Cerita Nelayan di Probolinggo: Jauh dari Istri Demi Biaya Hidup

Pena Pesisir
Komunitas Masyarakat Peduli Pesisir
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2019 10:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pena Pesisir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerita Nelayan di Probolinggo: Jauh dari Istri Demi Biaya Hidup
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pak Mistur (48 tahun) adalah seorang nelayan di daerah Pantai Bentar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia telah menjadi nelayan selama kurang lebih 20 tahun, sejak lulus SMP.
ADVERTISEMENT
Bersama istri, Mai (46 tahun), dan dua orang anaknya yang belum lulus sekolah, Pak Mistur tinggal tak jauh dari pesisir Pantai Bentar. Istrinya berjualan ikan asap di pinggir jalan Pantura dan ikan yang dijual merupakan hasil tangkapan Pak Mistur sehari-hari.
Pak Mistur mengaku hasil tangkapan memang banyak. Namun harga penjualan ikan yang tidak sebanding dengan kerja keras para nelayan di daerah Pantai Bentar, memaksa Pak Mistur untuk memiliki pekerjaan tambahan. Ia juga sempat bekerja sebagai pengemudi kapal wisata di Pantai Bentar.
Pak Mistur juga mengaku pendapatan yang diterimanya masih sangat kurang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sehingga ia pun memutuskan untuk pergi merantau dan bekerja ke Bali sebagai anak buah kapal (ABK) di salah satu perusahaan kapal ikan bermuatan besar.
ADVERTISEMENT
Menjadi ABK adalah pilihan terakhir Pak Mistur untuk membiayai kehidupan kelurganya, namun ia tidak serta merta langsung menjual kapal yang telah dia bawa untuk mengarungi kerasnya kehidupan selama ini.
Ia tetap membiarkan kapalnya terparkir rapi di daerah hilir sungai Pantai Bentar. Pak Mistur berharap, jika nanti telah selesai membiayai sekolah anaknya hingga jenjang tertinggi, ia akan kembali ke kampung halamannya, yaitu Desa Karang Anyar, untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai nelayan.
Bagaimanapun, sesungguhnya Pak Mistur masih ingin tetap melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan. Namun, apa daya, ada tuntutan keluarga dan biaya hidup yang semakin hari semakin tinggi. Pendapatan yang tidak dapat mengimbangi kebutuhan membuat Pak Mistur terpaksa menjadi seorang ABK.
Selama menjadi ABK, Pak Mistur mendapatkan gaji yang seimbang dengan apa yang ia kerjakan dibandingkan dengan menjadi nelayan kecil dengan penghasilan tak menentu. Ia juga mendapatkan asuransi kesehatan dari perusahaan.
ADVERTISEMENT
Namun, Pak Mistur tetap merasa bersedih karena tidak selalu bisa menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temannya. Ia juga merasa bersedih karena harus meninggalkan profesi nelayan yang telah dijalaninya selama bertahun-tahun.
Ilustrasi ABK via mongabay.com
Istri Mistur, Bu Mai yang sehari-harinya berjualan ikan asap di pinggir jalan menuju Pantai Bentar tak kalah sulit. Kendala yang kerap dialami adalah pembeli yang hanya ramai pada waktu-waktu tertentu. Ikan laku keras hanya ketika musim libur, musim lebaran, dan akhir pekan. Sedangkan untuk hari-hari biasa kurang ramai, bahkan terkadang sepi pembeli.
Keuntungan yang didapat dari berjualan ikan asap sendiri juga tidak terlalu banyak, karena Bu Mai menerapkan harga yang jauh lebih murah dari pada pedagang ikan asap lainnya. Mai selalu memiliki prinsip bahwa tidak apa untung sedikit yang penting dagangan laku dan habis dan keuntungannya cukup untuk makan di hari itu.
ADVERTISEMENT
Ada perasaan sedih yang dirasakan Pak Mistur karena harus pergi jauh dari rumah dan keluarga, namun ia tidak punya banyak pilihan. Kalau tidak pergi ke Bali buat kerja, anak-anaknya mungkin tidak bisa lanjut sekolah. Ia tidak mau anak-anaknya putus sekolah sepertinya.
Oleh: Audi Elvira Widiyanti