Cerita dari Dieng untuk Nana

Nesia Qurrota A39yuni
Bagiku hanya ada dua keningratan, keningratan budi dan akal.
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2018 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nesia Qurrota A39yuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini bukan soal perjalanan semata. Ini adalah soal kenangan akan persahabatan.
ADVERTISEMENT
Sore itu, aku berjalan bersamanya, Gadis Lombok berkerudung sedang bernama Nana. Malam sudah menjelang. Sandal biruku yang telah berupa abu menapak di jalanan desa bernama Sungai Tohor.
Gulitanya malam menemani langkah kami. Di sana listrik terbilang langka, hanya ada dari pukul 18.00 sampai 24.00 WIB. Selangkah perjalanan itu nyatanya membuat kami semakin lekat. Obrolan soal keluarga musababnya.
Hari demi hari masih sama seperti itu. Erat dan semakin erat. Kami bertemu dengan anak yang sama, bermain bersama hingga mengunjungi rumah mereka.
Dari situ, Agustus 2016, kita adalah manusia yang tak saling enggan bercerita atau sekadar berpikir ria membagi mimpi.
Dua tahun berselang, status kami tak lagi mahasiswa. Aku wartawan sebuah media daring. Kadang berjibaku dengan lapangan dan tulisan. Dia mahasiswa baru lulus yang masih belum menemukan kompas hidup yang tepat.
Setelah dia lulus, sebuah perjalanan kembali kami lakukan. Bukan lagi di Riau seberang sana, tapi cukup di sebuah dataran tinggi terkemuka di Indonesia. Yaps, kami pergi ke Dataran Tinggi Dieng.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang rencana ini begitu mepet. Sehari kami memutuskan ke sana, pada hari itu pula aku membeli tiket. Kereta tujuan awal Purwokerto kemudian pulang kami mampir ke Yogyakarta dan membeli tiket ke Jakarta dari sana.
Sebelum berani membeli tiket itu, aku meminta izin ke redakturku, Mbak Salmah, untuk mengambil ganti libur. Setelah rida darinya kudapat, Jumat, Sabtu, Minggu, dan Senin (14-17 September) aku dapat berlibur.
Tetapi, tak lama berselang muncul titah untuk liputan ke Solo. Sedikit bingung karena waktunya mepet dengan liburan ke Dieng. Namun, liputan ini menurutku begitu istimewa, tak bisa ku hindarkan begitu saja.
Alhasil, tanggal 10-13 September aku liputan di Solo. Malam tanggal 13 aku kembali ke Jakarta. Esok harinya aku harus masuk kantor karena ingin melaporkan langsung bagaimana hasil liputanku.
ADVERTISEMENT
Memang agak riweh, many things to do. Pukul 17.00 WIB Mbak Salmah justru sudah geger. Dia takut aku ketinggalan kereta sehingga memintaku untuk pulang. Ya, keretaku waktu itu berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 21.00 WIB.
Dan, akhirnya aku pulang. Beberapa orang meneleponku menanyakan perihal Asian Para Games. Sementara, aku belum packing sama sekali. Hmm, rasanya seperti berolahraga jantung. Di sisi lain, Nana sudah siap tinggal menuju ke Stasiun UI, titik awal kami berangkat.
Dengan tas ransel hijau tua dan bantal leher berwarna pink aku bergegas ke stasiun.
“Na di mana,” tanyaku pada Nana.
Nana sudah ada di dalam dan kita pun langsung menuju di Pasar Senen. Teng, teng kereta kemudian datang. Kami masuk dan menata barisan. Kereta menuju Purwokerto (Serayu) ini bisa dibilang cukup lama, 11 jam.
Padahal, harusnya bisa ditempuh 5 jam. Ya, Kereta ini harus berputar-putar dulu di Jawa Barat. Sebenarnya lurus saja bisa, tapi apa daya aku bukan pegawai PT KAI.
ADVERTISEMENT
Langit mendung Purwokerto lalu menyambut kami. Kami mulai memesan taksi online. Namun malang, taksi online itu tak bisa menjemput di stasiun. Kami harus menuju suatu pasar supaya bisa dijemput.
