Refleksi Satu Dekade Gempa Jepang: Sistem Peringatan Dini dan Kesadaran Mitigasi

Nazih Nauvan Lathif
Mahasiswa. Tinggal di Pekalongan
Konten dari Pengguna
23 Maret 2021 17:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazih Nauvan Lathif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gempa.  Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gempa. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun ini pada tanggal 11 Maret, Jepang atau barangkali seluruh dunia, memperingati satu dekade peristiwa gempa maha dahsyat yang pernah melanda Jepang. Gempa dengan kekuatan 9,0 SR, yang kemudian menimbulkan efek domino berupa tsunami dan bencana nuklir ini, berhasil membuat daerah Fukushima betul-betul porak-poranda. Akibatnya, tak kurang dari 15 ribu orang meninggal dan 160 ribu orang terpaksa mengungsi demi menghindari efek radiasi nuklir.
ADVERTISEMENT
Dari rentetan bencana yang menyebabkan kerugian hingga USD 309 miliar tersebut, Jepang tentu mengambil banyak pelajaran. Salah satunya terkait sistem peringatan dini terhadap gempa. Kelak, pelajaran terkait sistem peringatan dini ini juga bisa direfleksikan kepada seluruh negara langganan gempa, termasuk Indonesia.
Soal sistem peringatan dini terhadap bencana, tampaknya Jepang sudah benar-benar membangun dan menjalankannya dengan amat baik. Kini, Jepang tak hanya memiliki sistem peringatan dini yang handal dan real time, tapi juga sudah mengintegrasikannya dengan jaringan internet dan smartphone milik warga setempat.
Saat terjadi gempa, notifikasi peringatan gempa akan dikirimkan sepersekian detik sesaat setelah pusat gempa diketahui. Notifikasi tersebut dikirimkan ke smartphone milik masing-masing warga. Di samping itu, juga ada pemberitahuan gempa lewat pengeras suara per daerah. Waktu pengiriman peringatannya nyaris bersamaan dengan waktu terjadinya gempa. Dengan adanya sistem ini, warga bisa lebih cepat melakukan evakuasi diri saat gempa terjadi.
ADVERTISEMENT
Bukti efektiknya sistem peringatan dini terintegrasi ini, bisa dilihat pada peristiwa gempa yang kembali melanda Jepang pada bulan lalu. Tepatnya pada tanggal 13 Februari. Sabtu, pukul 23:07 waktu setempat, daerah Fukushima dan sekitarnya kembali diguncang oleh gempa berkekuatan 7,2 SR. Momen terjadinya gempa ini sempat diabadikan melalui sebuah rekaman video oleh Kevin Pramudya Utama, salah seorang WNI yang bekerja di Jepang, melalui akun Twitter miliknya @sadness_loop.
Dalam video tersebut diperlihatkan suasana saat dinding ruangan beserta perabot rumah yang bergetar hebat dibarengi dengan bunyi alarm peringatan “stay calm and seek shelter nearby” dalam bahasa Jepang. Bunyi alarm peringatan itu muncul dari smartphone milik Kevin. Kala itu saat alarm berbunyi, ia dan penghuni rumah lainnya tengah bergegas berjalan cepat keluar rumah dan mengevakuasi diri.
ADVERTISEMENT
Setelah kondisi cukup kondusif, dalam utas posting-an miliknya, ia mengabarkan bahwa usai gempa 7,3 SR tersebut berhenti, masih terjadi beberapa kali gempa susulan dengan kekuatan sekitar 5 SR. Selain itu, ia juga menjelaskan bunyi alarm peringatan gempa yang ada di video merupakan salah satu bentuk sistem peringatan dini di Jepang yang sudah terintegrasi dengan smartphone milik warga setempat yang terhubung jaringan internet.
Bagi masyarakat Indonesia yang sudah berkali-kali terdampak gempa, sistem peringatan dini milik Jepang ini memang betul-betul bikin iri. Siapa coba yang tidak iri dengan sistem peringatan dini yang sudah handal, real time, pun juga terintegrasi dengan smartphone pribadi?
Sementara itu, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Indonesia masih memiliki segudang PR untuk urusan sistem peringatan ini. Jangankan sistem peringatan dini, pemberitahuan resmi soal gempa saja, kerap kalah update to date dengan status, tweet, ataupun posting-an milik warganet di media sosial.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, saat gempa terjadi, posting-an bernada “Eh barusan gempa nggak, sih?” atau “Tadi ada yang ngerasain gempa nggak?” justru lebih dulu ramai ketimbang pengumuman resmi dari lembaga yang berwenang mengumumkan. Cukup ironis sebetulnya.
Saya tahu bahwa ada beberapa prosedur dengan penuh kehati-hatian yang dilakukan, sebelum mengumumkan secara resmi terjadinya musibah gempa. Namun, bagi negara yang setidaknya mencatat 8.264 kali gempa sepanjang tahun 2020, tampaknya harus ada semacam pemutakhiran prosedur pengumuman gempa ini.
Deteksi dan prosedur pengumuman gempa sudah selaiknya dilakukan dengan lebih efisien tanpa mengurangi tingkat akurasi dan kehati-hatian. Dengan demikian pengumuman resmi soal gempa ini bisa lebih cepat tersampaikan kepada warga di sekitar wilayah terdampak. Dampak lanjutan dari gempa yang mungkin terjadi, bisa segera diminimalisir. Dan warga terdampak juga bisa lebih sigap dalam melakukan langkah mitigasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan sistem peringatan dini bencana di Indonesia, sebetulnya saya masih memiliki optimisme kelak lembaga kebencanaan Indonesia mampu membuat sistem yang tak kalah handal. Memang butuh waktu yang tidak sebentar.
Sembari menunggu, aksi yang perlu dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah tetap mengawal proses bagaimana penelitian terkait teknologi sistem peringatan dini ini dibangun dan mendorong pemangku kebijakan agar lekas memutakhirkan teknologi sistem peringatan dini yang sudah ada.
Selain itu, yang tak kalah penting dari dua aksi tersebut adalah menumbuhkan kesadaran mitigasi dalam diri masing-masing masyarakat. Bagi masyarakat yang “hidup berdampingan” dengan bencana, layaknya masyarakat Indonesia, kesadaran mitigasi menjadi hal yang fundamental untuk tidak sekadar menjadi pengetahuan. Tapi, juga diimplementasikan dalam bentuk kesiapan dan kesigapan jika sewaktu-waktu bencana terjadi.
ADVERTISEMENT
Kesadaran mitigasi ini bisa dimulai dari hal yang paling dasar, yakni mengamini fakta bahwa daerah yang kita tinggali saat ini memang daerah rawan bencana. Waspada akan keniscayaan bencana adalah hal mutlak.
Berikutnya, bisa dilanjutkan dengan mencari tahu dan menyiapkan prosedur teknis mitigasi sesuai kemungkinan bencana yang akan terjadi di daerah yang kita tinggali. Untuk teknisnya seperti apa, saya rasa sudah banyak referensi yang bisa dipelajari, dipahami, dan dipraktikkan.
Pada akhirnya, baik menumbuhkan kesadaran mitigasi maupun memiliki sistem peringatan dini, keduanya merupakan langkah mutlak yang wajib ditunaikan di daerah rawan bencana, seperti Indonesia. Dengan menunaikannya, kerugian akibat bencana bisa diminimalkan dan korban jiwa bisa lebih banyak diselamatkan. Potensi bencana memang sulit dihindari, tapi ikhtiar mencegah dan menangani bencana tidak boleh sampai berhenti.
ADVERTISEMENT