HAPKA IPB Gelar Diskusi Bahas Undang-Undang Cipta Kerja di Bidang Lingkungan

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
6 April 2021 19:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
HAPKA IPB University Gelar Diskusi Bahas Undang-Undang Cipta Kerja di Bidang Lingkungan
zoom-in-whitePerbesar
HAPKA IPB University Gelar Diskusi Bahas Undang-Undang Cipta Kerja di Bidang Lingkungan
ADVERTISEMENT
Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University kembali menggelar seri diskusi dalam rangkaian Hari Pulang Kampus (HAPKA) XIII. Diskusi kali ini membahas tentang Undang-Undang Cipta Kerja: Ultimatum Remedium dalam Penyelesaian Konflik Kehutanan.
ADVERTISEMENT
Dr Sudarmalik, selaku moderator menjelaskan, rangkaian diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan HAPKA VIII. Ia menjelaskan, puncak acara HAPKA adalah seminar nasional yang akan digelar bulan Desember mendatang.
"Melalui diskusi ini, kami ingin melihat bagaimana implementasi UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 yang kemudian diimplementasikan dalam Peraturan Presiden Nomor 24 tentang penegakan hukum. Salah satu yang ada di dalamnya adalah ultimatum remidium yang dugunakan untuk mengatasi konfilk kehutanan," kata Dr Sudarmalik.
Dr Fransiscus Xaferius Herwirawan, Kepala Sub Direktorat Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah 1 menjelaskan ada lima aturan turunan dari UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Aturan turunan tersebut adalah PP No 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, PP No 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 24 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, PP No 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif Bidang Kehutanan, dan PP No 43 tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah.
ADVERTISEMENT
"Meskipun ada peraturan lain yang saling berkaitan, tetapi lima aturan tersebut berkaitan paling erat dengan UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020," ujar Fransiscus.
Pada kesempatan ini juga, Dr Fransiscus turut menjelaskan nilai strategis hutan. Dirinya menyebut, sedikitnya ada enam nilai strategis hutan, yaitu hutan merupakan sistem penyangga kehidupan, hutan merupakan faktor penting dalam siklus air, hutan berperan sebagai fungsi sosial dan ekonomi masyarakat, hutan sebagai sumber penyedia ruang, hutan merupakan sumber plasma nutfah, dan hutan merupakan komponen penting perubahan iklim.
Sementara, Prof Dr Dodik Ridho Nurrochmat, Wakil Rektor IPB University bidang Internasionalisasi, Kerjasama dan Hubungan Alumni menjelaskan tentang UU Cipta Kerja dan Resolusi Konflik Usaha Kehutanan dengan pendekatan non-litigasi dan ultimum remedium. Lebih lanjut Prof Dodik menjelaskan prinsip non-litigasi dan ultimum remedium berusaha mengurai akar dan solusi masalah kehutanan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Prof Dodik menjelaskan bahwa akar masalah yang sebenarnya adalah ketidakadilan. Menurutnya, ketidakadilan ini muncul dari dampak sistem hukum, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik.
"Akar masalah ini menyebabkan sumber masalah. Sumber masalah yang muncul antara lain akses terhadap sumber daya alam rendah, keterampilan rendah, ketidakberdayaan, pengangguran, resistensi terhadap perubahan dan masalah lain terkait lingkungan," ujar Prof Dodik.
Dari sumber masalah ini, katanya, menimbulkan gejala masalah yang berupa kemiskinan dan ketertinggalan. "Jadi kemiskinan itu bukan akar masalahnya, tetapi justru kemiskinan menjadi gejala masalah yang ada," tambah Prof Dodik.
Salah satu persyaratan pengelolaan hutan non-litigasi itu adalah efisiensi pengelolaan hutan. Dengan demikian, negara bisa diuntungkan dalam beberapa waktu ke depan.
ADVERTISEMENT
Ia pun menjelaskan, salah satu upaya pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan implementasi perhutanan sosial. Pasalnya, perhutanan sosial ini diklaim dapat menggerakan berbagai stakeholder terutama masyarakat tapak. Tidak hanya itu, upaya perhutanan sosial ini juga berpotensi sebagai upaya menjaga keberlanjutan sosial. (*)