Asumsi Nelangsanya Argentina di Piala Dunia 2018

Daniel Simanullang
Pandit abal2 Sepak Bola , Tarot Reader, Madridista, Pemain DOTA 2 role Support :),
Konten dari Pengguna
25 Juni 2018 8:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Sampaoli via pinterest)
Faktor Sampaoli
Beberapa fans sudah mewanti-wanti sejak Sampaoli masuk. Dia akan dihadapkan pada sikap "otoriter" Messi dalam aspek taktik dan strategi tim. Sampaoli selain menerapkan formula yang pas untuk Argentina, ia juga dituntut meredam pengaruh Messi di ruang ganti dalam keputusan taktik dan strategi yang bermuara pada sentimen pribadi.
ADVERTISEMENT
Bukan barang yang baru lagi bila rumor Dybala hanya main dari bangku cadangan dan tidak dipanggilnya Icardi berasal dari pengaruh seorang Messi.
Kejadian ini makin menguatkan kalau Sampaoli cuma jadi 'pajangan' keberadaan Sampaoli hanya untuk membuktikan bahwa Argentina punya pelatih, toh keputusan banyak yang terlihat ditentukan oleh Messi.
Menjelang perhelatan Piala Dunia tahun 2018, Sampaoli mengeluarkan statement yang menurut saya di luar nalar “Messi pada Piala Dunia 2018 akan menjadi seperti Maradona pada gelaran Piala Dunia tahun 1986.”
Sampaoli Keblinger
Pernyataan yang sungguh sangat miris datang dari pelatih, seolah dia berlagak buta akan apa yang terjadi dan bagaimana komposisi yang menyokong Maradona pada 1986.
Maradona itu didukung oleh komposisi seimbang nan luar biasa untuk memfasilitasi kemampuannya di tahun 1986, pelatih menginstruksikan pemain harus ‘melindungi' Maradona. Jika ingin tetap dalam tim, para pemain harus mengikuti apa yang disampaikan oleh pelatih Argentina kala itu.
ADVERTISEMENT
Tidak usah terlalu jauh untuk membawa filosofi Billardo ke skuad asuhan Sampaoli, hal sederhana soal komposisi pemain saja dia tidak kompeten untuk memilih. Ingin membuat Messi seperti Maradona, tetapi penyokong Messi hanya sekaliber Mezza, Savio, atau Marcado.
Maradona itu disokong oleh Pasarella, Valdano, Giusti, dan nama-nama lain yang mampu memberi keseimbangan.
Di sisi lain, Sampaoli juga ingin menerjang anggapan orang kalau dia hanya “pajangan”. Dia mempersiapkan taktik, namun tidak memiliki ketetapan dalam menemukan pakem yang tepat untuk memfasilitasi Messi, terlihat dari informasi yang saya kutip dari ciutan salah satu pandit sepak bola Indonesia, Pangeran Siahaan.
Samapoli Mecoba Menyelamatkan Muka
“Dari Jonathan Wilson, soal Messi dan Sampaoli. Messi sudah bilang dia enggak suka main 3-4-3. Sama Sampaoli dipake juga kemarin. Pantesan pas national anthem Messi nampak penuh dengan nestapa.”
ADVERTISEMENT
(dikutip dari ciutan Pangeran Siahaan)
Pada pertandingan melawan Kroasia, Messi terlihat kalap dengan apa yang harus ia lakukan di lapangan, emosinya meledak-ledak dan wajar mengingat ini peluang terakhir dia untuk meraih major trofi. Banyak pandit yang memprediksi bahwa Argentina tidak akan lebih baik di bawah kendali Sampaoli. Dia cuma hanya mau "gendong" Messi dan bahkan rela untuk berpaling dari kutub sepak bolanya sendiri yang sudah dicap atraktif dan penuh keseimbangan, tetapi bingung dan tidak tahu harus bagaimana.
Jika dipikir-pikir siapa sih pelatih yang tidak jadi 'keset' Messi? Sejak dia dilabeli untouchable di skuad utama Argentina? Hampir semua pelatih harus berbagi ego dengan Messi. Dulu saya berpikir hanya Sabella yg ia abaikan saat talk team, ternyata masih ada yg paling parah, Sampaoli.
