Rapid Test; Menagih Janji Negara Memberikan Jaminan Kesehatan untuk Rakyat

Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI
Konten dari Pengguna
15 Juli 2020 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan mengeluarkan surat edaran tentang penetapan batas maksimal tarif pemeriksaan rapid test. Hal tersebut disampaikan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 Tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test. Besaran tarif maksimal Rp150.000 yang berlaku mulai 6 Juli 2020 ini diberlakukan untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Surat yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020 tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Daerah Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/ Kota, Kepala/ Direktur Utama/ Direktur Rumah Sakit, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Ketua Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN) dan sejumlah organisasi lainnya.
Pada dasarnya surat edaran ini dikeluarkan karena adanya keluhan dari masyarakat tentang mahalnya biaya rapid test. Apalagi masyarakat dituntut untuk membawa surat hasil test bebas Covid-19 dalam banyak kegiatan. Seperti misalnya beberapa perusahaan yang mensyaratkan kepada karyawannya yang ingin kembali bekerja harus punya surat bebas Covid-19. Bahkan Pemda Provinsi Jabar akan mengeluarkan Sertifikat Bebas COVID-19 bagi industri yang tetap beroperasi asal perusahaan tersebut melakukan tes masif terhadap semua karyawannya.
ADVERTISEMENT
anggota Komisi IX PKS, Netty Prasetyani
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetyani Aher (Foto: Dok Pribadi)
Hadirnya surat edaran Kemenkes ini harus dikritik
Pertama, sudah seharusnya pemerintah menggratiskan rapid test untuk masyarakat yang tidak mampu. Penting adanya formulasi aturan agar masyarakat berpenghasilan rendah, rentan miskin dan tidak mampu dapat menjalani rapid test dengan biaya ditanggung oleh pemerintah.
Jika hal ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka seharusnya pemerintah dapat memberi subsidi atas kelebihan biaya yang dikeluarkan oleh fasilitas kesehatan. Di sisi lain pemerintah juga harus menjamin tersedianya alat tes dengan harga terjangkau dan valid hasilnya untuk menekan biaya. Apalagi dengan konsep new normal yang terus digalakkan, kebutuhan masyarakat akan surat keterangan bebas Covid-19 sebagai syarat bepergian dengan transportasi umum tentu makin tinggi. Sangat menyedihkan apabila rakyat tidak bisa beraktivitas hanya karena biaya rapid test yang mahal. Begitu juga dengan para karyawan yang mau kembali bekerja dan perusahaan mensyaratkan harus ada surat keterangan bebas Covid-19 tapi tidak memberikan fasilitas test-nya.
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang baik antara pemerintah, pengelola fasilitas kesehatan dan tenaga medis. Batasan tarif maksimal Rp150.000 banyak dikritik karena dianggap tidak memperhatikan harga alat tes di tingkat distributor dan tambahan komponen biaya lainnya. Seharusnya sebelum adanya penentuan tarif maksimal, terlebih dulu dikomunikasikan kepada semua pihak terkait, agar tidak menimbulkan gejolak. Saat ini banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang cash flow-nya kurang baik akibat pandemi. Oleh karena itu, jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan, baik masyarakat maupun tenaga medis yang memberikan pelayanan.
Ketiga, minimnya peran pemerintah dalam memastikan kualitas penatalaksanaan rapid test di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Selama ini belum ada masifitas pengawasan dalam pelaksanaan rapid test di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Padahal sudah seharusnya pengendalian tarif rapid test harus diikuti dengan menggencarkan pengawasan agar alat tes benar-benar valid, akurat dan berkualitas serta harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini juga harus diikuti dengan penertiban penjualan alat rapitd test yang marak dilakukan secara bebas di lapak online. Kita tidak tahu bagaimana standar akurasinya dan dari mana sumbernya. Oleh karena itu pemerintah harus dapat menekan adanya rapid test mandiri yang dilakukan oleh non tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Keempat, belum adanya terobosan penanganan Covid-19. Hadirnya surat edaran mengenai tarif rapid test harus pula diikuti dengan terobosan penanganan Covid-19. Ini sangat mendesak mengingat lonjakan kasus baru yang telah menembus rekor di atas 2000 per harinya. Sementara itu, akibat kampanye nee normal, saaat ini makin banyak masyarakat yang mendatangi pusat keramaian, mengabaikan penggunaan masker, dan berperilaku seolah Indonesia sudah aman dari ancaman Covid-19.
Pemerintah harus punya jawaban substansial atas semua problem di atas, bukan sekadar mengeluarkan surat edaran mengenai tarif maksimal rapid test. Jika pemerintah tidak punya kebijakan yang progresif untuk menangani Covid-19 serta tidak maksimal dalam memastikan kesehatan rakyatnya, maka sudah seharusnya kita menagih kembali janji negara untuk menjamin kesehatan rakyatnya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
ADVERTISEMENT