Proteksionisme, Brexit & Ketidakpastian Ekonomi Global: Baik/ Buruk? (Global Value Chain)

Konten dari Pengguna
24 Oktober 2017 23:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Natasya Susilo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Latar Belakang
Trans Pasifik Partnership (TPP) merupakan kerjasama beberapa negara yang berada di kawasan Asia dan Pasifik. TPP merupakan forum bersama untuk membahas isu-isu ekonomi dunia dan juga sebagai sarana akomodasi untuk membahas kepentingan negara-negara yang ada dalam kawasan Asia dan Pasifik. Pada tanggal 23 Januari yang lalu, Amerika Serikat, salah satu negara yang tergabung dalam TPP keluar. Keluarnya Amerika Serikat ini terjadi pasca terpilihnya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Hal yang melatar belakangi keluarnya Amerika Serikat dari TPP adalah karena Trump ingin melindungi produsen Amerika dengan mengenakan pajak atas produk yang dibuat di luar negeri dan dijual di Amerika Serikat, atau yang kita kenal dengan gerakan Proteksionisme.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, negosiasi Brexit sedang terjadi akibat referendum di mana mayoritas masyarakat Inggris sebanyak 52% menginginkan Inggris keluar dari EU. Hal ini menyebabkan ketidakpastian pada perekonomian dunia, terutama hubungan dagang, baik ekonomi lokal Inggris, maupun antara Inggris dan negara-negara lainnya, akibatnya mata uang Inggris ikut terpengaruh oleh adanya situasi politik ini.
Indonesia, selaku negara yang turut bekerjasama dengan berbagai negara di dunia, terutama Amerika Serikat dan Inggris dalam berbagai bidang, terutama ekspor dan impor, harus turut menetapkan kebijakan di tengah ketidakpastian perdagangan global. Di samping itu, kebijakan tersebut dapat berguna untuk memperlancar hubungan dagang Indonesia dan Amerikat Serikat, serta Inggris, sehingga permintaan antar negara tetap dapat terpenuhi.
DAMPAK PROTEKSIONISME DAN BREXIT
ADVERTISEMENT
Figur 1.1
What - Why - How Framework
Dalam section ini, akan menggunakan What-Why-How sebagai model analisis. Model ini akan membantu menjelaskan kejadian apa yang sedang signifikan dan dampak apa yang akan terjadi, alasan terjadinya, dan bagaimana kejadian tersebut dapat berdampak pada perdagangan global serta bagaimana Indonesia sekiranya membuat suatu kebijakan, terkait meningkatkan partisipasi Indonesia dalam perdagangan global.
• PROTEKSIONISME
Proteksionisme adalah program kebijakan Donald Trump seperti kuota dan jenis import yang dibatasi dan menambah tarif pajak yang tinggi untuk barang impor, dan berbagai peraturan pemerintah lainnya, seperti pajak dalam negeri justru dikurangi. Itu semuanya dilakukan oleh Trump uuntuk melindungi produsen Amerika. Maka dengan tingginya pajak barang impor, terbatasnya jumlah kuota barang impor, dan rendahnya pajak barang dalam negeri, akan membantu kenaikan produktivitas rakyat Amerika, sehingga dapat berdampak positif pada kelangsungan ekonomi Amerika.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan diterapkannya kebijakan ini, terdapat dampak lain yang signifikan, secara langsung dan tidak langsung berpengaruh pada ekonomi Indonesia. Pertama, dalam hal secara langsung, “Indonesia banyak mengekspor produk manufaktur maupun tekstil ke Amerika Serikat. Hal ini dinilai akan mempengaruhi ekspor Indonesia terhadap Amerika.” (Yulida Medistiara, 2017). Hal ini membuat kerugian yang cukup signifikan terhadap Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai proporsi ekspor yang cukup tinggi ke negara Amerika, di bidang non-migas, untuk berbagai keperluan produksi, maupun barang jadi. (Grafik 1.3) Hal ini dapat terlihat dari grafik di bawah ini, menunjukkan bahwa ekspor tahun 2015 ke 2016 menurun sedikitnya mendekati 1%.
