny Gerard Plate, dan Nadiem. Bahkan Nadiem disebutkan juga tak menyalami Iriana Joko Widodo. Mungkin karena lupa atau grogi. Selain itu, ada tiga menteri yang mencium tangan KH Ma’ruf Amin. Mereka adalah Ida Fauziah, Abdul Halim Iskandar, dan Erick Thohir. Fakta-fakta ini tentu menarik jika dilihat dari sudut budaya ketimuran.

Pendidikan dan Kebudayaan

“Pendidikan dan pengajaran itu dalam hakikatnya adalah usaha kultural, dengan maksud mempertinggi hidup masyarakat pada umumnya.” Ki Hadjar Dewantara, pidato pada sidang KNIP di Malang, 3 Maret 1947.
Ki Hadjar adalah Bapak Pendidikan Indonesia. Pendiri perguruan Taman Siswa pada 1922 itu merupakan peletak dasar pendidikan Indonesia. Menurutnya, pendidikan tidak hanya bersifat laku pembangunan, tetapi juga merupakan laku perjuangan. “Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan,” katanya.
Nadiem Makarim. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Tugas pendidikan memang untuk menghadapi dan menyiapkan masa depan. Namun masa depan bukan hanya soal kesesuaian pendidikan dengan jenis pekerjaan semata. Karena seperti kata Ki Hadjar, pendidikan adalah peristiwa budaya. Pekerjaan, nilai tambah, dan sejenisnya tentang teknis ekonomi hanya bagian kecil dari pendidikan, yang tentu saja tak boleh diabaikan. Saat Daoed Joesoef dan Wardiman Djojonegoro menjadi mendikbud, diskursus tentang pendidikan dan lapangan kerja sudah menjadi tema yang hangat. Istilah link and match bahkan menjadi mantra tersendiri bagi Wardiman dan juga BJ Habibie. Namun kalangan pendidik selalu akan menarik dengan keras bahwa pendidikan bukan hanya itu. Karena masa depan bukan sekadar lapangan kerja dengan segala detilnya tapi juga tentang imajinasi budaya yang jauh lebih rumit dari itu. Atau dalam bahasa sederhananya seperti yang dikonstatir oleh Ki Hadjar: “mempertinggi mutu hidup masyarakat”. Karena individu, dalam konteks ini adalah peserta didik, bukan sekadar perkakas dan alat produksi yang akan masuk dalam rak industri.
ADVERTISEMENT
Sebagai menteri pengajaran, pada 29 September 1945, Ki Hadjar berbicara lebih jauh lagi tentang pendidikan. Ia mengeluarkan instruksi tentang pendidikan. Ini salah satu instruksinya: “Dasarkanlah segala usaha pendidikan dan pengajaran pada dasar kebangsaan Indonesia dalam arti yang luas, tinggi dan dalam, dan hanya terbatas oleh syarat-syarat adab kemanusiaan, seperti yang dimaksudkan oleh segala pengajaran agama.” Pendidikan mengemban misi suci yang lain, yakni tentang semangat kebangsaan, yang bahkan ia kaitkan dengan adab kemanusiaan dan niai-nilai keagamaan. Di sini akan bicara nasionalisme dalam pengertiannya yang luas. Tentu saja di dalamnya ada unsur sejarah, cinta Tanah Air, nilai-nilai bersama, kesamaan nasib, dan sebagainya. Seperti terlihat pada tulisan-tulisannya, bagi Ki Hadjar, pendidikan itu harus memerdekakan. Namun kemudian dengan cepat ia mengingatkan agar semua itu dibatasi oleh adab kemanusiaan dan nilai-nilai agama – yang oleh Sukarno, kebangsaan yang tak dibatasi kemanusiaan bisa terjebak pada chauvinisme dan kemerdekaan yang tak diimbangi keadilan bisa menjadi fasis atau liberalis yang menindas dan menghisap.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks inilah, keagulan Nadiem tentang pengetahuannya menaklukkan masa depan harus direlasikan dengan segala nilai seperti yang digariskan Ki Hadjar. Era masa depan yang dicirikan oleh serba internet (internet of things), kecerdasan buatan (artificial intelligent), dan dataisme dalam praktiknya akan bersinggungan dengan budaya, sejarah, kebangsaan, kemanusiaan, situasi sosial, dan sebagainya. Secara sederhana, belajar daring bagi siswa sekolah akan dihadapkan pada realitas disparitas siswa yang berjumlah 50 juta orang dan keragamanan sekolah yang berjumlah hingga 300 ribu sekolah. Belum lagi bicara tentang kualitas guru dan aspek geografis. Pada titik ini Nadiem terlihat terantuk-antuk. Mungkin separuh hidupnya yang banyak di luar negeri dan tak pernah merasakan bangku sekolah inpres harus membuat Nadiem, seperti kata Fachry, untuk belajar sejarah bangsanya. Menaklukkan masa depan harus dimulai dengan memahami masa lalu. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, ia bisa menjadi pejabat publik yang sukses jika dilengkapi nilai-nilai kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
*oleh Nasihin Masha