Representasi Orientalis: Membedah Perspektif Barat pada Konflik Palestina-Israel

Natasha Nugroho
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
15 April 2024 10:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasha Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demonstrasi di Chicago, Amerika Serikat, untuk menunjukkan solidaritas dengan Palestina dan mengutuk pemboman Israel di Gaza, 18 Oktober. [GETTY]
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi di Chicago, Amerika Serikat, untuk menunjukkan solidaritas dengan Palestina dan mengutuk pemboman Israel di Gaza, 18 Oktober. [GETTY]
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah kamu mendengar narasi seperti, "Palestina pantas mendapat serangan balasan karena Hamas telah melakukan serangan terlebih dahulu" atau "Israel menandai sebulan sejak Hamas membunuh 1.400 orang dan menyandera 240 orang, memicu perang yang menyebabkan 10.300 warga Palestina meninggal?".
ADVERTISEMENT
Namun, pada kenyataannya, konflik ini tidak terjadi secara tiba-tiba pada tanggal 7 Oktober 2023; sebaliknya, ini sudah berlangsung lebih dari 100 tahun, dimulai ketika Israel mulai menyerang dan menduduki pemukiman orang Palestina. Selain itu, dengan narasi itu pula, ada perbedaan cara penyampaian di dalamnya. Warga Israel meninggal atas hal yang “aktif” dan emosional, seperti, “Hamas membunuh mereka”, sedangkan, warga Palestina meninggal secara “pasif”, seperti, “...menyebabkan mereka meninggal”.
Menariknya, narasi tersebut didapatkan dari media barat, yaitu pada artikel oleh The Times of London pada Rabu, 8 November 2023. Namun, ternyata, memang ada suatu pola bagi berbagai media barat untuk memiliki bias untuk konsisten “melawan” Palestina. Hal ini dapat dilihat dari analisis The Intercept kepada ketiga surat kabar utama Amerika Serikat, yaitu The New York Times, Washington Post, dan Los Angeles Times.
ADVERTISEMENT
Penggunaan istilah-istilah yang sangat emosional untuk pembunuhan warga sipil seperti "pembantaian," "pemusnahan," dan "mengerikan" yang hampir secara eksklusif diperuntukkan bagi warga Israel yang tewas oleh Palestina, bukan sebaliknya. Mereka sering menggunkan kata "pembantaian" untuk menggambarkan pembunuhan warga Israel jauh lebih sering daripada pembunuhan warga Palestina, dengan perbandingan 60:1.
Hal yang serupa terjadi dengan kata "pembantaian" dengan perbandingan 125:2. Selain itu, kata "mengerikan" cenderung lebih sering digunakan dalam konteks pembunuhan warga Israel daripada warga Palestina, dengan perbandingan 36:4.
Selain itu, dengan merujuk pada warga Israel yang berusia di bawah 18 tahun sebagai "anak-anak" dan Palestina sebagai "orang di bawah umur 18 tahun," lalu, korban warga sipil Palestina disebut “kerugian sekunder”, dibandingkan dengan “korban warga sipil” untuk orang Israel; dan pembunuhan perempuan dan anak-anak Palestina dibenarkan dengan memanggil konsep “perisai manusia”, yang tidak digunakan untuk orang Israel.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, tawanan Israel digambarkan sebagai “sandera” di mana tawanan Palestina adalah “narapidana”; “serangan” digunakan untuk menggambarkan peristiwa di mana orang Israel menjadi korban, dan “ledakan” digunakan untuk merujuk pada pengeboman warga Gaza oleh Israel; dan kata kerja aktif “dibunuh” digunakan untuk orang Israel (termasuk tentara), sedangkan kata kerja pasif “mati”' digunakan untuk Palestina. dan hampir secara eksklusif menyoroti kisah pribadi dan penderitaan warga Israel, media barat menghumanisasi satu sisi sementara mengurangi martabat sisi lain.
Selain itu, bagaimana media barat mengakui pembingkaian (framing) Israel yang melihat “krisis” ini sebagai “perang” menciptakan kesetaraan yang palsu. Konflik ini bukan hanya sekadar “perang biasa”, melainkan sebuah konflik antara penjajah dan yang dijajah. Kita perlu menyadari bahwa ada perbedaan besar dalam kemampuan militer dan sumber daya antara Palestina dan Israel.
