Kembangkan Pemodelan SDB di Pulau Bawean, BRIN dan IPB University Gelar FGD

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
17 Mei 2022 14:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kembangkan Pemodelan SDB di Pulau Bawean, BRIN dan Departemen ITK IPB University Gelar FGD
zoom-in-whitePerbesar
Kembangkan Pemodelan SDB di Pulau Bawean, BRIN dan Departemen ITK IPB University Gelar FGD
ADVERTISEMENT
Perwakilan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) IPB University, Farel Aditama, SSi, menghadiri Focus Group Discussion (FGD) pengembangan model Satellite Derived Bathymetry (SDB) di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Kegiatan ini dilaksanakan oleh tim Peneliti Batimetri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dipimpin Kuncoro Teguh Setiawan, SSi, MSi selaku peneliti muda dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) IPB University.
ADVERTISEMENT
Kuncoro memaparkan bahwa ia mencoba melakukan pengembangan model SDB analitik dan semi analitik untuk pemetaan batimetri di perairan laut dangkal. Menurutnya, pengembangan model batimetri berbasis satelit sangat penting digunakan untuk mengisi kekosongan batimetri di laut dangkal. “Pengembangan model batimetri berbasis satelit sudah dimulai dari tahun 2017 saat Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut (Pushidrosal) melaksanakan kunjungan ke LAPAN untuk pengembangan model batimetri berbasis satelit. Kali ini, kami mencoba menggunakan model semi-analitik dari koefisien atenuasi. Kelebihan model semi-analitik tidak membutuhkan data insitu. Ini sangat memungkinkan untuk mendapatkan nilai kedalaman dari setiap band citra,” ungkap peneliti BRIN tersebut.
Kuncoro menyebutkan bahwa rencana penelitian yang akan dilakukan selain di perairan Pulau Bawean, pengembangan model SDB untuk pemetaan batimetri juga akan dikembangkan di lokasi lain di Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur pada tahun 2023 dan Kalimantan Timur pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan ini Farel mengatakan bahwa pengukuran batimetri untuk mendapatkan model SDB sangat dipengaruhi oleh proses atenuasi di laut. Hal ini disebabkan oleh adanya proses absorbsi dan hamburan yang disebabkan oleh kolom air dan materi yang terkandung. Akibatnya, intensitas sinar atau cahaya berkurang secara logaritmik terhadap kedalaman.
“Ditinjau dari konsep fisika dan bio-optiknya, sinar atau cahaya dapat berpenetrasi hingga kedalaman kurang lebih 200 meter pada zona fotik. Intensitas penetrasi gelombang elektromagnetik pada medium air laut sangat dipengaruhi oleh keberadaan fitoplankton, padatan tersuspensi. Sehingga pengetahuan mengenai atenuasi dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik suatu kolom perairan,” ujar Farel.
Farel menambahkan, proses atenuasi menyebabkan penetrasi cahaya hanya menembus kolom air hingga kedalaman tertentu. Semakin tinggi tingkat penetrasi suatu sinar atau cahaya maka semakin dalam sinar atau cahaya dapat menembus kolom air. Hal ini berarti kedalaman perairan laut dangkal yang terukur juga bisa semakin dalam.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof Wikanti Asriningrum dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, FGD yang terlaksana antara sejumlah instansi merupakan inisiasi yang baik untuk mempercepat penelitian dan melengkapi keahlian serta pengetahuan peneliti sehingga informasi yang dimiliki akan semakin detail dan akurat.
“Dalam membangun model algoritma harus ada tiga komponen yang terkait yaitu akademisi (IPB University dan Institut Teknologi Surabaya), pengguna (Pushidrosal dan BIG-BRIN) dan penyedia data (Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh/Pusfatja)”, tambah Prof Wikanti.
Prof Wikanti juga mengingatkan pentingnya memperhatikan metode validasi untuk mendapatkan data yang akurat dalam penggunaan citra satelit untuk menentukan model SDB.
Sementara itu, Dr Syamsul Bahri Agus selaku Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB University menyatakan bahwa adanya FGD ini menjadi langkah yang sangat baik untuk memecahkan masalah kompleks yang mungkin terjadi saat melakukan penelitian.
ADVERTISEMENT
“Pemetaan batimetri ini tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan keahlian dari satu rumpun keilmuan saja. FGD ini sudah merupakan langkah yang sangat benar untuk dilakukan, untuk mendukung terlaksananya pemetaan batimetri. Selain itu juga mendorong partisipasi pihak lain untuk keberlangsungan kegiatan ini, sehingga bisa lebih efektif prosesnya,” ungkap Dr Syamsul. (ARS/Zul)