ADVERTISEMENT
Sampaoli terkena 'tulah' pengingkaran atas waham sendiri. Penganut waham 'menottisme' kok tega teganya berpaling ke kubu waham 'Billardisme' dan paling parahnya, Sampaoli tidak meramunya dengan tepat sebagaimana harusnya waham yang coba ia ikuti. Pada sisi lain, Sampaoli dihadapkan pada ketidakmampuan mengimbangi pengaruh anak didik.
Komposisi pemainnya Argentina apalagi di lini tengah terlalu mengandalkan Messi. Kasih bola ke Messi lalu berharap ia selesaikan, emang dia zidane apa? Bahkan Zidane pun butuh kawan-kawannya sekalipun foklore timnas Prancis itu hadir, “Berikan saja bola kepada Zidane lalu biarkan dia mengurusnya”.
Ada ruang ketidakpercayaan Messi pada kompatriotnya sejak melangkah ke lapangan hijau. Dia kapten yang cocok jadi pembeda papan skor, bukan jadi sosok yg bisa moodboster team atau support team kala down dan bukan pribadi yang pandai dalam transfer knowledge taktik pelatih ke rekan-rekan.
Messi Cs via metro.com
ADVERTISEMENT
Keputusan Radikal dan Evaluasi PSSI-nya Argentina
Dua gelar Piala Dunia milik Argentina dibarengi dengan hal-hal radikal yang tidak boleh dikompromikan. Menotti parkirkan dan rumahkan Maradona meskipun publik menyayangkan keputusan Menotti tersebut mengingat Maradona baru nyumbang medali emas bagi Argentina di Olimpiade Tokyo. Ironisnya sang master yang mempromosikan dan populerkan Maradona ke kancah dunia.
Maradona diparkirkan, Ardilles, Ricky Villa, dan Kempes serta pemain lainnya yang mampu dituntut untuk bermain tidak sekedar menang, tetapi juga indah merupakan pengejawantahan seorang Menotti dalam sepak bola dengan sentuhan estetika dalam permainan sepak bola.
Di tangan Billardi, semua harus mengerti seperti apa maunya Maradona. Boleh dikatakan pemain lain bersatu padu untuk membuat Piala Dunia 1986 jadi panggung Maradona. Itu misi dan visi Billardi.
ADVERTISEMENT
Mau menuruti kemauan Billardi, keberadaan di timnas terjamin. Bagaimana jika tidak mau, ya yang bersangkutan dipersilahkan pergi. Bahkan pernyataan itu seperti mantera yang langsung langsung menggembosi gaya bermain pemain, salah satunya Valdano yg penganut waham Menotti.
Fase itu begitu mengerikan dan sarat kritik di tanah Argentina. Billardi masa bodo dan tebal kuping akan hal itu. Mau apapun sejarah yang dibawa oleh publik Argentina seoal sepak bola pragmatis ala Billardi dan juga jejak kotor Billardi di Indepediente yang dilabeli tim sepak bola paling kotor, Billardi masa bodo dan hal radikal itu membawa trofi kedua bagi Argentina.
Tidak ada yang salah dari Messi, salah dan benar itu sebenarnya soal cara pandang kita dalam menyikapi bagaimana Messi dan Argentina. Argentina perlu berbenah mulai dari kutub sepak bola yang harus dianut. Banyak pelatih Argentina yang mentereng dan tanpa kompromi dengan waham yang ia anut, sebut saja Diego Simone yang pragmatis dan Bielsa dan Pochetino yang estetis.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga dibarengi dengan bagaimana seharusnya PSSI-nya Argentina sadar diri dalam mengelola sepak bola, bukan rahasia umum lagi jika lembaga itu dalam beberapa tahun terakhir berkelakuan tidak ada bedanya dengan PSSI sendiri. Para pemain hanya jadi sumber mata uang tanpa pernah merasa depresi soal prestasi seperti Angel Di Maria yang harus sampai ke psikiater.