Dr Dwi Hastuti Bicara Gaya Pengasuhan Anak di Masa Pandemi

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2020 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dr Dwi Hastuti Bicara Gaya Pengasuhan Anak di Masa Pandemi
zoom-in-whitePerbesar
Dr Dwi Hastuti Bicara Gaya Pengasuhan Anak di Masa Pandemi
ADVERTISEMENT
Orang tua pastinya berharap agar anaknya dapat tumbuh menjadi pribadi yang sukses dan bahagia. Di balik kesuksesan dan kebahagiaan anak tersebut, tentulah orang tua mengambil andil yang penting dalam tumbuh kembangnya. Gaya pengasuhan anak atau parenting style merupakan kunci dalam terciptanya kepribadian anak. Terutama di masa pandemi ini, orang tua harus memberikan dorongan semangat, perhatian dan kasih sayang pada anak agar kesulitan di masa pandemi dapat mudah dilewati bersama.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan hal tersebut, Dr Dwi Hastuti, Kepala Divisi Perkembangan Anak Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema), IPB University mendiskusikan gaya parenting di masa pandemi sebagai topik kepakarannya. Ia menjelaskan bahwa di masa pandemi ini, gaya parenting yang ideal adalah gaya pengasuhan yang umumnya telah dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia, yaitu gaya pengasuhan authoritative. Gaya tersebut dinilai paling ideal karena seimbang antara kasih sayang, ekspresi emosi positif (responsiveness) orang tua dengan tuntutan disiplin (demandingness) dari orang tua.
Hal ini dianjurkan dipraktikkan pada saat usia anak masih di bawah lima tahun (balita), usia sekolah, maupun remaja. Orang tua harus konsisten untuk memberikan kasih sayang, perhatian, penjelasan, berkomunikasi positif, serta tuntutan peraturan yang jelas pada anak. Terkait dengan peraturan, akan lebih efektif jika hal ini telah disepakati oleh semua anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
“Pada masa-masa sulit, orang tua harus sangat sensitif, karena studi yang ada menunjukkan bahwa anak-anak juga mengalami stres, sedih, takut, dan tidak bahagia di masa pandemi ini,” ungkapnya.
Namun demikian, gaya authoritative tersebut menurutnya ada kecenderungan berubah akibat beberapa faktor perubahan struktur keluarga. Seperti menjadi orang tua tunggal, kemiskinan atau kehilangan pekerjaan dan pendapatan, daya dukung lingkungan yang kurang seperti ketiadaan pengasuh pengganti, pasangan yang sibuk, atau bekerja di luar negeri atau tempat yang jauh. Akibatnya gaya pengasuhan orang tua dapat cenderung membiarkan anak tanpa tuntutan walaupun kebutuhan anak terpenuhi (gaya pengasuhan permisif), atau yang paling buruk yaitu bersikap neglectful atau abai terhadap anak, membiarkan anak tanpa aturan, miskin kasih sayang, bahkan hingga memberikan kekerasan verbal maupun fisik pada anak.
ADVERTISEMENT
"Maka dari itu penting bagi calon orang tua agar mampu mempersiapkan rumah tangga baik dari aspek ekonomi hingga matang secara emosi dan rohaninya sehingga tidak akan membuat anak hidup pada situasi yang negatif kepada orang tuanya ataupun menjadi bibit permasalahan psikis pada anak di kemudian hari. Pentingnya membangun lingkungan keluarga yang kondusif, penuh kehangatan, rasa saling menghormati, dan saling percaya antara pasangan suami istri juga merupakan kunci kebahagiaan keluarga yang dibutuhkan si anak, karena anak adalah “sang peniru ulung”, " jelasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, bila disertai dengan pola komunikasi yang positif dan terbuka, walaupun orang tua bekerja di tempat yang jauh, rasa percaya anak terhadap orang tua akan tetap tumbuh. Pondasi tersebut dapat dibangun mulai dari usia yang sangat dini yaitu 2-3 tahun pertama kehidupan karena anak menyimpan memori sadar dan bawah sadar dari apa yang dilihat dan didengarnya, dalam otak anak yang berkembang pesat di usia kanak-kanak.
ADVERTISEMENT
“Kondisi lingkungan keluarga yang harmonis adalah dasar utama pembentukan anak, sehingga keluarga mampu memberikan Attention-Bonding-Communication (ABC of parenting), yang disertai dengan Role Modelling (keteladanan) untuk menumbuhkan anak-anak berkualitas,” jelasnya.
Di samping itu, ia juga telah menerbitkan hasil riset mengenai persepsi remaja terhadap spiritualitas dan penyesuaian orang tua selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Hasil risetnya mengungkapkan bahwa dari remaja dari berbagai latar belakang sosio-demografik yang dilibatkan, sebanyak 72,26 persen remaja merasakan emosi negatif dan 23,79 persen merasakan emosi positif selama pandemi. Emosi positif tersebut terkait secara signifikan dengan spiritualitas orang tua yang lebih tinggi, sedangkan spiritualitas tersebut berpengaruh positif terhadap penyesuaian orang tua terlepas dari latar belakang sosio demografi remaja. Sehingga penting bagi orang tua untuk mempraktikkan parenting yang lebih baik dalam dimensi spiritual.
ADVERTISEMENT
Ia berharap, bahwa orang tua akan selalu ingat bahwa anak adalah titipan dari Tuhan, dan merekalah yang merupakan sumber kehangatan dan kasih sayang bagi anak sehingga nantinya anak akan merasa percaya diri dan berharga di mata orang tuanya. Pada orangtua yang mendapatkan anak yang sulit (difficult child) atau anak yang berkebutuhan khusus (disability child) harus melihat pula bahwa anak boleh jadi merupakan sumber ujian kesabaran bagi kedua orangtuanya.
“Semakin anak besar, orang tua harus semakin dekat dan terbuka. Menjadikan anak sumber kebahagiaan dengan menerima kelebihan dan kekurangan anak yang unik satu sama lain dan semakin saling percaya. Orang tua harus menyampaikan terus pada anak, bahwa ia mencintai anak-anak dan berdoa untuknya selalu,” tuturnya. (MW/Zul)
ADVERTISEMENT
Keyword: parenting, gaya pengasuhan anak, kepakaran, Departemen IKK, FEMA, IPB University
Kategori SDGs: SDGs-3, SDGS-10