Kala Sebuah Standar Menjadi Hal yang Berbahaya

Daniel Simanullang
Pandit abal2 Sepak Bola , Tarot Reader, Madridista, Pemain DOTA 2 role Support :),
Konten dari Pengguna
19 Juli 2017 8:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kala Sebuah Standar Menjadi Hal yang Berbahaya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alumni La Masia yang luar biasa (edwindianto.wordpress.com)
Seorang manusia pasti memiliki standar untuk memposisikan suatu hal yang layak kepada dirinya. Namun, sebelum kita membahas topik utama ada baiknya kita pahami dulu apa itu arti kata standar.
ADVERTISEMENT
Dalam KBBI yang diambil dari kbbi.co.id, kata standar memiliki 2 pengertian dasar yakni
1) stan·dar n 1 panji-panji; bendera (sbg lambang): -- Kerajaan Inggris; 2 alat penopang yg berkaki (untuk menaruh bendera, menyangga sepeda, penopang alat potret, dsb);
2) stan·dar 1 n ukuran tertentu yg dipakai sbg patokan: petugas dr instansi itu menguraikan -- gedung sekolah yg baik; 2 n ukuran atau tingkat biaya hidup: -- hidup di kota Medan lebih tinggi dp -- hidup di kota Bandung; 3 n Dag sesuatu yg dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sbg ukuran nilai (harga): negara-negara tertentu memakai -- emas; 4 a baku: bahasa yg dipakai pd surat kabar tertentu dapat dianggap telah --
ADVERTISEMENT
Jadi, dari dari arti di atas suatu standar adalah sebuah ukuran atau lambang yang digunakan sebagai patokan.
Misalnya, patokan wanita cantik secara umum bagi masyarakat kita adalah berwajah putih mulus atau berkulit kuning langsat, langsing, rambut lurus, dan lain-lain. Hal ini adalah standar yang biasa berdasarkan apa yang sering dijejalkan oleh media pada masyarakat sehingga terbentuk suatu paham kalau cantik itu harus seperti yang di atas atau yang sering digambarkan media lewat produk-produk kecantikan. Semua itu terdengar sah, namun pada dasarnya keliru sebab parameter cantik itu adalah sesuatu yang relatif.
Sepak bola juga memiliki suatu standar untuk digunakan sebagai patokan. Dalam hal ini, yang kita bahas adalah bagaimana standar pemain muda dari suatu klub untuk diorbitkan dan layak berkiprah di tim utama dapat menjadi sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat masa lalu, sebuah klub berdiri dan berprestasi secara umum dibarengi dengan pengelolaan para pemain muda hal ini biasanya untuk mengurangi biaya operasional klub, juga mengurangi biaya pada kemudian hari karena mengontrak pemain luar yang mahal.
Di sisi lain, jika klub itu beruntung, pihak klub dapat memanen pundi-pundi uang untuk digunakan sebagai biaya operasional dan juga pengembangan pemain muda ke depannya lewat penjualan para pemian yang berbakat kepada klub-klub besar.
Klub membuat sebuah standar kelayakan seorang pemain dari jenjang usia tertentu untuk menembus kelas di atasnya kemudian menembus tim utama yang menjadi tujuan akhir para pemain-pemain akademi. Seiring perkembangnya waktu tidak semua pemain di akademi dapat memenuhi standar untuk layak membela tim utama dan hal ini merupakan hal yang wajar.
ADVERTISEMENT
Standar yang Berbahaya
Raul Gonzales, the legend (Foto: Footballs Top Ten)
zoom-in-whitePerbesar
Raul Gonzales, the legend (Foto: Footballs Top Ten)
Sebuah klub memiliki standard tersendiri terhadap kiprah para pemain mudanya agar masuk ke tim utama, jika tidak memenuhi hal tersebut sang pemain akan dipersilakan pergi ke klub lain yang lebih mengaparesiasi kemampuan sang pemain.
Sebut saja La Fabrica (The Factory), akademi sepak bola Real Madrid yang pada umumnya dikenal sebagai penghasil pemain-pemian sepak bola yang melanglangbuana di tanah Eropa, sebut saja Juan Mata dan Canizares yang sukses di Valencia. Ada pada suatu momen mereka menghasilkan pemain-pemian besar dan luar biasa di zamannya seperti Guti, Raul, Casillas, Sanchis, dan Butragueno.
Nama-nama beken di atas karena kiprah dan prestasinya, pada kemudian hari menjadi sebuah standar pemain muda yang layak dijadikan membela dan menembus tim utama. Tidak jarang pada tahun-tahun selanjutnya ada julukan next Butragueno yang pernah melekat pada Raul, lalu Raul membuat legacy tersendiri sehingga timbul sebutan next Raul yang sempat melekat pada diri Mayoral.
ADVERTISEMENT
Namun, kegetolan Real Madrid membeli pemain bintang karena lulusan akademinya dianggap tidak memenuhi standar untuk membela tim utama dan juga jiwa komersil pihak manajemen klub. Ada suatu masa jika akademi Real Madrid dianggap sebagai penghasil pemain-pemian sepak bola jadi. Artinya adalah, layak bermain sepak bola bagi klub lain.
