Dosen IPB University: Kekerasan Terhadap Anak Meningkat di Masa Pandemi COVID-19

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2020 8:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dosen IPB University: Kekerasan Terhadap Anak Meningkat di Masa Pandemi COVID-19
zoom-in-whitePerbesar
Dosen IPB University: Kekerasan Terhadap Anak Meningkat di Masa Pandemi COVID-19
ADVERTISEMENT
Merebaknya kasus infeksi COVID-19 memberikan tantangan khusus di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak ditemukannya kasus COVID-19 awal Maret lalu, pemerintah Indonesia telah memberlakukan kebijakan “Belajar dari rumah, Bekerja dari rumah, dan Beribadah dari rumah” (3B).
ADVERTISEMENT
Di bidang pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah memberlakukan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau belajar dari rumah bagi seluruh siswa di Indonesia. Kemdikbud bahkan telah membatalkan Ujian Nasional (UN) dan memberlakukan pembelajaran dengan menggunakan media daring.
Menurut Dr Yulina Eva Riany, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema), dengan adanya perberlakuan PJJ ini tentunya seluruh anggota keluarga baik orang tua maupun anak mengalami hari-hari yang panjang di rumah. Perubahan drastis yang terjadi pada rutinitas sehari-hari ini tidak jarang menyebabkan keluarga mengalami konflik antar anggota keluarganya akibat timbulnya rasa bosan, jenuh, dan penat yang dialami.
“Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah. Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit hutang, rendahnya kemampuan ekonomi, dan lain -lain) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua. Perubahan pada kondisi finansial keluarga akibat adanya COVID-19 (kesulitan mengakses kebutuhan pokok), diyakini akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga yang dapat berdampak fatal bagi kondisi keluarga,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Parahnya, anaklah yang sering menjadi korban ledakan emosi sang orang tua karena selain anak adalah pihak terdekat, risiko untuk mendapatkan perlawanan balik dari sang anak pun sangat kecil. Sehingga ekspresi amarah yang berlebihan sebagai solusi pelarian masalah sering ditumpahkan orang tua terhadap anaknya. Ditambah lagi, rendahnya pengetahuan akan strategi pengasuhan tanpa kekerasan fisik dan kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam interaksi sosial sehari-hari antara anak dengan orang tua juga dinilai sebagai faktor eksternal yang bertanggungjawab atas munculnya tindak kekerasan yang lebih serius terhadap anak.
“Sebagai contoh, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Ibu (LH) terhadap anak perempuan kandungnya yang masih duduk di bangku kelas 1 SD di Tangerang (26/08/2020). LH tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang masih berusia enam tahun akibat perasaan jengkel karena sang anak tidak mampu menguasai pembelajaran online. Putri LH tentunya tidak sendiri, kasus yang dialaminya diyakini sebagai fenomena gunung es yaitu kasus yang terungkap berjumlah lebih sedikit dari yang terjadi sebenarnya di masyarakat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Data menunjukkan bahwa kekerasan anak di beberapa daerah di Indonesia meningkat tajam selama pandemi. Sebagai contoh, data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di NTB meningkat sebanyak 12 persen selama pandemi.
Selain itu, data yang dihimpun dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari tanggal 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban.
“Informasi yang beredar bahkan menyebutkan bahwa mayoritas anak-anak tersebut mengalami kekerasan akibat kejengkelan orang tua mereka dalam mendampingi belajar online di rumah. Keterbatasan ekonomi yang mereka alami di saat pandemi menuntut mereka harus meluangkan biaya khusus demi pembelajaran online anak-anak mereka, sehingga tidak mengherankan ketika orang tua sangat emosi ketika mereka menilai bahwa anak-anak mereka tidak mampu menguasai proses PJJ di rumah. Dengan demikian, diperkirakan banyak anak-anak yang mengalami kasus kekerasan serupa di rumah selama proses PJJ akibat pandemi COVID-19 ini,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Selain meningkatkan angka kekerasan pada anak, pemberlakuan PJJ di masa pandemi COVID-19 juga menimbulkan kekhawatiran bagi kesehatan mental anak-anak. Penelitian yang dilakukan di Hubei Cina dan melibatkan 2.330 anak sekolah menemukan bahwa anak-anak yang mengalami karantina proses belajar akibat COVID-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukan bahwa 22,6 persen dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9 persen mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu 72 persen anak-anak Jepang merasakan stres akibat COVID-19.
Melihat berbagai fenomena yang terjadi terkait dengan dampak pembelajaran daring di masa pandemi pada anak, diperlukan upaya yang strategis dalam menguatkan fungsi dan peran keluarga khususnya dalam proses pendampingan anak dengan baik di rumah.
ADVERTISEMENT
Penguatan kapasitas keluarga saat ini menjadi suatu keniscayaan untuk diperhatikan utamanya fungsi keluarga dalam memberikan pendampingan terhadap anak selama pandemi. Pandemi ini belum berakhir dan dampak yang dirasakan oleh keluarga semakin nyata. Hal ini tentunya mempengaruhi tekanan psikologi dan kesehatan mental seluruh anggota keluarga termasuk kondisi kesehatan mental anak-anak maupun orang tua.
“Meskipun tidak mudah, namun dengan upaya memaksimalkan kerjasama sedini mungkin dan memperkokoh peran serta sekolah, keluarga, dan masyarakat, seharusnya kita mampu untuk bersama-sama mengatasinya dengan lebih baik. Sehingga harapannya, berbagai kasus kekerasan anak yang melibatkan orang tua akibat pandemi ini dapat diminimalisasi pada titik terendah,” tutupnya. (dh/Zul)
Keyword : Yuliana Eva Riany, Kekerasan anak masa pandemi, Simponi PPA, Fema, IPB University, dosen IPB
ADVERTISEMENT
Kategori SDGs: SGDs-3, SGDs-10, SDGs-11