Oleh sebab tak mengerti sama sekali akhirnya kami menerima tawaran bapak angkot untuk menuju terminal. Di terminal sana, katanya, ada bus Cebong yang bisa mengantar kami ke Wonosobo, tempat Dieng berada.
Nyatanya, itu hanyalah bujukan palsu. Dengan bahasa Jawa ngapak yang sulit ku mengerti kami diturunkan di pinggir jalan. Ya, ongkosnya hanya Rp 2.000, tapi itu cukup jauh dari terminal seharusnya kami berhenti.
Beruntungnya ada bus pink yang lewat dan mengantar kami ke tempat bus cebong berada. Ongkosnya juga murah Rp 2.000. Dalam benakku tak terbayang bagaimana rupa bus cebong itu. Tak mungkin kan bentuknya seperti anak katak?
ADVERTISEMENT
Nah, di terminal Purwokerto kami bertatap muka dengan bus cebong. Tak ada rupa-rupa kataknya. Hanya saja bentuknya lebih kecil dari bus pada umumnya.
Dengan bus cebong kami bisa sampai Wonosobo sekitar 3 jam-an. Ongkos bus cebong Rp 35.000.
Halo Dieng
Nana tertidur lelah. Aku masih saja mendengar musik.
Kami telah sampai di sebuah pertigaan berpatung entah siapa. Di sana ada bus yang biasa mengangkut orang-orang yang ingin menuju Dieng.
Biaya naik bus kecil itu Rp 20.000. Aku merasa tak salah naik bus karena banyak orang memakai tas carrier. Sejam lebih kami tempuh untuk sampai Dieng.
Hamparan sawah terbentang di atas gunduk-gunduk gunung. Telinga mulai berdengung kala bus telah meninggi.
ADVERTISEMENT
“Wahai Dieng, kamu begitu sejuk,” ucapku.
Di kanan kiri jalan banyak para pendaki berlalu-lalang. Tak hanya dari Indonesia, beberapa di antara mereka juga ada yang dari di luar negeri.
Kami turun dan melangkah menuju homestay. Namanya Chick Homestay. Cukup dengan Rp 320.000, dua malam kami bisa menginap di homestay tersebut.
Selepas menaruh lelah di homestay aku dan Nana berkeliling Dieng dengan jalan kaki. Sebenarnya bisa sewa motor Rp 100.000 per hari. Namun, karena hari sudah sore dan kami tak tau jalan, kami putuskan untuk jalan saja.
Destinasi pertama adalah Candi Arjuna. Tiket masuk ke lokasi ini Rp 15.000. Namun, tak hanya candi semata pengunjung bisa juga masuk ke kawah Sikidang. Bayanganku Sikidang adalah kawah berair layaknya kawah Gunung Kelud sebelum meletus.
Dari candi Arjuna menuju kawah kami tempuh dengan berjalan. Padahal beberapa ojek datang menawari, tapi lebih baik jalan. Supaya kenal betul dengan alam di sana.
ADVERTISEMENT
Matahari sudah mulai terbenam perlahan. Aku dan Nana baru sampai di Sikidang. Ibu-ibu mulai menutup toko oleh-olehnya. Tak terusik kami terus berjalan ke dalam.
Dan, kawah Sikidang tak berair. Kawah Sikidang murni asap-asap belerang yang mengepul.
Tetapi, aku tak lantas bersedih hati. Ada sederet miniatur bangunan dan tulisan yang unik yang bisa jadi objek foto.
Tak begitu lama di sana, kami bergegas untuk kembali ke homestay dengan menggunakan ojek.
“Na, lu diem aja, jangan ngomong apa pun, biar gue aja,” ucapku pada Nana supaya bisa mendapat ongkos murah dari ojek. Ya, sebagai orang Jawa, aku bisa bertutur bahasa itu. Dengan pemikiran jika ditawar dengan bahasa Jawa ongkos akan lebih murah.
ADVERTISEMENT
Tak pelak, Rp 15.000 sudah bisa mengantarkan kami berdua pulang.
Saat itu sudah pukul 18.00 WIB lebih, aku dihajar oleh udara dingin karena tak memakai jaket. Sungguh, menggigil rasanya ketika Bapak ojek sedikit demi sedikit memacu motornya.