Belakangan ini manajemen Real Madrid sudah tobat akan hal itu karena melihat potensi yang diberikan oleh nama-nama pemain muda seperti Carvajal, Florente, Morata, Vazquez, dan teranyar Vallejo. Hal ini tidak lepas dari kiprah dan kebijakan yang dilakukan oleh manajer Real Madrid saat ini, yakni Zidane, yang notabene pernah menangani tim muda Real Madrid dalam beberapa saat.
Bagaimana dengan La Masia milik Barcelona yang digadang-gadang menjadi akademi sepak bola terbaik dunia? Di masa lalu akademi La Masia begitu mentereng dan puncaknya adalah ketika Barcelona dihuni oleh lulusan akademi ini dan merajai Spanyol, Eropa, dan dunia. Valdes, Puyol, Pique, Busquest, Thiago, Xavi, Fabregas, Iniesta, Pedro, dan Messi adalah penghuni skuad yang disebut generai emas La Masia yang mana mereka dimanajeri oleh salah satu alumni terbaik La Masia, yakni Pep Guardiola.
ADVERTISEMENT
Itu adalah sedikit nama-nama beken yang menggila dalam suatu masa di kancah sepak bola dunia dan memberikan suatu penilaian kalau akademi La Masia adalah yang terbaik di dunia sehingga skuad di atas disebut generasi emas.
Namun, belakangan yang terjadi adalah mandeknya pemain muda potensial dari akademi ini karena banyaknya pemain yang pergi daripada berhasil menembus skuad utama. Hal lain juga kebijakan transfer presiden Barcelona saat ini, Josep Maria Bartomeu, yang diisukan malas memakai dan mengembangkan pemain akademi sebagai mana dengan presiden-presiden sebelumnya. Musim 2016-2017 hanya sedikit yang mampu menembus skuad utama, yang terbaru mungkin hanya Sergi Roberto yang layak memenuhi ekspetasi akan standar yang diletakkan generasi emas sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan La Fabrica yang alumninya jika tidak memenuhi maka mereka langsung pergi ke tim lain yang mampu mengamankan jasanya, maka tidak demikian dengan La Masia. Pemain muda akan terus menerus berjuang untuk menembus tim utama, dan hal ini sepertinya sudah menjadi kewajiban sejak generasi emas di atas mampu menghentak dunia dengan kiprah dan prestasinya. (Mungkin Anda ingat apa yang terjadi dengan Tsubasa kala mendarat di FC Catalunya. Itulah DNA utama pemain akademi La Masia)
Kisah "miris" pernah terjadi pada seorang Arteta yang berjuang demi masuk skuad utama dan rela dipinjamkan kesana kemari, sebelum akhirnya menyerah dan kemudian Arteta mengubur mimpinya, lalu dilepaskan oleh Barcelona yang mana sang pemain ini mapan di Everton. Namun, tidak sedikit alumni La Masia di usia muda pergi menimba ilmu dan di kemudian hari kembali, seperti apa yang terjadi pada Jordi Alba, Pique, dan Fabregas, atau mungkin Bellerin di musim depan. Ada pula yang tidak kembali karena sudah mapan di klub saat ini dan menganggap dirinya tidak mampu bersaing dengan nama-nama yang menghuni skuad utama, seperti yang terjadi kepada Mauro Icardi.
Kala Sebuah Standar Menjadi Hal yang Berbahaya (2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Masalah dua klub yang disampaikan di atas adalah penerapan standar. Standar memang wajar sebagai patokan untuk mencapai tujuan. Standar juga dari waktu ke waktu akan meningkat sering dengan bayang-bayang kejayaan masa lalu dan juga tingkat rasa puas manusia yang tidak ada habisnya.
Jadi, dapat dikatakan jika pada akhirnya penetapan standar dalam sebuah akademi sepak bola mampu menjadi bumerang jika tidak dikaji dengan matang karena mampu merusak karier pemain dan juga eksistensi klub.
Kita layak berkaca pada apa yang terjadi dengan Ajax Amsterdam. Klub ini di masanya dianggap rumah bagi pemain muda terbaik dunia karena karena nama-nama beken seperti Cruyff, Davids, Seedorf, Rezieger, Litmanen, Kulivert dan lain-lain. Namun, setelahnya klub ini seperti kehilangan taji dan filosofi sebagai rumah pemian muda terbaik dunia. Semuanya berakar pada standar yang menjadi suatu hal yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Jika ingin berkaca pada akademi saat ini, paling aman standarnya dalam memfasilitasi karir pemain dan juga menjaga eksistensi klub di kompetisi yang mereka ikuti, mungkin kita dapat ambil contoh terbaik: klub Southampton. Klub asal Inggris ini konsisten dalam menjaga ekesistensinya sebagai salah satu klub di divisi utama Liga Inggris dan juga konsisten menghasilkan pemain-pemian muda berbakat yang menguntungkan keungan klub.
Intinya adalah, penerapan standar oleh klub dalam melihat para pemain mudanya dan juga kepentingan klub itu sendiri.