Patron Politik Joko Widodo dalam Penundaan Pilkada 2024

Nazar EL Mahfudzi
Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Pancasila
Konten dari Pengguna
9 Maret 2022 21:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazar EL Mahfudzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
ADVERTISEMENT
UU Nomor 6 Tahun 2020 dan Perppu No. 2 tahun 2020 tidak relevan untuk menunda Pilkada serentak, menyoal penggantian kekuasaan kepala daerah sementara karena penanggulangan penyebaran Corona virus-19 sebagai bencana nasional sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Artinya argumentasi penundaan Pilkada juga bisa dimajukan menggunakan UU Nomor 6 Tahun 2020 dan Perppu No. 2 tahun 2020. Dalam hal ini ditemukan penundaan tahapan pelaksanaan Pilkada serentak telah menjadi “agenda setting” sejak tahun 2016 dalam paket Pemilu serentak hingga 2024.
ADVERTISEMENT
Mengapa penundaan Pilkada 2024 menjadi “agenda setting” patron politik Joko Widodo ?
Dapat dicermati dari Pasal 201 ayat (9) UU No.10 Tahun 2016, menjelaskan : “Penjabat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota akan memimpin daerah hingga Pilkada serentak nasional pada tahun 2024 untuk memilih kepala daerah definitif ” , bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) UU No 8 tahun 2015 , menjelaskan "Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Pandangan Hukum dan Politik
Beberapa faktor juga menjadi indikasi kecurangan Pemilu serentak dalam penundaan Pilkada 2024 yang dapat benar-benar menguatkan dalil pelanggaran konstitusionalitas norma dalam perkara penundaan Pilkada, antara lain:
ADVERTISEMENT
Pertama, Penundaan Pilkada pada tanggal 27 November 2024 di dalam Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 setelah pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024, berpotensi terjadi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang : “Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)” implikasi kekosongan pejabat (Pj) bupati dan wakil bupati, serta pejabat (Pj) wali kota dan wakil wali kota yang dipilih langsung oleh Kemendagri selama penundaan Pilkada hingga berlangsung kontestasi Pilkada 2024.
Kedua, Hilangnya netralitas birokrasi Pemerintah yang dilakukan oleh Kemendagri dan Presiden, netralitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 adalah : “Bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun” .
ADVERTISEMENT
Ketiga, Kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan Pemilu serentak karena terjadi pelanggaran administrasi dengan menggunakan kewenangan Presiden dan Mendagri tertuang dalam Pasal 135 A : "Pelanggaran administrasi pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif ”.
Keempat, Penundaan Pilkada Pemilu serentak hanya menjadi asumsi politik rezim kekuasaan Joko Widodo dan tidak relevan untuk dijadikan diktum dalam undang-undang, keputusan bencana nasional kondisi penyebaran Covid-19 baru muncul pada tahun 2020, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020.
Penggantian Jabatan Kepala Daerah Inkonstitusional
Pemilu serentak Pilpres, Pileg dan Pilkada terjadi efek ekor jas “Coattail effect”, yaitu peningkatan partai politik dengan konstituen dalam mencari dukungan massa terhadap pemerintahan yang terpilih nantinya. Menunjukan konstitusionalitas terjadinya penguatan sistem presidensial untuk mempengaruhi Pikada 2024.
ADVERTISEMENT
UU Nomor 10/2016 menjadi "agenda setting" patron politik kekuasaan Joko Widodo ketika akan berakhir masa jabatan Presiden, mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi pendapat dan perilaku masyarakat dalam Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024, menentukan agenda terhadap masalah yang dipandang penting (Kholil, 2007: 36).
Maka penundaan Pilkada sebagai rancangan kecurangan Pemilu adalah inkonstitusional, secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), antara lain :
Kecurangan Terstruktur, pengantian kekuasaan kepala daerah selama 1 tahun hingga 2.5 Tahun dapat mempengaruhi sistem birokrasi pemerintah antara lain :
Kecurangan Sistematik, peran Presiden dan Mendagri melakukan tindakan “Abuse of Power” membuka peran oligarki sebagai bohir politik “pemodal”, menghilangkan nilai-nilai demokratis hak konstitusional “constitutional rights” warga negara untuk memilih secara langsung mengikuiti aturan pemilihan Presiden dalam UUD Tahun 1945 dalam kurun waktu 5 tahun sekali.
ADVERTISEMENT
Kecurangan Masif, potensi kecurangan akan meluas karena terpilihnya 271 kepala daerah definitif dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota untuk mengisi jabatan politik, pegawai negeri alat birokrasi kekuasaan pemerintah yang mempengaruhi konsolidasi demokratis masyarakat sipil dalam Pilpres,Pileg dan Pilkada 2024.