Trump dan Ekonomi Indonesia

Nicha Muslimawati
Editor kumparanBISNIS
Konten dari Pengguna
22 Januari 2017 20:03 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicha Muslimawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Donald J. Trump akhirnya resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45. Pada saat kampanye, Trump banyak melontarkan gagasan yang berseberangan dengan presiden sebelumnya, termasuk di bidang ekonomi.
ADVERTISEMENT
Seperti pengurangan pajak penghasilan pribadi dan korporasi, penerapan kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis, dan peningkatan tingkat upah buruh.
Trump berencana untuk memangkas pajak pribadi dari tujuh golongan dengan tarif antara 10-40 persen menjadi tiga golongan dengan tarif 12-33 persen. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat AS.
Sementara pemotongan pajak korporasi dari 35 persen menjadi 15 persen ditujukan untuk mendorong masuknya laba ditahan perusahaan AS yang selama ini disimpan di negara lain untuk menghindari pajak. Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan investasi sehingga dapat mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih besar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan kebijakan Trump tersebut dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi beberapa negara, termasuk Indoensia. 
ADVERTISEMENT
Dari sisi fiskal, potensi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) akan menyebabkan biaya penerbitan obligasi pemerintah Indonesia semakin mahal. Kebijakan Menurut Faisal, kebijakan Trump yang ekspansif nantinya tidak hanya akan meningkatkan jumlah utang yang harus dibiayai dengan obligasi, namun juga akan mendorong kenaikan inflasi. 
"The Fed bahkan telah berencana menaikkan suku bunga acuannya hingga ke level 1,75 persen pada akhir 2017. Implikasinya, imbal hasil obligasi AS juga akan semakin 
meningkat. Ini akan mendorong meningkatnya aliran modal dari negara-negara lain, termasuk indonesia, nantinya yield obligasi pemerontah akan semakin tinggi, tentu akan membebani APBN kita," ujar Faisal kepada kumparan, Sabtu (21/1).
Dari sisi moneter, volatilitas rupiah yang berpotensi lebih tinggi tahun ini akan mendorong Bank Indonesia (BI) menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat. Aliran modal keluar dari Indonesia dinilai berpotensi meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, ketika tingkat suku bunga the Fed masih cukup rendah.
ADVERTISEMENT
"Hal ini tentu saja akan berdampak pada meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada saat The Fed menaikkan suku bunga acuan (FFR) 25 basis poin menjadi 0,75 persen dibulan Desember 2016, meskipun suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap dipertahankan pada level 4,75 persen, nilai tukar rupiah mengalami depreasiasi 59 poin dari Rp13.367 per dolar AS menjadi Rp13.426 per dolar AS pada 16 Desember 2016," jelasnya.
Faisal juga mengatakan, jika melihat track record kebijakan BI selama ini, BI 7 Day Repo Rate diperkirakan belum akan bergerak turun, bahkan berpotensi untuk meningkat. Apalagi, potensi kenaikan inflasi tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. 
Sementara dari sisi perdagangan, kebijakan AS yang berpeluang semakin protektif tidak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia ke negara Paman Sam tersebut. 
ADVERTISEMENT
"Selama ini AS memang menjadi mitra dagang utama Indonesia dengan nilai total perdagangan pada Januari-Oktober 2016 mencapai 19.27 miliar dolar AS. Namun, produk-produk ekspor andalan Indonesia ke AS, selain merupakan produk-produk yang berbasis komoditas yang kompetitif seperti karet, udang dan furniture, juga merupakan produk manufaktur padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, seperti tekstil dan produk tekstil serta alas kaki," jelasnya.