Kisah Nelayan di Toli-Toli: Perahu Hancur Ulah Ikan 'Bermulut Pedang'

Pena Pesisir
Komunitas Masyarakat Peduli Pesisir
Konten dari Pengguna
2 September 2019 16:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pena Pesisir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kisah Nelayan di Toli-Toli: Perahu Hancur Ulah Ikan 'Bermulut Pedang'
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Siang itu cuaca cukup terik, matahari tampak mulai tinggi. Tidak terasa keringat mulai bercucuran saat mengitari wilayah perahu nelayan yang berjarak tidak terlalu jauh dari pasar ikan di Kota Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Tampak para nelayan sedang berkumpul sambil bercengkerama dengan nelayan lainnya. Tampaknya mereka sedang tidak melaut di hari itu.
ADVERTISEMENT
Kadir (56 tahun), seorang nelayan dari Suku Mandar, telah 'melaut' selama lebih dari 40 tahun. Suku Mandar memiliki keunikan tersendiri karena mereka melaut dengan cara berpindah-pindah tempat lalu kembali ke daerah asalnya pada saat Festival Nelayan yang digelar secara tahunan.
Kadir bersama dua orang kerabatnya yang masih belia sedang menjelajahi perairan Toli-Toli untuk menangkap tuna dengan kapal tradisional mereka. Kegiatan melaut biasanya mereka lakukan bersama-sama. Dalam satu kapal biasanya berisi sekitar tiga hingga empat orang nelayan.
Cuaca cerah di darat ternyata tidak menjadi jaminan bahwa hal yang sama terjadi juga di laut. Kala itu, mereka sudah dua hari tidak melaut karena cuaca di tengah sana sedang tidak bersahabat. Hal ini mengakibatkan pendapatan mereka menurun, serta jumlah ikan yang beredar di pasar pun terbatas dan mahal harganya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, dari kejauhan terlihat pulau yang berjarak kurang lebih empat mil. Pulau tersebut tampak diselimuti oleh kabut. Hal itu menjadi penanda bahwa di sana ombak mulai tinggi. Tentu saja akan menjadi sia-sia apabila mereka tetap memaksa untuk turun melaut.
Mereka mengatakan, apabila cuaca sedang bagus maka mereka akan turun ke laut dari pukul 8 pagi dan kembali ke darat pada pukul 9 malam. Mereka akan melaut sejauh enam mil dengan menggunakan perahunya untuk memancing tuna yang berada di laut lepas.
Pancing akan diturunkan ke tengah laut dengan menggunakan beberapa ikan kecil sebagai umpannya. Kadang kala ada ikan tuna yang bersembunyi di balik perahu karena mereka melindungi diri dari predator mereka, salah satunya adalah ikan marlin.
Ikan marlin. Foto: Wikimedia commons
Pernah suatu ketika perahu mereka terbelah dan hancur berkeping-keping saat ikan marlin yang berukuran lebih dari dua meter dan perkiraan bobot sekitar lebih dari 300 kilogram menabrak perahu mereka.
ADVERTISEMENT
Ikan tuna yang menjadi mangsa ikan marlin sedang berusaha meloloskan diri dari kejaran dan bersembunyi di bawah perahu Kadir dan kerabatnya. Dengan bobot tersebut mudah saja bagi ikan itu untuk menghancurkan perahu mereka yang kecil dan terbuat dari kayu. Kejadian ini terjadi beberapa bulan yang lalu.
Beruntung tidak ada satu orang pun yang terluka pada saat kejadian tersebut. Tidak dapat dibayangkan apa jadinya bila ikan tersebut mengenai salah satu dari mereka. Mengingat ikan marlin memiliki mulut yang tajam seperti pedang. Mulut ikan marlin bahkan dapat membuat perahu bocor.
Mereka sempat terapung-apung di lautan dengan hanya bertahan pada serpihan kayu. Untuk berenang hingga mencapai pulau hampir tidak mungkin karena jarak yang cukup jauh dari daratan.
ADVERTISEMENT
Kala itu hari sangat panas dan mereka sudah mulai dehidrasi. Beruntung, ada perahu lain yang melintas dan akhirnya bisa membantu untuk menyelamatkan mereka.
Sebagai nelayan pencari tuna yang melaut dari pagi hingga malam, panas terik matahari sudah menjadi santapan setiap hari dan tidak lagi menjadi tantangan yang berat bagi mereka. Akan tetapi bagi mereka, ikan marlin merupakan salah satu tantangan tersendiri.
Selain berpotensi melahap pancingan mereka pada saat ditarik, mulut ikan marlin juga dapat melubangi perahu mereka saat ikan tersebut menangkap ikan tuna yang bersembunyi di bagian bawah perahu.
Namun, kejadian hancurnya perahu yang mereka gunakan tersebut tidak membuat mereka gentar untuk melaut. Mereka menjadikan kejadian tersebut sebagai suatu pengalaman yang sangat berharga dan tak terlupakan. Bahkan, kejadian ini membuat mereka mengingat kebesaran Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, kejadian ini tidak akan menjadi kejadian buruk terakhir yang mereka alami karena laut menyimpan beribu misteri dan kejutan. Mereka sadar nantinya akan ada berbagai hal lain yang dapat mempertaruhkan nyawa mereka di tengah samudera.
Itulah risiko yang harus mereka pahami dan hadapi. Mereka merasa ini adalah suatu kebanggaan tersendiri agar dapat meneruskan kebudayaan leluhur sebagai nelayan tradisional dan mengeksplorasi berbagai sudut perairan dan kekayaan laut Nusantara walau bukan dengan perahu modern.
Mereka juga merasa bahagia ketika mampu mencukupi permintaan ikan di pasar dan yang terutama adalah dengan melaut, mereka dapat menafkahi keluarganya, walau berada jauh dari rumah di tanah Mandar.
Oleh: Deborah Estefanus