Analisis Delik Pasal Korupsi Dalam Studi Kasus Penyelenggara Negara 2004-2019

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2021 12:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kasus Delik Pasal Korupsi Penyelenggara Negara 2004 - 2019
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kasus Delik Pasal Korupsi Penyelenggara Negara 2004 - 2019
ADVERTISEMENT
Fraud Triangle Theory Dalam Pelaksanaan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi bukan lagi hanya sebuah tindak pidana biasa, namun bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan ini berdampak pada ketidakpercayaan publik baik kepada pemerintah maupun sektor swasta. Korupsi telah menjadi musuh bersama dan secara global telah disepakati bahwa korupsi sebagai masalah serius yang mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan lembaga-lembaga dan nilai demokrasi, nilai etika dan keadilan, mengancam pembangunan berkelanjutan, dan supremasi hukum.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang tindak pidana korupsi, maka erat kaitannya dengan penyelenggara negara atau yang lebih kita kenal dengan istilah ‘pejabat’. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam rentang waktu tahun 2004 hingga Juli 2019, terdapat 114 orang kepala daerah terjerat kasus korupsi. Dalam rentang waktu tersebut pula, semakin banyak kepala daerah yang terjerat korupsi dengan mayoritas kasus suap dan gratifikasi.
Sumber: Data Statistik Komisi Pemberantasan Korupsi RI
Sumber: Data Statistik Komisi Pemberantasan Korupsi RI
Apabila kita meninjau dari sisi yuridis dan sosiologis, tingginya tingkat tindak pidana korupsi dalam berbagai perkara yang dilakukan oleh pejabat negara, bukanlah ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan tentang korupsi, atau bahkan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Namun, ini adalah tindakan kesengajaan yang memang murni mencari celah untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan individu. Dalam teori fiksi hukum, ketika suatu peraturan sudah ditetapkan atau diundangkan maka pada saat itu pula setiap orang dianggap sudah tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan ini berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang tidak akan dimaafkan atau tidak dapat membebaskannya dari jeratan hukum (ignorantia jurist non excusat). Maka tidak ada alasan bagi kita untuk terhindar dari hukum di mana negara kita menganut teori fiksi hukum.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan perspektif yuridis di Indonesia, jenis-jenis korupsi adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yakni yang terakhir sebagaimana diatur dalam UU No. 20/2001 tentang Perubahan UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2001 Korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi 7 jenis, yakni:
1.Kerugian Negara
Delik yang terkait dengan kerugian negara yaitu pasal 2 ayat 1 dan pasal 3
2.Penyuapan
Delik pemberian sesuatu/janji kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara diatur dengan beberapa pasal di antaranya Pasal 5 (1) a, b; Pasal 13; Pasal 5 (2); Pasal 12 a, b; Pasal 11; Pasal 6(1)a, b; Pasal 6(2) serta Pasal 12 c, d.
ADVERTISEMENT
3.Gratifikasi
Diatur dalam Pasal 12B jo Pasal 12C
4.Penggelapan dalam Jabatan
Diatur dalam Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 a,b,c
5.Pemerasan
Diatur dalam pasal 12 huruf e,f,g
6.Perbuatan Curang
Diatur dalam pasal 7(1) a,b,c,d; Pasal 7 (2); Pasal 12 h
7.Konflik kepentingan dalam Pengadaan
Diatur dalam pasal 12 huruf i
Lantas, bagaimana Fraud Triangle Theory memandang perbuatan korupsi?
Dalam teorinya, perbuatan korupsi terjadi karena adanya 3 faktor yaitu, rasionalisasi (pembenaran), opportunity (kesempatan), pressure (tekanan). Rasionalisasi diartikan bahwa pelaku melakukan tindakan tersebut karena menganggap bahwa ada nilai yang dianggap benar dalam dirinya, seperti ingin membahagiakan orang tua, ingin membangun rumah, ingin melunaskan utang - utangnya, atau pembenaran lainnya. Kesempatan (opportunity) dapat diartikan sebagai perbuatan yang mengambil celah untuk mengisi kepentingan individunya terhadap kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Kesempatan ini digunakan orang yang nilai hidupnya hanyalah mengejar kekayaan karena nurani dirinya tidak juga mampu mengendalikan nafsunya. Hal ini terjadi karena pengawasan (internal control) suatu organisasi dan masyarakat lemah. Serta adanya tekanan (pressure) baik dari internal maupun eksternal. Tekanan yang dimaksud adalah adanya dorongan dari dalam sendiri yang membuat pelaku membenarkan tindakan tersebut atau dorongan keluarga yang membuat perbuatan tersebut benar.
Saat ini, apa tindak lanjut program yang dilaksanakan KPK?
KPK melaksanakan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2021, sebuah survei tahunan yang dilakukan terhadap Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) untuk memetakan dan memonitor risiko korupsi. Kegiatan berlangsung sejak Agustus hingga bulan Oktober 2021.
Dalam pelaksanaan tahun ini, KPK menunjuk PT MarkPlus, Inc. sebagai pihak ketiga untuk melakukan pengumpulan data dalam bentuk survei secara daring dan observasi lapangan terhadap 639 K/L/PD peserta SPI 2021. Adapun yang menjadi responden survei ini adalah para pegawai K/L/PD, pengguna layanan dalam hal ini masyarakat/perusahaan swasta dan para narasumber ahli dari berbagai lembaga pemerintah, asosiasi, akademisi, LSM, jurnalis, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian penulis berharap, dengan adanya Survei Penilaian Integritas KPK ini, belajar dari studi kasus yang dilakukan oleh pejabat negara dalam rentan 2004-2019, kita dapat mengidentifikasi sektor mana saja yang masih rentang terhadap adanya upaya tindak pidana korupsi, serta mempersempit ruang dan kesempatan bagi para penyelenggara negara untuk meloloskan perbuatannya.