Konten dari Pengguna

Orang Tua Kontenin Anak, Apakah Termasuk Eksplotasi?

Nasywa Zharifah
Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta
1 Desember 2024 15:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasywa Zharifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Freepik.com/Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Freepik.com/Freepik
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, fenomena orang tua yang membuat konten yang melibatkan anak-anak mereka semakin sering kita temui. Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dipenuhi dengan akun yang menampilkan berbagai konten dengan anak-anak, seperti kegiatan sehari-hari, tutorial yang lucu, dan prank yang disengaja. Tidak sedikit anak-anak yang menjadi viral dan terkenal karena ini. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah tindakan ini termasuk bentuk eksplotasi pada anak?
Logo TikTok. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Logo TikTok. Foto: Pixabay
Dalam era digital ini, konten anak adalah konten digital yang menampilkan anak-anak sebagai subjek utama. Jenisnya sangat beragama, mulai dari momen atau kegiatan keseharian, prank lucu, tutorial, unboxing mainan, atau challenge. Di balik layar, konten ini banyak yang sengaja dibuat oleh orang tua dengan berbagai macam tujuan, seperti mengabadikan momen kebersamaan keluarga, berbagi inspirasi, hiburan, dan didikan dengan orang lain, bahkan mencari peluang finansial jika konten menjadi viral dan menghasilkan pendapatan melalui iklan, sponsorship, atau endorsement. Namun, meski terlihat sederhana, hal ini menimbulkan perdebatan tentang batasan antara kreativitas dan eksplotasi.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi anak terjadi ketika anak dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi, baik secara ekonomi maupun sosial, tanpa memperhatikan hak dan kesejahteraan mereka. Dalam konteks konten digital, eksploitasi ini dapat berupa:
1. Pemanfaatan anak untuk monetisasi konten
Banyak orang tua yang menghasilkan pendapatan dari konten yang menampilkan anak-anak mereka. Misalnya, dengan konten lucu yang viral, orang tua dapat memonetisasi konten tersebut atau bahkan open endorsement dan menghasilkan pendapatan yang signifikan. Tidak sedikit orang tua yang bergantung pada ‘popularitas’ anak.
2.Pelanggaran privasi anak
Anak-anak yang menjadi subjek konten sering kali kehilangan kendali atas privasi mereka. Data tentang kehidupan sehari-sehari mereka terpapar ke publik, termasuk informasi seperti nama, usia, hingga lokasi rumah dan sekolah yang berisiko dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Seorang anak dikenali dan didekati di tempat publik adalah contoh dari bocornya privasi dan hilangnya kebebasan anak.
ADVERTISEMENT
3. Pemaksaan terselubung
Meski tidak semua konten melibatkan paksaan, ada kasus di mana anak-anak diminta untuk mengikuti arahan tertentu demi menghasilkan konten yang menarik. Hal ini berpotensi membebani anak secara emosional dan fisik.
Sebagian besar orang tua mungkin tidak bermaksud mengeksploitasi anak mereka. Banyak yang memandang aktivitas ini sebagai cara mengabadikan momen keluarga atau memberikan hiburan kepada Masyarakat. Namun, niat baik saja tidak cukup untuk melindungi anak dari dampak negatif pembuatan konten. Ada beberapa dampak jangka panjang mungkin tidak disadari oleh orang tua, seperti:
• Jejak digital yang sulit dihapus,
• Stigma sosial atau rasa malu yang muncul di kemudian hari,
• dan risiko bullying.
Untuk memastikan bahwa konten yang melibatkan anak tidak tergolong eksploitasi, ada beberapa langkah yang dapat diikuti:
ADVERTISEMENT
1. Prioritaskan kepentingan anak
Orang tua harus memastikan bahwa pembuatan konten tidak mengorbankan kesejahteraan fisik dan emosional anak. Jika anak merasa lelah atau tidak nyaman, proses pembuatan konten harus dihentikan.
2. Hormati privasi anak
Tidak semua momen anak harus dipublikasikan. Orang tua perlu selektif dalam memilih konten yang akan diunggah dan menghindari informasi yang dapat membahayakan anak di masa depan.
3. Beri anak pilihan
Anak-anak harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Apakah mereka setuju untuk tampil dalam video tertentu? Hal ini penting untuk mengajarkan mereka tentang batasan dan hak mereka atas tubuh serta privasi.
4. Atur pendapatan anak dengan bijak
Jika konten menghasilkan pendapatan, sebagian besar harus dialokasikan untuk kebutuhan anak di masa depan. Ini dapat dilakukan dengan membuka rekening tabungan khusus atas nama anak.
ADVERTISEMENT
5. Patuhi hukum dan etika
Di beberapa negara, ada undang-undang yang mengatur perlindungan anak di media. Orang tua harus memastikan bahwa aktivitas mereka tidak melanggar hukum yang berlaku.
Fenomena orang tua yang menjadikan anak sebagai bagian dari konten digital memerlukan kesadaran dan tanggung jawab yang besar. Orang tua perlu memahami batasan antara kreativitas dan eksplotasi, serta mengutamakan hak dan kesejahteraan anak di atas segalanya.
Dengan pendekatan yang bijak, konten anak bisa menjadi sarana berbagi kebagiaan tanpa merugikan masa depan mereka. Anak adalah individu yang berhak atas perlindungan, privasi, dan kebebasan. Jangan sampai aktivitas yang tampaknya sederhana di media sosial ini justru melanggar hak-hal tersebut.