IPB Gelas Konferensi Bahas Monyet Ekor Panjang, Hadirkan Tiga Pembicara Kunci

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
1 November 2022 9:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
IPB University Gelas Konferensi Ilmiah Bahas Monyet Ekor Panjang, Hadirkan Tiga Pembicara Kunci
zoom-in-whitePerbesar
IPB University Gelas Konferensi Ilmiah Bahas Monyet Ekor Panjang, Hadirkan Tiga Pembicara Kunci
ADVERTISEMENT
Macaca fasciularis atau monyet ekor panjang merupakan satwa primata yang memiliki distribusi yang luas di wilayah Asia Tenggara. Keberadaannya semakin terancam akibat degradasi hutan hingga perburuan liar. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), Maret 2022, statusnya kini terancam punah (endangered) dari sebelumnya memiliki status rentan (vulnerable) karena tingkat populasinya menurun hingga 40 persen.
ADVERTISEMENT
Himpunan Mahasiswa Primatologi Pasca Sarjana dan Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University menggelar International Conference on Long Tailed Macaques: Getting to Know Their Current Status and Roles in Environment and One Health secara hybrid di Hotel Permata Bogor, (29/10). Program Studi Primatologi adalah satu-satunya satu-satunya di Asia Tenggara yang yang mendalami ilmu terkait primate.
Konferensi ilmiah internasional ini diharapkan dapat memperbaharui pengetahuan mengenai status monyet ekor panjang dan pemanfaatannya terutama dalam bidang biomedis. Dalam kegiatan ini dilibatkan juga berbagai asosiasi yang bergerak dalam konservasi dan ilmu biomedis seperti IUCN; Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik dan Hewan Eksotik Indonesia (ASLIQEWAN); serta beberapa lembaga penelitian luar negeri yang memiliki keterkaitan yang erat dengan monyet ekor panjang.
ADVERTISEMENT
Prof Steven J Schapiro dari University of Texas MD Anderson Cancer Center menjadi keynote speaker. Ia menjelaskan terkait pemanfaatan monyet ekor panjang secara global.
Ia mengatakan karena kekerabatan yang erat secara taksonomi dengan manusia, menyebabkan monyet ekor panjang bermanfaat dalam sektor biomedis. Terutama dalam riset terkait virus dan obat-obatan.
“Walau dapat dikatakan spesies invasif dan destruktif (sebagai hama). Namun di saat bersamaan, hewan ini memiliki karakteristik spesial yang membuat perannya penting dalam berbagai penelitian,” katanya.
Menurutnya, para peneliti berupaya mengkonservasi monyet ini di lingkungan laboratorium karena bertujuan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Sekaligus meningkatkan kesejahteraan monyet ekor panjang yang dibiakkan di dalam kandang.
Dr Malene Friis Hansen dari University of Copenhagen ikut menyampaikan terkait isu status IUCN monyet ekor panjang. Ia memberikan rekomendasi berupa One Health, salah satunya tidak menangkap monyet liar di alam. Menurutnya, monyet ini dapat menularkan penyakit bila ditangkap dan dikandangkan.
ADVERTISEMENT
“Penangkapan monyet liar dapat menyebarluaskan patogen yang berbahaya pada mereka dan populasi primata tetangganya, efeknya sangat berbahaya,” ujar Malene.
Drh (vet) Indra Eksplotasia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI turut membahas terkait kebijakan dan implementasi status iUCN monyet ekor panjang. Ia menjelaskan bahwa upaya konservasi di Indonesia harus menggunakan data dan informasi yang dikoleksi oleh Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) dalam mengawasi populasi monyet ini di seluruh provinsi.
Menurutnya, harus dilakukan peningkatan asesmen spesies ini di Indonesia untuk meningkatkan analisis dan rekomendasi pengelolaannya. Selain itu peneliti harus memahami dampak populasi monyet ini untuk tujuan biomedis.
“Berdasarkan survei keberadaan dan populasinya di alam, status nasional monyet ini mungkin saja berbeda dari status global. Kami yakin bahwa status monyet ini masih dikatakan belum terancam punah,” pungkasnya. (MW/Zul)
ADVERTISEMENT