Tiba di Indomaret satu-satunya di puncak Dieng, kami langsung memesan mie ongklok, mie khas Dieng yang rasanya begitu ku gemari. Mie ongklok terasa manis dan halus di lidah. Apalagi dengan tambahan sate ayam di atasnya semakin membuatku merindu untuk mencicipinya.
Mencoba kembali naik Gunung
Aku masih ingat betul, selepas dari toliet Nana tiba-tiba berceletuk.
“Kak, ayo entar naik gunung bareng sama Mbak ini,” kata Nana seraya menunjuk Mbak muda berkerudung panjang hitam.
ADVERTISEMENT
Aku masih sedikit berpikir, aku tak suka naik gunung. Lima tahun lalu tepatnya aku hampir mati karena jatuh dari Gunung Wilis. Beruntungnya, aku tersangkut di sebuah batu besar. Entah apa yang terjadi jika batu itu tak ada.
Di tengah kegamangan itu, hati kecilku mulai berkecamuk. Kira-kira seperti ini bunyinya.
“Sudah jauh-jauh ke Dieng, sayang juga enggak naik gunung. Lagian enggak buka tenda, langsung turun.”
Aku lalu menjawab “Ok boleh.”
Pukul 01.00 Nana membangunkanku. Padahal aku masih membuang lelah dalam tidur. Berulang kali aku ucapkan begitu sangsi untuk naik gunung. Tapi, raut wajah Nana begitu ingin naik gunung.
Dia sampai-sampai mendandani dengan pasminanya di leherku dan meminjamkan sepatu running-nya. Ya, karena beranggapan tak akan naik gunung semasa di Jakarta, aku ke Dieng datang dengan sepatu slop.
ADVERTISEMENT
Aku berangkat mendaki Prau, bersama Nana, Mbak-mbak yang ku lupa namanya bersama suaminya. Sampai di pos registrasi kami disuruh menunggu hingga pukul 02.00 untuk bisa menaiki gunung. Ya, hawa di sana begitu dingin. Semilir angin menusuk ke tubuh membuat badan ini kaku. Sementara, biaya mendaki Prau adalah Rp 10.000 per orangnya.
Tinggi Dieng sekitar 2,5 km. Lumayan juga kalau didaki tanpa membawa peralatan apa pun. Sungguh aku tak lelah mendakinya, aku pun tak haus sama sekali. Tapi, hawa dingin itu yang membuatku tidak betah.
Air terus keluar dari hidungku. Kami sudah sampai di puncak setelah 2,5 jam lebih perjalanan. Tapi, matahari belum terbit alhasil kami turun lagi sedikit. Aku rasanya ingin tidur di semak-semak. Namun, Nana melarangku. Sementara di kanan kiri para pendaki lain dengan nyenyaknya di tenda mereka.
ADVERTISEMENT
Mungkin sekitar 30 menit kami menunggu, mentari akhirnya terbit juga. Sungguh indah, keinginan untuk berfoto pun tak terelakkan. Sial, dua hapeku tiba-tiba mati kedinginan, padahal baterainya masih banyak.
Praktis, hanya dengan HP Nana kami bisa berfoto. Baik tanganku dan tangannya, serasa tak sanggup memegang HP. Kaku dan terus menerus gemetar. Bisa dilihat, semua hasil foto di puncak itu blur.
Terlepas dari nestapa dan kesialan yang menerpa, mungkin hal yang paling berkesan selama di Dieng kala itu adalah mendaki Prau. Aku tak lagi takut menaklukkan gunung. Dan, rasa berbagi dengan Nana adalah wujud persahabatan yang bila ku ingat-ingat selalu hangat.
Teruslah semangat dengan prinsipmu Nana. Tuhan menciptakan menunggu supaya manusia lebih menghargai kala bertemu.
ADVERTISEMENT
Selalu ingat pesan JKT 48 Na, “Setiap manusia merupakan makhluk yang lemah, kita haruslah hidup saling membantu.”
Lepas dari syair favoritku itu, kami pulang dari Dieng satu hari selepas mendaki Prau. Namun, kami tak langsung ke Jakarta, kami mampir ke kotamu, Yogyakarta.
Tapi, aku enggan menuliskan perjalanan selama di Kota Gudeg itu.
Jogja itu soal rasa. Jogja itu tak bisa didefinisikan. Aku masih bingung memilih diksi untuk merepresentasi kota ini.