Rektor IPB University Sebut Indonesia Perlu Kembangkan Konsep Bioekonomi

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2021 15:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Di Acara Sarwono Award dan Sarwono Memorial Lecture 2021,  Rektor IPB University Sebut Indonesia Perlu Kembangkan Konsep Bioekonomi
zoom-in-whitePerbesar
Di Acara Sarwono Award dan Sarwono Memorial Lecture 2021, Rektor IPB University Sebut Indonesia Perlu Kembangkan Konsep Bioekonomi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rektor IPB University, Prof Arif Satria menyampaikan orasi ilmiahnya dalam kegiatan Penganugerahan Sarwono Award dan Sarwono Memorial Lecture 2021 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 24/8. Dalam orasinya, ia memaparkan tentang kekayaan hayati dan inovasi bioekonomi untuk masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Prof Arif Satria mengatakan, “Kekayaan hayati bisa menjadi pondasi ekonomi di masa depan. Dengan demikian, bioekonomi memiliki peran dalam pembangunan nasional karena saat ini pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) tidak melebihi daya dukung dan pemulihan SDA untuk meningkatkan suplai.”
Prof Arif Satria juga menegaskan bahwa saat ini perlu memperbaharui indikator pengukuran ekonomi ke arah yang berkelanjutan. Menurutnya, peran bioekonomi dalam pembangunan nasional juga memerlukan transformasi kelembagaan dan sistem kehidupan, seperti kesehatan dan pendidikan, untuk menciptakan keberlanjutan. Serta kebijakan untuk memperkuat transisi menuju bioekonomi dan mendorong perkembangan inovasi berbasis biodiversitas.
Pakar ekologi politik dari IPB University itu juga menjelaskan tentang karakteristik inovasi agar kekayaan hayati mampu menghasilkan nilai bioekonomi. Karakteristik yang dimaksud meliputi, mampu menghasilkan nilai dalam bioekonomi antara lain berorientasi pada future practice, memberikan solusi, inklusif dan mampu memperkuat kedaulatan bioekonomi.
ADVERTISEMENT
“Inovasi yang ada harus dapat menjawab permasalahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, inovasi juga harus inklusif, bisa diakses oleh masyarakat menengah ke bawah. Sehingga masyarakat ke bawah bisa menikmati keanekaragaman hayati kita, baik secara ekonomi maupun sosial,” ujarnya.
Dalam tata kelola bioekonomi, lanjutnya, kerangka pengukuran pertumbuhan hijau merupakan keniscayaan. Dirinya menyebut, menjadikan bioekonomi sebagai model ekonomi bangsa membutuhkan transformasi mendasar. Salah satunya merevisi indikator pertumbuhan ekonomi dengan mengadopsi kerangka pengukuran pertumbuhan hijau.
“Dengan mengadopsi kerangka pengukuran pertumbuhan hijau, berarti kita telah berupaya menunjukkan pertumbuhan riil dari ekonomi yang tidak hanya berdasarkan pada aspek produksi dan konsumsi, namun juga mengoreksi komponen-komponen tersebut dengan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan yang terjadi akibat perputaran roda produksi dan konsumsi,” katanya.
ADVERTISEMENT
Prof Arif Satria juga menerangkan beberapa strategi dalam pengembangan inovasi bioekonomi. Pertama, perlindungan terhadap biodiversitas melalui kebijakan konservasi secara kolaboratif, termasuk memperkuat bank genetik.
“Banyak negara maju yang memiliki sumberdaya genetik milik Indonesia yang disimpan di berbagai negara di luar negeri. Kita sebagai negara yang memiliki megabiodiversitysudah saatnya bisa membangun kedaulatan biodiversity dengan menciptakan laboratorium unggul dalam bank genetik,” kata nya.
Strategi kedua adalah perlu segera dilakukan payung riset biodiversitas untuk bioekonomi baru dan pendanaan alternatif non pemerintah seperti swasta, filantropi atau crowd funding. Payung riset ini perlu koordinasi antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) agar perguruan tinggi dan lembaga riset di bawah kedua lembaga itu memiliki payung riset bersama guna meningkatkan efektivitas riset.
ADVERTISEMENT
Strategi ketiga adalah penguatan infrastruktur riset bioekonomi melalui sharing resources. Keempat, pemanfaatan teknologi 4.0 dalam pengelolaan biodiversitas perlu terus didorong. Kelima, klasterisasi kawasan sains dan teknologi serta sentra-sentra pengembangan inovasi bioekonomi. Keenam, penguatan kualitas inovator yang adaptif terhadap perkembangan pasar, serta dorongan investasi berbasis inovasi bioekonomi baru.
“Para peneliti seringkali egois dengan imajinasinya. Saat ini, imajinasi itu perlu dilengkapi dengan sense terhadap pasar. Agar inovasi yang dihasilkan adalah yang memberikan solusi, marketable, dan mampu diterapkan di masyarakat. Karenanya, penguatan kualitas inovator saya kira sangat penting, ditambah adanya investasi baru berbasis ekonomi baru,” tegasnya. (*/RA)