Gagal Jadi Atlet Bulu Tangkis, Kini Mantap Jadi Jurnalis

Nesia Qurrota A39yuni
Bagiku hanya ada dua keningratan, keningratan budi dan akal.
Konten dari Pengguna
10 November 2018 19:19 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nesia Qurrota A39yuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari lahir hingga kelas tiga SMP aku hanya memiliki satu cita-cita, yaitu menjadi atlet bulu tangkis. Rasanya seperti begitu menyenangkan membela nama negara di kancah internasional dengan melakukan hal yang digemari. Ada Taufik Hidayat, Lilyana Natsir, dan sederet nama pebulu tangkis lain yang menjadi inspirasi saat itu.
ADVERTISEMENT
Namun, kenapa aku sekarang justru jadi jurnalis di sebuah media online bernama kumparan bukan jadi pebulu tangkis?
Ceritanya panjang, semoga kamu mau membacanya. 
Dulu, menjelang lulus SMP aku ditawari masuk sekolah olahraga oleh beberapa guru. Ya, sepertinya itu akan menyenangkan karena akan mendekatkan pada cita-cita. Namun, itu bukan takdir Tuhan untukku. 
Keluarga lebih mendorong aku masuk ke madrasah yang cukup populer di kotaku. Di madrasah itu ada ma'had alias pesantrennya sehingga aku bisa memperdalam ilmu agama. Dan benar saja, aku ikut tes dan diterima serta lantas melupakan sekolah olahraga. 
Suasana saat SMA begitu akademis. Saking akademisnya, bisa mengalihkan mimpi awalku menjadi menjadi pebulu tangkis. Aku dituntun untuk belajar, berkompetisi ilmiah, dan pada akhirnya bermuara di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita aku diterima di Universitas Indonesia jurusan Ilmu Sejarah. Masih, tidak ada bau-bau jurnalisnya. 
Tetapi, aku perlahan tersadar ada hal lain yang kugemari, yaitu bercerita lewat tulisan. Ah, sebut saja menulis. Ya, dari SD aku sudah gemar menceritakan apa pun yang terjadi pada buku diari berwarna oranye. Termasuk, saat aku dimarahi tukang kebun karena terlalu banyak memetik bunga melati di taman sekolah. 
Berangkat dari hal yang kugemari itu ada beberapa capaian yang pernah kuraih. Oleh sebab itu, setelah lulus pada Agustus 2017, seorang kawan bernama Arini membujukku untuk melamar pekerjaan di kumparan
"What, kumparan?" kata benakku saat itu.
Pikirku kumparan adalah wadah penyedia jalan-jalan. Musababnya, foto pertama yang ditujukkan Arini adalah acara jalan-jalan kumparan ke Banyuwangi. Tetapi, aku salah. kumparan adalah media online yang menyediakan beragam berita dari berbagai bidang. Dan, kala itu sedang mencari 100 jurnalis lewat 1001 lowongan.
ADVERTISEMENT
"Hooo, menarik," pikirku. 
Aku kemudian mengirim email dan melampirkan CV, kalau tidak salah 9 September 2017. Beberapa hari kemudian, dibalaslah emailku berupa undangan seleksi satu di Kuningan City. 
Berangkatlah aku ke sana bersama seorang karibku yang juga mendaftar. Dan, jeng-jeng banyak sekali yang ikut seleksi, termasuk beberapa seniorku di kampus dulu. 
"kumparan seniat ini ya ngadain seleksi," ucapku pada Lia. 
Aku gembira mengikuti tes kumparan, santai dan tidak menegangkan. Alhamdulillah aku dipanggil untuk wawancara yang selanjutnya ternyata membuatku diterima menjadi bagian dari media online baru ini.
Masih ingat betul pertama kali menjejak kumparan, aku mengenakan jilbab putih dan menenteng dua raket di tas. Orang yang kuingat bertanya soal hubungan pesantren dan bulu tangkis adalah Mas Madin (Wapimred). Dan, tulisan ini adalah jawabannya, Mas. 
ADVERTISEMENT
Doorstop pertama
November 2017 yang mendung menjadi mula aku berprofesi sebagai jurnalis. Aku cuma punya bekal bisa menulis. Cukup berbeda dengan beberapa rekan lain yang berasal dari jurusan komunikasi. Mereka sudah jamak dengan dunia jurnalistik, sementara aku apalah ini. 
Tetapi aku tidak pernah men-treatment diriku terus berada dalam posisi inferior. Ini adalah tantangan besar yang harus diwujudkan menjadi perjalanan yang indah. 
Dunia wartawan erat kaitannya dengan doorstop, sebuah istilah yang baru kukenal saat diucapkan Mas Habibi (Korlip kumparan) semasa ODP. Mungkin ini akan menjadi sejarah, doorstop pertamaku jatuh pada Haryanto Arbi, atlet bulu tangkis andalan Indonesia era 90-an.
Ya, saat itu Arbi tengah mengikuti seleksi bakal caleg PSI. Dari sekian nama yang hadir hanya beliaulah yang kutahu. Dan, dari doorstop itu jadilah sebuah berita yang pertama kali aku kirim ke email redaksi kumparan.  
ADVERTISEMENT
Saat itu, aku liputan bersama Kak Fahrian. Ketika dia menujukkan beritaku naik di timeline kumparan, senang rasanya. 
Meski tidak jadi pebulu tangkis, tetapi dengan ini aku berpikir bahwa Tuhan saat itu tengah memfusikan dua kegemaranku dalam satu bingkai, bingkai yang bernama kumparan.
Menemukan tujuan menulis
Kini aku sudah satu tahun di kumparan. Tentu, sudah banyak pelajaran dan pengamalan yang kudapatkan. Dari mulai liputan memulung bersama adik Pramoedya Ananta Toer; liputan Asian Para Games yang penuh air mata; serta liputan Freemason yang menguji keberanian; hingga liputan-liputan lainnya--semua punya makna dan pesan tersendiri. 
Bila kurenungi kini ada satu evolusi yang kualami dari pekerjaan ini. Dulu aku selalu menulis atas nama tugas. Tetapi aku sekarang perlahan mencoba mengelak dari paradigma itu. 
ADVERTISEMENT
Menulis adalah menerangkan dan menyampaikan kebaikan. Kalimat itu terinspirasi setelah banyak berbincang dan mendapat masukan dari Mas Madin serta Mas Indra. Beban pun terasa hilang jika niat awal memulainya demikian. 
kumparan luar biasa karena telah membawaku pada titik ini. Terlebih, beberapa bulan lalu segenap wartawannya telah diuji secara kompetensi. Layak tidaknya seseorang menjadi wartawan diujikan pada kesempatan ini. Alhamdulillah, lulus semua.
Iktikad baik ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat Indonesia. Harapan tentang dunia jurnalistik yang lebih baik akan segera datang dari kumparan. Bahkan, sudah mulai datang sekarang. 
Terima kasih atas satu tahun yang berharga ini. Masih ada hari-hari depan yang akan kita lalui bersama. Seperti Gandhi pernah bilang, "When there is a love, there is a life." Dan, cinta itu sekarang ada di kamu, iya kamu kumparan.
ADVERTISEMENT