ADVERTISEMENT
Pembingkaian seperti ini memengaruhi keseluruhan narasi mengenai krisis ini sebagai suatu serangan teroris—memicu tindakan balasan yang sah. Dengan begitu, narasi ini memberikan legitimasi pada serangan Israel yang tidak seimbang (disproportionate assault) kepada 2,3 juta warga sipil di Palestina.
Sehingga, pembingkaian ini memberikan risiko karena tidak hanya menentukan siapa yang dianggap sebagai “korban” dan “pelaku” secara asal, tetapi juga memengaruhi siapa pihak yang berhak mendapat empati, dan siapa pihak yang tidak berhak.
Selain penggunaan bahasa dan narasi yang penuh bias, pemanfaatan propaganda yang efektif oleh Israel untuk memfitnah dan merendahkan martabat Palestina juga terbukti dari berbagai contoh berita palsu. Salah satu contoh yang mencolok terjadi segera setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, di mana media Israel dan Barat secara salah mengeklaim bahwa para penyerang telah memenggal bayi, dengan tujuan menggambarkan Palestina sebagai 'monster', meskipun klaim tersebut kemudian terbukti palsu.
ADVERTISEMENT
Masalah lain yang kontroversial terkait dengan pencemarkotakan Palestina berkaitan dengan pemboman Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Gaza. Awalnya, otoritas di Tel Aviv mengakui tanggung jawab, tetapi Israel kemudian menarik pernyataannya, beralih menyalahkan Hamas dan kemudian Jihad Islam.
Media utama dengan cepat mengadopsi klaim ini tanpa bukti yang substansial. Pola-pola seperti ini terus berlanjut, menimbulkan keraguan tentang jumlah korban Palestina di Gaza yang dilaporkan dan menyarankan bahwa bayi Palestina yang tewas di sana sebenarnya adalah boneka, meskipun klaim tersebut kemudian ditarik.
Mengapa ada pembingkaian kasus tertentu, khususnya mengenai dinamika manusia di non-Barat, yang menyebabkan kesalahpahaman dunia akan kasus tersebut? Paham orientalisme merupakan jawabannya. Edward Said, di bukunya yang berjudul Orientalism (1978), menjelaskan bahwa orientalisme merupakan sebuah gaya Barat dalam Gaya Barat untuk mendominasi, restrukturisasi, dan memiliki otoritas atas Orient.
ADVERTISEMENT
Para istilah "Orient" atau "Timur" digunakan untuk merujuk pada dunia non-Barat, terutama wilayah Asia, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Gambaran-gambaran ini digunakan untuk membenarkan dominasi kolonial, imperialisme, dan eksploitasi masyarakat non-Barat dengan menggambarkannya sebagai pihak yang membutuhkan intervensi Barat.
Sehingga, dalam konteks konflik Palestina-Israel, kerangka Orientalis telah memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan kebijakan Barat, sering kali mempertahankan narasi yang bias dan ketidakseimbangan kekuatan.
Selain itu, dengan mengetahui bahwa media tersebut berasal dari Amerika Serikat, nyatanya, secara khusus, Amerika Serikat memiliki hubungan dengan Israel secara historis, didorong oleh kepentingan strategis dan politik domestik.
Dukungan ini bermanifestasi dalam bentuk dukungan diplomatik, bantuan militer, dan perlindungan diplomatik, yang mempertahankan status quo pendudukan dan impunitas bagi pelanggaran hukum internasional oleh Israel. Sehingga, sangat masuk akal apabila berbagai media tersebut juga mempunyai pendirian yang sama dengan negara asalnya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, representasi Orientalis di dalam konflik Palestina-Israel adalah warisan kolonial dan dinamika kekuasaan yang secara historis telah membentuk keterlibatan Barat dengan Timur Tengah. Era kolonial menandai penerapan ideologi, batas wilayah, dan hierarki Barat di wilayah tersebut, yang mengakibatkan marginalisasi dan penindasan populasi asli. Dinamika kekuasaan ini terus memengaruhi narasi Barat, dengan Israel sering kali digambarkan sebagai benteng demokrasi dan modernitas yang berbeda dengan citra 'terbelakang' dan 'keras' yang dibangun di sekitar Palestina.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.