Edisi Legenda : Nelangsanya Toni Pogacnik akan Mental Indonesia

Daniel Simanullang
Pandit abal2 Sepak Bola , Tarot Reader, Madridista, Pemain DOTA 2 role Support :),
Konten dari Pengguna
6 September 2017 22:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Edisi Legenda : Nelangsanya Toni Pogacnik akan Mental Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Toni Pogacnik yang lebih suka ambil aksi dalam latihan (soccerindo.com)
ADVERTISEMENT
Timnas Indonesia U19 berada pada zenith pembahasan sepak bola di tanah air. Keberhasilan mengalahkan Myanmar dalam tajuk AFF U19 2017 memberikan harapan baru bagi sepak bola Indonesia. Banyak hal yang dapat dipetik dari momen tersebut, namun seperti pepatah lama “Tak ada pesta yang tidak usai”, pesta dan euphoria kemenangan Timnas muda selalu meninggalkan kesan dan juga mengundang rasa was-was bagi publik dan pecinta sepak bola Indonesia.
Seperti hal nya tim senior, tim muda Indonesia juga memiliki masalah-masalah klasik dari waktu ke waktu yang membuat harapan dan ekspetasi akan capain prestasi sepak bola Indonesia ini menjadi menyedihkan dari waktu ke waktu.
Jangan heran bila sebuah folklore tentang Timnas Indonesia berkembang di tengah masyarakat yakni ,
ADVERTISEMENT
“Hebat kala muda, namun melempem kala di tim senior karena nyosis”
Hal ini merujuk pada kiprah timnas muda Indonesia yang begitu luar biasa, namun kehilangan taji kala di tim senior karena terlalu banyak mengikuti hal-hal berbau publisitas dan lemah secara mental.
Sangat menarik bila menelisik masalah-masalah di tubuh Timnas Indonesia di jenjang umur termasuk di tim senior. Dari waktu ke waktu ada saja masalah yang timbul mengenai timnas Indonesia. Ini akan saya coba renungi dalam era pelatih yang dilabeli sukses kala menangani timnas Indonesia.
Era Toni Pogacnik adalah Manifestasi Masalah Abadi Timnas
Pelatih yang mungkin merupakan pelatih paling sukses yang pernah menangani timnas ini merupakan salah satu pelatih jempolan dan memiliki reputasi mentereng. Meskipun tidak memberikan gelar utama namun curiculum vitae dan standard yang diberikannya kala menangani timnas mampu menjadi sebuah parameter bagaimana Timnas Indonesia dikatakan berhasil.
ADVERTISEMENT
Lewat hal-hal mendasar yang secara langsung diberikan oleh Tony lewat aksi di lapangan kala latihan,Tony dan timnas kala itu berhasil meraih tiket semifinal pada Asian Games 1954 di Manila, menahan imbang Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, dan merebut medali perunggu pada Asian Games 1958 di Tokyo.
Sebagaimana pemain produk-produk Eropa Timur di masanya, Tony dalam melatih anak didiknya menerapkan dalam sistem kepelatihan sepak bola ala dirinya adalah sepak bola yang menuntut kecepatan dan kemampuan berpikir yang tepat dalam bermain sepak bola. Maklum kala itu dan mungkin sampai sekarang pemian sepak bola Indonesia memang hebat secara individu namun tidak cair ketika bermain secara tim dan kecerdasan adalah elemen penting kala memainkan sepak bola secara tim.
ADVERTISEMENT
Semua permasalahan di atas mampu diatasi oleh Tony dan berhasil dicapai oleh timnas kala itu sesuai dengan standard yang diharapkan Tony. Hasilnya adalah capaian di atas tadi.
Jadi apa masalah yang dihadapi oleh Toni ketika semua yang diharapkannya dalam diri Timnas Indonesia kala itu sudah dapat diatasi?
MENTAL, itulah salah satu masalah klasik yang mengakar dalam diri Timnas, di era Tony Pogaknic, pemain-pemain yang ia bimbing ternyata tidak memiliki kematangan mental. Dapat dimengerti bila keadaan sulit kala itu membuat orang mampu mengambil jalan pintas demi uang.
Skandal suap dan bermain dengan bandar judi melawan Vietnam Selatan pada awal tahun 1962 menjadi tabir terbukanya betapa rapuhnya mental pemain Indonesia yang ia bina ketika dihadapkan kepada uang. Pertandingan melawan Malmoe, Thailand, Yugoslavia Selection,dan Ceko Combined juga menjadi ajang pemain timnas kala itu mendulang pundi-pundi uang dari bandar bola.
ADVERTISEMENT
Hancur lah hati Toni melihat hal ini sampai-sampai ia menolak untuk menangani timnas lagi, namun pengajuan pengunduran dirinya ditolak pemerintah kala itu. Pengunduran dirinya baru diterima ketika cidera lutut menimpanya saat serangkaian tur ke RRT kala itu .Sebagai pelatih yang merupakan pribadi yang melakukan pendekatan lewat praktik yang Toni lakukan sendiri di lapangangan, cidera lutut itu menjadi jalannya mengakhiri karier kepelatihannya di timnas. Selanjutnya ia melanjutkan karier manajerial di Grasshopper-Club Zürich.
Mental merupakan salah satu elemen dasar yang menjadi kelemahan pemain Timnas Indonesia. Ketidaksiapan mental akan perubahan metode kepelatihan baru, ketidakmatangan mental kala tidak mampu membedakan pribadi sebagai atlit atau public figure. Belum lagi ditambahkan dengan intervensi pejabat-pejabat tinggi di PSSI yang seperti memperjualbelikan wewenang dan juga pengaruh demi pemilihan pemain. Hal-hal ini bukan merupakan sesuatu yang baru lagi di timnas.
ADVERTISEMENT
Mungkin kisah ini menjadi pembelajaran akan apa yang perlu dibenahi yang merupakan masalah klasik sepak bola Indonesia. Akar masalah ini jika belum bisa dituntaskan akan menguatkan impian kalau berlaga di Piala Dunia ataua merajai Asia hanya wacana belaka. Belum lagi tetek bengek masalah di tubuh PSSI yang seriuh komentator televisi Indonesia kala Indonesia bermain. Ah sudahlah …