Kedua, dalam hal secara tidak langsung, perekonomian Indonesia dapat terpengaruh oleh proteksionisme Amerika terhadap negara-negara yang merupakan negara mitra dagangnya; China, Korea Selatan, Jepang, Meksiko dan Kanada. Dampaknya ke negara Indonesia bisa terlihat dari GVC, di mana 50% barang dari Indonesia merupakan ekspor ke China, yang digunakan lagi untuk mengekspor barang ke Amerika. (Mari Elka Pangestu, 2017). Jika Amerika tetap gencar melakukan proteksionisme, China akan terpengaruh untuk membatasi impor barang dari Indonesia (berkurangnya permintaan barang dari China) dalam rangka mengekspor produk akhir ke Amerika. (Hendra Kusuma, 2017). Dari seluruh proses itu, secara tidak langsung, akan berpengaruh pada dagang ekspor-impor Indonesia-China, karena kini, China akan membatasi impor terhadap Indonesia. Hal tersebut dapat tercermin pada PDB China yang diperkirakan akan kembali melambat pada tahun 2017 dengan pertumbuhan sebesar 6.2%, bila dibandingkan pada tahun 2016 dengan pertumbuhan sebesar 6.6%. (Bappenas, 2016).
ADVERTISEMENT
Keadaan ini menimbulkan ketidakpastian dalam perdagangan global. Ketidakpastian dalam perdagangan global memicu kenaikan inflasi, yang akan berdampak buruk dan penurunan pada perekonomian Indonesia. Tingginya inflasi Indonesia menyebabkan harga barang yang diproduksi di dalam negeri akan lebih mahal. Dan jika harga produk dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan produk-produk serupa yang diproduksi negara asing, maka hal ini akan menyebabkan produk domestik akan lebih sulit bersaing dengan produk-produk mancanegara. Hal ini akan mengakibatkan, nilai ekspor Indonesia akan lebih kecil daripada nilai impor. Karena, negara asing yang mengimpor barang dari Indonesia akan mencari negara lain yang dapat mengekspor barang yang sama dengan harga yang lebih murah daripada Indonesia. Sehingga ini menyebabkan partisipasi Indonesia di GVC akan mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
• BREXIT
Brexit adalah sebuah akronim singkat dari British Exit, sebagai pertanda bahwa Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Rakyat Inggris sebanyak 52% memutuskan berpisah dari Uni Eropa karena mereka mempertimbangkan adanya kesulitan regulasi dan disfungsional entitas ekonomi. Dengan adanya Brexit ini, berdampak pada perekonomian Inggris sendiri, Uni Eropa, dan juga global, termasuk Indonesia. Brexit mengakibatkan Poundsterling sempat merosot hingga 15% dibandingkan dollar, dan 12% dibandingkan euro. Hasil referendum Brexit yang belum diketahui (sedang berjalan) juga menunjukkan ke arah ketidakpastian perdagangan global.
