Dosen IPB University Bicara UU Cipta Kerja dan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2020 8:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dosen IPB University Bicara UU Cipta Kerja dan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat
zoom-in-whitePerbesar
Dosen IPB University Bicara UU Cipta Kerja dan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat
ADVERTISEMENT
Saat ini di Indonesia tengah dihebohkan dengan adanya pengesahan Omnibus Law (Undang-undang Cipta Kerja) oleh DPR. Hal ini mengakibatkan adanya demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia. Omnibus law merupakan suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Aturan ini banyak mengandung aturan mengenai ketenagakerjaan, lingkungan hidup, investasi, dan lainnya. Oleh karena itu Omnibus Law disebut juga dengan undang-undang sapu jagat.
ADVERTISEMENT
Dr A Faroby Falatehan, dosen IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (ESL-FEM), mengatakan bahwa salah satu isu yang menarik di RUU ini adalah mengenai pangan, yaitu pada pasal 69 ayat (1) huruf h, dimana disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa hal ini dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
"Di sinilah menariknya UU pada pasal ini, yaitu dimana isi dari pasal ini merupakan kondisi yang menjadi tantangan bagi Indonesia, khususnya dalam menghadapi kebakaran hutan, khususnya di wilayah lahan gambut. Hal ini merupakan isu bersama dalam menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Biasanya yang menjadi alasan salah satunya adalah dengan adanya ladang berpindah dan membuka ladang dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat adat," katanya.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya apa yang terjadi pada masyarakat adat? Inilah yang terkadang dilihat secara garis besarnya saja dan dianggap sama, bahwa membakar lahan itu berbahaya. Kriminalisasi masyarakat adat atas pembakaran lahan telah mengakibatkan masyarakat adat tidak memperoleh hak-haknya, khususnya hak-hak kontitusionalnya sebagaimana diatur dalam konstitusi. Kondisi ini tentu berbanding lurus dengan hilangnya rasa keadilan masyarakat karena dituduh sebagai pelaku kejahatan padahal mereka hanya menjalankan hak-hak tradisionalnya yang masih tetap hidup.
Menurutnya, saat ini masyarakat adat sudah sulit untuk melaksanakan kegiatan ladang berpindah, karena mereka telah mengetahui dan memiliki batas wilayah kepemilikan, khususnya kepemilikan private mereka. Hal ini membuat mereka akan berpikir ulang jika melakukan kegiatan ladang berpindah, karena mereka akan menggunakan lahan milik orang lain jika mereka melakukan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Ternyata aturan ini telah berlaku sejak lama. Oleh karena itu jika ada berita yang menyatakan bahwa ladang berpindah itu merupakan salah satu kegiatan yang mengakibatkan kebakaran adalah tidak selalu benar. Karena masyarakat saat ini telah mengetahui masalah kepemilikan lahan. Sehingga jika mereka melakukan perpindahan ladang ke tempat lain, maka dapat dipastikan mereka akan menggunakan lahan dari tetangganya ataupun kerabatnya, yang jika dilakukan dengan sesukanya akan mengakibatkan konflik di antara mereka.
"Hal berikutnya adalah mengenai pembakaran lahan untuk membuka ladang. Hal ini benar adanya, karena masyarakat adat terutama di lahan kering akan membuka lahan untuk membuat ladang dengan cara membakar. Tetapi hal ini sebenarnya dilakukan dengan penuh perhitungan. Masyarakat adat akan melakukan pembakaran lahannya, tetapi mereka akan menyampaikan hal ini terlebih dahulu kepada para pemilik lahan di sekitarnya bahwa mereka akan melakukan pembakaran lahan. Selain meminta izin, mereka juga telah mengantisipasi akan apa yang terjadi dengan adanya membakar lahan, mereka menggunakan kearifan lokal dalam mengantisipasi masalah ini. Oleh karena itu peluang terjadinya kebakaran besar dari lahan mereka akan dapat diminimalisir," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, mereka melakukan pembakaran lahan, khususnya di kawasan yang bergambut adalah karena mereka kesulitan dalam melakukan mekanisasi dalam pengolahan lahan mereka. Belum lagi jika dilakukan dengan mekanisasi, maka mereka pun memiliki keterbatasan biaya, sehingga sulit dilakukan. Dengan kondisi seperti itu maka mereka pun melakukan pembakaran untuk membuka lahannya.
Bahkan menurutnya, mereka pun sering menjadi korban dari kebakaran yang ada. Tidak sedikit lahan perkebunan mereka, yaitu sebagian besar kebun karet, yang terbakar. Hal inilah yang membuat mereka trauma jika mereka membakar lahan secara sembarangan, karena mereka juga yang nantinya akan menjadi korban.
"Hal yang paling penting berikutnya adalah bahwa pelarangan membakar lahan dalam membuka ladang, ternyata berdampak negatif bagi mereka dan juga bagi negara. Dengan adanya pelarangan membakar lahan yang mereka lakukan dengan kearifan lokal, ternyata berdampak kepada ketahanan pangan masyarakat. Dengan adanya pelarangan membakar lahan dalam membuka ladang mengakibatkan mereka tidak dapat berladang. Mereka tidak memiliki lahan untuk dijadikan sumber pangan mereka. Akibatnya mereka harus berbelanja untuk mendapatkan beras," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dr Faroby menjelaskan, sementara itu lahan mereka yang biasa dijadikan tempat bercocok tanam menjadi kosong. Dengan kekosongan ini maka peluang terjadinya kebakaran adalah besar, karena lahan tidak ada yang mengawasi. Kebakaran ini dapat berimbas tidak saja bagi para pemilik lahan, tetapi juga berdampak lebih luas, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Salah satu dampak yang penting adalah masyarakat adat ini menjadi kambing hitam dari kebakaran yang terjadi. Padahal belum tentu mereka pelakunya.
"Tentu hal ini tidak mudah dalam pelaksanaannya, apalagi jika ada yang memanfaatkan aturan ini untuk kepentingannya sendiri dalam melakukan pembersihan lahan. Oleh karena itu dengan dimasukannya permasalahan ini dalam UU Cipta Kerja, diharapkan masyarakat dapat terjamin ketahanan pangannya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dan yang lebih penting adalah mereka dapat membantu pemerintah dalam mengatasi kebakaran. Beberapa hal mesti diperjelas dalam pelaksanaan pembersihan ladang ini. Seperti keterkaitannya dengan administrasi pemerintah desa. Jadi bukan saja pihak adat yang mengetahui hal ini, tetapi juga pihak desa, sehingga jika terjadi sesuatu hal maka akan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," tandasnya. ( Awl/Zul)
ADVERTISEMENT
Kata kunci : IPB University, Dr A Faroby Falatehan, Omnibus Law, UU Cipta Kerja, Ketahanan Pangan Masyarakat Adat
Kategori SDGs: SDGs-1, SDGs-2