Fakta Unik Hama Tikus & Pengendaliannya dengan Teknologi IoT dan Burung Predator

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2021 8:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pakar IPB University Ungkap Fakta Unik Hama Tikus dan Pengendaliannya dengan Teknologi IoT dan Burung Predator
zoom-in-whitePerbesar
Pakar IPB University Ungkap Fakta Unik Hama Tikus dan Pengendaliannya dengan Teknologi IoT dan Burung Predator
ADVERTISEMENT
Burung hantu dikenal sebagai salah satu burung predator yang memangsa tikus sawah sehingga dapat dimanfaatkan dalam manajemen tikus sawah. Namun demikian, petani juga perlu memahami berbagai fakta tentang tikus sehingga pengendaliannya berjalan dengan lancar.
ADVERTISEMENT
Terkait hal tersebu, dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Dr Swastiko Priyambodo menyebutkan fakta menarik bahwa nenek moyang bangsa telah berurusan dengan hama tikus sejak dahulu kala. Bahkan, dalam relief Candi Borobudur menggambarkan asosiasi tikus dengan tanaman padi di nusantara.
Pakar tikus dari IPB University itu menjelaskan, perilaku biologi semua jenis tikus adalah sama, yakni mengenali dan mencicipi makanan dan tidak dapat muntah. Dengan demikian, penerapan umpan racun zinc fosfit bagi tikus memerlukan pre-baiting, sedangkan bagi racun antikoagulan tidak memerlukannya.
“Perilaku tikus yang paling unik adalah hoarding atau menyimpan makanan walalupun tidak ada musim dingin di Indonesia. Naluri tikus di Indonesia tetap menyimpan makanan dan petani juga terbiasa melihat tikus membawa bibit padi masuk ke dalam sarangnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, dosen IPB University itu menjelaskan, fakta bioekososial tikus juga patut dipahami oleh petani. Menurutnya, tikus memiliki kebiasaan merawat tikus lainnya, dengan arti lain, tikus sawah cenderung bersifat sosial, tanpa tikus yang lain akan merasakan kesepian bahkan depresi seperti manusia. Perilaku tersebut membuat tikus dapat menyesuaikan diri dalam memilih makanan yang sama dengan tikus lain di sekitarnya.
“Hal ini ada kaitannya dengan rodentisida, jadi walaupun rodentisida sudah disediakan, belum tentu tikus mau memakannya karena sudah curiga terlebih dahulu. Tikus juga akan cenderung memakan yang lain walau tidak ada padi, ia bisa memakan alang-alang,” terangnya dalam webinar “Pemanfaatan Burung Hantu untuk Pengendalian Hama Tikus,” (18/08).
Selain itu ia menegaskan bahwa fakta terkait reproduksi tikus sawah juga perlu dipahami. Tikus sawah memiliki perilaku post partum oertus sehingga mampu merasakan birahi dalam 48 jam setelah melahirkan. Artinya, satu hingga dua hari setelah melahirkan, tikus betina yang masih menyusui sudah siap untuk dikawini kembali. Dengan jumlah anak maksimal 12 ekor tikus sawah, membuat perkembangan populasi tikus sangat luar biasa.
ADVERTISEMENT
“Fenomena ini dirangsang oleh atau dipicu oleh hormone giberelin yang terdapat pada tanaman padi. Sebetulnya, hormon ini terdapat pada tanaman graminae yang lain, tetapi konsentrasinya rendah, paling tinggi ada pada padi. Jadi, petani sudah biasa menyebut saat padi bunting, tikus ikut bunting,” lanjutnya.
Dalam satu musim tanam padi, katanya, populasi tikus diasumsikan akan menjadi 2.000 ekor dari satu pasang tikus. Apabila dalam satu tahun dikalikan tiga hingga empat musim tanam padi, maka akan meningkat hingga 60.000 atau 30 kali lipatnya.
Oleh karena itu, diperlukan suatu manajemen tikus berdasarkan teknologi IoT (Internet of Things) atau teknologi kekinian. Teknologi IoT diterapkan melalui aplikasi yang mendeteksi jebakan yang berhasil menangkap tikus berdasarkan sinar laser pendeteksi gerakan tikus. Namun demikian, alat ini memiliki kekurangan yaitu dapat menembak hewan non target sehingga memerlukan integrasi dari semua pihak dalam penerapannya.
ADVERTISEMENT
Ia pun menekankan untuk menggunakan agens biokontrol dengan burung predator. Hal ini karena burung predator mampu mematikan tikus 10 kali lebih tinggi. Burung predator yang dimaksud adalah Tyto alba atau burung hantu Serak Jawa. Namun, saat ini populasinya cenderung diganggu manusia untuk diperjualbelikan di pasar burung gelap.
“Kelemahan Serak Jawa adalah tidak mampu mengikuti ledakan populasi tikus saat musim panen tiba. Di sisi lain, saat populasi tikus sawah menurun, Serak Jawa akan hilang karena kekurangan mangsa. Petani harus menyiasatinya dengan memberikan mangsa agar tidak menganggu hewan non target,” pungkasnya. (MW)