Namun, dilansir dari Rappler.com (2016), menteri luar negeri Retno Marsudi mengatakan dampak hasil referendum Brexit bagi Indonesia di bidang politik masih terbatas. Prioritas kerjasama Indonesia dan Inggris maupun Uni Eropa masih sama. Terkait pada kerjasama di bidang ekonomi, Retno mengatakan bahwa “Indonesia harus menilai lebih lanjut dari Withdraw Agreement Inggris dan Uni Eropa, karena Indonesia memiliki perjanjian kerjasama dalam kemitraan CEPA dan FLEGT license,” Masih dilansir dari Rappler.com (2016), menteri perdagangan Mari Elka Pangestu juga mengatakan bahwa “Hasil referendum Inggris keluar dari Uni Eropa tidak akan berpengaruh banyak pada Indonesia dalam jangka pendek dan panjang,”.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan hubungan dagang Indonesia dan UK tidak banyak (bila dibandingkan dengan negara rekan UK lainnya), namun akan lebih berdampak pada pasar uang, yaitu Rupiah dapat melemah, sementara USD menguat mempengaruhi inflasi terkait bahan pokok, seperti pangan. Namun terkait hal ini, pemerintah Indonesia telah aktif mengelola barang pokok dalam negeri yang seharusnya dapat lebih membantu daya beli masyarakat, dan berkat tax amnesty yang dijalankan beberapa waktu lalu, cukup membantu memperkuat Rupiah selama 9 bulan ke depan. (Bana Securities, 2017). Brexit itu sendiri lebih banyak berdampak pada perekonomian Inggris, karena hubungan dagang antara negara-negara Eropa dan Inggris lebih banyak, terutama ekspor dan impor, walaupun Brexit juga dapat menimbulkan sentimen negatif pada investor-investor dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
KESIMPULAN
Semua hal ini berdampak pada partisipasi Indonesia di Global Value Chain (GVC). Proteksionisme yang dikukuhkan oleh Trump merupakan hambatan yang cukup besar pada kegiatan ekspor yang diadakan oleh Indonesia. Mengingat bahwa satu indikator untuk partisipasi negara dalam GVC adalah dilihat dari persentase kegiatan ekspor yang dilakukan, dari antara Forward Linkage; melihat dari rantai nilai perdagangan dan nilai tambahan nilai ke negara lain melalui ekspor, maupun Backward Links, yang mengukur dari nilai tambah luar negeri.
Ditinjau dari gerakan proteksionisme yang telah dilakukan oleh Amerika, hal tersebut mempunyai dampak yang cukup signifikan pada kegiatan ekspor-impor Indonesia terhadap Amerika. Sementara Brexit, salah satu situasi global yang memanas di dunia saat ini, tidak memiliki dampak besar pada perekonomian Indonesia, karena Indonesia tidak banyak memiliki hubungan dagang dengan Inggris. Namun untuk saat ini, Indonesia perlu berhati-hati dalam mempunyai hubungan dagang dengan negara-negara dunia, yang mempunyai mata uang asing US$, maupun negara mitra dagang Inggris dan pemakaian mata uangnya. Bagaimanapun, produksi barang di Indonesia, maupun Indonesia mengimpor komponen produksi dari luar negeri, tentu selalu terkait dengan mata uang asing. Disimpulkan, Indonesia adalah salah satu negara dengan partisipasi terbesar dalam Global Value Chain.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, dikarenakan Indonesia turut andil dalam perdagangan global, Indonesia perlu menetapkan kebijakan, agar partisipasinya dalam GVC meningkat, namun di saat yang sama, perekonomian Indonesia juga tidak turut terpuruk.
Kebijakan yang harus dilakukan Indonesia untuk dapat meningkatkan partisipasi Indonesia dalam GVC adalah Indonesia saat ini harus mulai lebih berfokus pada teori Comparative Advantage. Menurut David Ricardo, perdagangan internasionalterjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia dapat meningkatkan partisipasi dalam GVC jika Indonesia mempunyai produk unggulan dibandingkan negara lain yang berarti berfokus pada produk dalam pasar dengan ertumbuhan permintaan positif. Produk seperti garmen, plastik dan karet mempunyai prospek yang baik untuk partisipasi yang lebih dalam dan lebih luas dalam keikutsertaan Indonesia didalam GVC.
ADVERTISEMENT
Kebijakan lain yang dapat dilakukan Indonesia adalah berupa rencana-rencana jangka panjang yang dapat meningkatkan teknologi produksi Indonesia. Perusahaan harus memikirkan lingkupan masalah konektivitas, logistik dan perizinan yang harus segera diatasi sejak dini sehingga tidak menjadi hambatan terhadap kinerja dan efisiensi perusahaan Indonesia di jangka waktu kedepan. Dibalik itu, pemerintah Indonesia juga perlu mendorong UMKM – UMKM untuk melihat peluang ekspor barang domestik ke pasar luar negeri, karena hingga saat ini, UMKM Indonesia masih beroperasi pada pasar domestik. Dari kebijakan yang terkoordinasi dengan baik akan dapat berdampak positif pada peningkatan partisipasi Indonesia GVC.