Deklarasi Balfour dan Konflik Israel-Palestina

Naura Nadhira
Junior Doctor (RSUD Temanggung), Bachelor of Medicine (UMY)
Konten dari Pengguna
8 November 2023 7:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naura Nadhira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dua orang demonstran melakukan protes di garis perbatasan Israel-Palestina saat memperingati ke 71 tahun hari Nakba. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Dua orang demonstran melakukan protes di garis perbatasan Israel-Palestina saat memperingati ke 71 tahun hari Nakba. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebulan belakangan, tensi antara Palestina dan Israel kembali meninggi. Tensi ini diawali oleh serangan mendadak Hamas di bagian selatan Israel, 7 Oktober 2023. Serangan ini menewaskan 1400 orang termasuk penduduk sipil dan anak-anak, serta menawan ratusan orang lainnya.
ADVERTISEMENT
Serangan tersebut kemudian disusul oleh serangan bertubi-tubi dari Israel di jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 9000 orang, termasuk penduduk sipil dan 3700 orang anak-anak. Serangan balasan Israel tersebut terus berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan berhenti hingga detik ini.
Dengan jumlah korban penduduk sipil dan anak-anak yang semasif itu, adalah sebuah reaksi yang alamiah jika serangan ini kemudian melahirkan gelombang protes dan kondemnasi besar-besaran dari orang-orang di seluruh dunia kepada pemerintah Israel. Mengingat ini bukan kali pertama pemerintah Israel melakukannya kepada Palestina, khususnya di daerah West Bank dan Jalur Gaza.
Tercatat, upaya yang seringkali disebut sebagai upaya settler colonialism ini sudah berlangsung setidaknya sejak tahun 1967 hingga saat ini, dan telah memakan korban jutaan orang. Settler colonialism adalah jenis penjajahan dengan menduduki wilayah untuk secara permanen menggantikan masyarakat yang tinggal di sana dengan masyarakat pemukim dari pihak penjajah.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini memposisikan Gaza sebagai "Penjara udara terbuka terbesar di dunia", atau yang belakangan oleh Norman Finklestein, seorang pakar ilmu politik asal Amerika dan penulis buku "Gaza: An Inquest Into Its Martyrdom" disebut-sebut sebagai "Kamp Konsentrasi terbesar di Dunia" setelah Kamp Konsentrasi Auschwitz di era holocaust pada tahun 1940 hingga 1945.

Surat Pendek yang Mengawali Konflik Panjang Israel-Palestina

Isi deklarasi Balfour 1917. Foto: rothschildarchive.org/
Konflik panjang antara Israel-Palestina ini tidak terjadi begitu saja. Tidak banyak yang tahu bahwa konflik berkepanjangan yang tampak tidak berkesudahan ini sebetulnya diawali oleh sebuah surat pendek.
Pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris pada saat itu, Arthur Balfour, menulis sebuah surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh penting komunitas Yahudi Inggris. Surat tersebut hanya terdiri dari 67 kata, namun dampaknya berhasil memicu perang antar dua negara yang kemudian berlangsung lebih dari 100 tahun hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Surat tersebut saat ini dikenal dengan sebutan Deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour adalah janji Kerajaan Inggris yang dibuat pada tahun 1917 berisikan rencana untuk mendirikan “rumah” bagi orang Yahudi di Palestina.
Surat ini dibuat saat Perang Dunia I (1914-1918) bersamaan dengan mandat Inggris mengenai kelanjutan pembubaran kerajaan Ottoman. Mandat tersebut dibuat pada tahun 1923 hingga 1948. Selama periode itu, Inggris memfasilitasi imigrasi Yahudi ke Palestina. Dengan bantuan tersebut, populasi Yahudi di Palestina meningkat drastis dari 10% menjadi 33% hanya dalam kurun waktu 25 tahun.
Surat tersebut merupakan surat yang sangat kontroversial, bahkan mematikan. Edward Said, seorang akademisi berkebangsaan Palestina-Amerika mengutip surat tersebut dengan sebutan:

Mengapa Surat Tersebut Dibuat?

Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
Pertanyaan tersebut timbul di benak publik selama bertahun-tahun, dan menjadi subjek perdebatan para ahli sejarah. Pada era Perang Dunia Kedua, orang-orang Yahudi menderita penganiayaan yang mengerikan di Eropa, sehingga mereka merasa Palestina adalah jawaban dari kekejian tersebut.
ADVERTISEMENT
Mimpi mereka untuk mendirikan negara di wilayah Palestina kemudian dikenal dengan sebutan Zionisme. Namun awalnya gerakan ini hanya diterima sebagian kecil saja oleh masyarakat Yahudi-Eropa. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa seharusnya mereka tidak meninggalkan negara asal mereka untuk menghindari penganiayaan tersebut.
Zionisme mulai berkembang pesat dengan kemunculan Theodor Herzl, yang menuliskan Der Judenstaat atau dalam bahasa inggris dikenal dengan nama The Jewish State pada tahun 1896. Di dalamnya ia berkemuka bahwa satu-satunya cara Yahudi dapat menghindari gerakan anti-semitisme Eropa adalah dengan berpindah ke Palestina. Bahkan tidak hanya berpindah, namun juga membuat negara mereka sendiri.
Theodor Herzl tidak hanya menuliskan gagasannya. Satu tahun kemudian, ia juga menyusun Kongres Yahudi pertama di Basel, Switzerland. Setelah kongres tersebut, gerakan Zionisme menjadi sangat aktif. Mulai dari pendanaan untuk memfasilitasi imigrasi Yahudi hingga merekrut representatif pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Beberapa literatur berpendapat bahwa pemerintahan Inggris termasuk ke dalam gerakan Zionisme, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa anti-semitisme lah yang mendasari ‘pembersihan’ Yahudi di Eropa, dengan iming-iming mendirikan sebuah negara baru untuk Yahudi di Palestina.

Palestina Tidak Dilibatkan

Ilustrasi bendera Palestina. Foto: Shutterstock
Pada pembagian wilayah setelah perang dunia I, Inggris diberikan mandat terhadap Palestina. Namun orang Palestina tidak pernah dimintai pendapat sma sekali. Orang-orang Palestina tidak pernah didengarkan, sehingga pandangan mereka tentang apa itu definisi merdeka menurut mereka seakan tidak pernah mengemuka.
Dalam suratnya, Balfour menulis kepada salah satu rekannya. “Mengenai Palestina, kami tidak mengajukan konsultasi mengenai harapan dari masyarakat yang sudah menetap di sana”. Justru para Zionis lah yang mereka ajak berdiskusi mengenai rencana masa depan terkait Palestina.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Inggris melancarkan fasilitas untuk mengakomodasi proyek Zionis ini. Komunitas Yahudi di Palestina tumbuh dengan pesat sebagai akibatnya. Tidak hanya itu, mereka banyak mendirikan sekolah, pabrik, bahkan memiliki pasukan militer sendiri.
Pada tahun 1919, Presiden Amerika Woodrow Wilson melakukan investigasi yang dikenal sebagai King-Crane commission. Investigasi ini dilakukan untuk menilai opini publik terhadap sistem mandat di Palestina dan Syria. Hasilnya seperti yang diduga, mayoritas penduduk asli Palestina mengekspresikan oposisi yang kuat terhadap Zionisme.
Satu tahun kemudian, Kongres ketiga Palestina yang diadakan di Haifa memberi label terhadap Zionisme sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan hak-hak penduduk asli Palestina. Semakin bertambahnya imigran Yahudi Eropa ke Palestina, semakin memanas pula konflik tersebut.
ADVERTISEMENT

Kelahiran Perang Satu Abad

Warga Palestina mencari korban di lokasi serangan Israel terhadap rumah-rumah, di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara, Kamis (2/11/2023). Foto: Anas Al-Shareef/REUTERS
Sekalipun ramai ditentang oleh berbagai negara, khususnya Palestina sendiri, para Zionis akhirnya berhasil mencapai tujuannya mendirikan sebuah negara di wilayah Palestina pada tanggal 14 Mei 1948. Tanggal tersebut akhirnya dideklarasikan sebagai tanggal kemerdekaan negara Israel, negara berdaulat bentukan para Zionis di wilayah Palestina.
Bagi Israel, peristiwa tersebut adalah kemerdekaan namun bagi penduduk Palestina peristiwa tersebut adalah bencana. Peristiwa ini oleh penduduk asli Palestina disebut sebagai Nakba (malapetaka), sebab peristiwa tersebut menyebabkan lebih dari 750.000 penduduk asli Palestina harus terusir dari tanah kelahiran mereka sendiri.
Walaupun sulit untuk benar-benar memastikan bahwa perkembangan konflik di Palestina memang disebabkan oleh Deklarasi Balfour, namun tidak diragukan lagi bahwa mandat Inggris-lah yang menyebabkan orang-orang Yahudi dan para zionis mulai mendapatkan superioritas terhadap orang-orang Palestina. Superioritas yang akhirnya memicu perang satu abad antara Israel dan Palestina yang tampaknya tidak akan pernah berakhir.
ADVERTISEMENT