IPB University Menganalisis UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
11 Mei 2022 10:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Forum Wacana IPB University Menganalisis Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang Telah Disahkan DPR RI
zoom-in-whitePerbesar
Forum Wacana IPB University Menganalisis Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang Telah Disahkan DPR RI
ADVERTISEMENT
Forum Mahasiswa Pascasarjana atau Forum Wacana (FW) IPB University menggelar Ngobrol Perkara Isu (Ngopi) Bareng #2 (30/4). Diskusi ini berusaha menganalisis pasal-pasal multitafsir dan hidden agenda di balik pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Narasumber yang dihadirkan yaitu Prof Euis Sunarti (Guru Besar IPB University) dan Dr Sri Nurdiati (Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetauan Alam/FMIPA IPB University periode 2011-2021).
ADVERTISEMENT
Undang-Undang TPKS yang disahkan 12 April 2022 lalu telah melewati masa pembahasan yang cukup panjang. Draft naskah undang-undang tersebut telah disusun sejak tahun 2016 dengan nama awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Adanya RUU tersebut ternyata memicu pro dan kontra di tengah publik.
Dalam paparannya, Prof Euis mengatakan, RUU PKS namanya sangat baik karena berisi tentang penghapusan kekerasan seksual. Ia menyebut, semua orang normal menginginkan kekerasan seksual tidak ada dan dihapuskan.
“Semua orang normal akan berpikir seperti itu. Namun ketika membaca draftnya, terutama naskah akademiknya, ternyata banyak hal yang sangat merisaukan. Selain definisinya multitafsir, landasannya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Feminisme itu bukan dari Indonesia,” ujar Prof Euis.
ADVERTISEMENT
Ketua Koalisi Nasional Perlindungan Keluarga Indonesia tersebut juga menjelaskan bahwa feminisme berbeda dengan emansipasi dan pemberdayaan perempuan. Ia menerangkan, isme atau paham tersebut dikembangkan oleh para ahli atau perempuan-perempuan dengan semangat sosialis radikalis.
Awalnya, kata Prof Euis, feminisme berkembang di negara-negara yang sosialis dan masuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian dikembangkan menjadi program PBB melalui Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
“Masalahnya, definisi kekerasan seksual itu ternyata tidak sama antara di kepala kita dengan di kepala para feminis. Di kepala kita, kekerasan seksual itu kalau dijambak, ditabok, dan lain sebagainya. Kalau sekarang, definisi kekerasan seksual diambil dari instrumen internasional, termasuk sexual consent. Jadi dikatakan kekerasan kalau tidak ada persetujuan, itu yang namanya kekerasan. Kalau ada persetujuan bukan ada kekerasan. Oleh karena itu, kami mengusulkan jangan gunakan istilah kekerasan seksual, gunakan kejahatan seksual,” imbuh Prof Euis, inisiator sekaligus Ketua Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain landasan dan definisi makna, Prof Euis juga mengkritik tidak komprehensifnya UU TPKS. Ia menyebut, kekerasan seksual terhadap anak laki-laki itu kebanyakan adalah karena LGBT dan karena homoseksual.
“Tetapi kenapa kemudian menolak pengaturan kejahatan seksual, zina, dan cabul sesama jenis di dalam undang-undang ini? Kan tidak masuk akal. Kalau mau mengatakan komprehensif harusnya masukkan juga homoseksual sebagai faktor yang menyebabkan kekerasan seksual. Tapi ternyata mereka tolak mentah-mentah,” tegas Prof Euis.
Hal tersebut termasuk juga dengan zina. Menurutnya, zina itu adalah penyebab kekerasan seksual kepada pasangan yang kumpul kebo, yang belum menikah, dan sebagainya. “Faktanya mengatakan seperti itu. Tapi kemudian mereka tolak zina sebagai dasar kejahatan seksual selama itu suka sama suka. Nah, jadi dimana komprehensifnya?” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan yang sama, Dr Nurdiati, tokoh perempuan Jawa Barat sekaligus dekan perempuan pertama di FMIPA IPB University menambahkan, “Bahasa-bahasa hukum seringkali tidak ditangkap oleh orang awam secara jelas, termasuk istilah sexual consent.”
Ia menyebut, kalau kita buka di Google, baru kita tahu artinya. Maksudnya, hubungan seks yang dengan persetujuan. “Jadi tidak diwajibkan lagi ada ikatan pernikahan, asal sama-sama menyetujui, boleh dilakukan. Seolah-olah kan begitu jadinya. Dan itu tentu saja sangat berlawanan dengan nilai-nilai yang selama ini kita adopsi atau kita pegang,” kata Dr Nurdiati. (*)