Pakar Perikanan IPB : Pembangunan Perikanan Harus berbasis Ilmu Pengetahuan

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
3 Februari 2021 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pakar Perikanan IPB University: Pembangunan Perikanan Harus berbasis Ilmu Pengetahuan
zoom-in-whitePerbesar
Pakar Perikanan IPB University: Pembangunan Perikanan Harus berbasis Ilmu Pengetahuan
ADVERTISEMENT
Dosen IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr Yonvitner menyebut pembangunan perikanan dan kelautan harus dilakukan dalam sebuah frame ekonomi yang kuat dan berbasis ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
“Menjadi besar dan penghela ekonomi bangsa perlu energi besar bagi perikanan kelautan ke depan. Maka untuk itu, setidaknya pembangunan perikanan kelautan harus dalam framing industri perikanan dan kelautan yang berkemajuan,” ujar Dr Yonvitner.
Untuk mencapai itu semua, lanjut Dr Yon harus dimulai dengan penyediaan data yang presisi, sumberdaya manusia yang mumpuni dan teknologi yang adaptif. Menurutnya, sektor perikanan dan kelautan butuh seorang pemimpin yang cakap, kuat, tegas dan mimiliki ketajaman visi ekonomi serta humble dengan nelayan.
“Presiden harus memahami ini, kalau benar-benar ingin membangun dan memajukan sektor perikanan dan kelautan sebagai prime mover ekonomi bangsa,” ujar Dr Yonvitner yang saat ini menjadi Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University.
ADVERTISEMENT
Ia pun menyinggung potensi perikanan dan kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Menurutnya, ada lebih dari 12.5 juta ton potensi perikanan dan lautan nasional. Bahkan diperkirakan potensi ini bisa lebih besar lagi apabila praktik illegal fishing, transhipment, kerusakan karang dan mangrove serta degradasi lingkungan berkurang dan dihilangkan.
Namun, angka tersebut seakan menjadi misteri karena pendugaan dan realitas yang sangat jauh perbedaannya. “Berapa jumlah yang bisa ditangkap, dan berapa jumlah kapalnya yang dapat diizinkan masih belum mampu dijawab oleh potensi tersebut. Seolah ada keraguan jika penilaian yang dilakukan overshot atau undershot ketika izin diberikan,” tandasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, apabila ke depan industri penangkap perikanan dibangun dengan multi spesies maupun single spesies, intervensi kebijakan perizinan kapal harus terukur.
ADVERTISEMENT
“Jangan sampai ketika izin diberikan, malah kita masih kesulitan bahan baku untuk 6500-an UMKM dan 630-an industri perikanan kita,” tegasnya.
Fenomena saat ini yang kita hadapi, katanya, dimana tidak kunjung membaiknya kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan menjadi indikator bahwa bahan baku sebenarnya tidak begitu besar, atau nelayan yang sekarang beroperasi tidak mampu menangkap. Karena logikanya, ketika potensi membaik, tanpa menambah upaya, maka hasil tangkapan nelayan eksisting tidak akan meningkat begitu juga kesejahteraan.
“Jika peningkatan nilai tukar nelayan yang dijadikan indikator kesejahteraan yang digambarkan naik, memaksa kita harus melakukan kroscek ke lapangan secara lebih baik. Apakah realitas nilai tukar sama dengan pendapatan atau bagi hasil yang diperoleh nelayan? Mungkin kita bisa menggunakan indikator keterpenuhan KHM (kebutuhan hidup minimun) daripada nilai tukar untuk menggambarkan nelayan sejahtera,” tambah Dr Yonvitner.
ADVERTISEMENT
Keraguan lainnya, ketika OSS (online single submission) yang digambarkan dapat membantu investasi perikanan yang selesai 1 sampai 2 hari, ternyata proses verifikasi secara teknis tetap menjadi kendala.
“Akibatnya industri perikanan kita tetap mengalami kekurangan bahan baku karena terbatasnya armada perikanan untuk menangkap potensi besar tadi. Jika fenomena impor masih terjadi di tengah potensi yang berlimpah, ini menjadi tanda tanya besar bagi kita. Kemana sesungguhnya arah pembangunan perikanan akan diarahkan?” pungkasnya. (RA)
Keyword: perikanan, kelautan, terumbu karang
Kategori: SDGs-14