RUU Permusikan dan Kisah Angkatan Pudjangga Baru

Daniel Simanullang
Pandit abal2 Sepak Bola , Tarot Reader, Madridista, Pemain DOTA 2 role Support :),
Konten dari Pengguna
6 Februari 2019 20:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
                   Sebuah Kios Balai Pustaka di Poerwokerto pada tahun 1928 ( pinterest)
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah Kios Balai Pustaka di Poerwokerto pada tahun 1928 ( pinterest)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masalah RUU Permusikan yang riuh belakangan ini sedikit banyak mengingatkan saya pada saat kuliah dulu. Masih saya ingat betul sebuah pergulatan ego dan pendapat dalam diskusi yang dibangun oleh dosen pengampu mata kuliah Sastra Indonesia 2.
ADVERTISEMENT
Jika pada kasus ini mereka yang anti-RUU Permusikan panji-panjinya diikoni oleh musisi seperti Jerinx (JRX) Superman Is Dead (SID) berhadapan dengan yang pro dengan ikonnya adalah Anang, maka oleh dosen tersebut kami disuruh untuk memilih berada di jalur mana kami memosisikan diri.
Tidak ada wilayah abu-abu dalam diskusi tersebut seperti yang dihadapi oleh Anji dalam RUU permusikan (seperti yang dituduhkan netizen) karena pilihan kami harus ada pada kubu Balai Poestaka atau Pudjangga Baru. Debat sangat seru bahkan terdengar emosional namun dibarengi dengan sebuah data dan argumen yang bisa membolak-balik nalar dan juga pilihan yang sudah dibuat lebih dulu.
Tidak ada benar dan salah dalam debat yang kami bangun, yang ada adalah sebuah pengakuan jika pada akhirnya lawan berdebat seperti terbodoh-bodoh dan setuju dengan argumen kita meskipun kebenarannya susah untuk diverifikasi. Paling epik adalah ketika salah satu lawan debat pindah haluan karena argumen kita. Oke cukup sekian kisahnya.
ADVERTISEMENT
Kembali pada RUU Permusikan yang sedikit banyak saya lihat memiliki kemiripan pada kemunculan Angkatan Pujangga Baru yang diinisiasi oleh 4 serangkai, yakni Sutan Takdir Alisyahbana, Amrijn Pane, Hamka, dan Tengku Amir Hamzah.
Kisah kehadiran Balai Pustaka yang belakangan dikenal dengan angkatan Siti Nurbaya (merujuk pada kisah roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang mampu meresume apa dan bagaimana ciri angkatan Balai Pustaka pada masanya) disebabkan para Bumiputra telah terpelajar karena politik Balas Budi yang digaungkan oleh para kaum etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft.
Kaum etis mengkritik bagaimana pemerintah Belanda harus bersikap di daerah jajahannya lewat tulisan-tulisan Van Deventer yang merupakan salah satu tokoh kaum etis.
Tulisannya melahirkan Trias Van Derventer, yakni irigasi, imigrasi, dan edukasi. Poin edukasi memberikan peluang bagi Bumiputera untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Dengan kemampuan dasar tersebut diharapkan timbul sebuah zona nyaman bagi Bumiputera mengingat jika sudah mampu baca, tulis, dan berhitung akan ditempatkan menjadi pegawai rendah atau golongan priyayi. Oleh pemerintah Belanda, kaum Bumiputera tidak boleh terlalu pintar dan tidak boleh terlalu bodoh.
ADVERTISEMENT
Namanya manusia ada saja kaum yang menabrak batasan-batasan yang dibuat oleh pemerintah berwenang dalam hal ini Belanda. Ternyata ditemukan bahwa kemampuan membaca dan menulis Bumiputera telah membangkitkan golongan terpelajar untuk menggugah teman sebangsanya berjuang dan mengubah nasib dari kelompok yang terjajah menjadi kelompok yang berjuang untuk kemerdekaan lewat tulisan dan buah pikiran dari membaca buku-buku dari luar negeri.
Tidak jarang tulisan mesum yang merusak moral beredar banyak di tengah masyarakat, konon tulisan-tulisan seperti inilah yang disebut dengan roman picisan.
Karena hal tersebut dibuatlah sebuah badan yang melakukan dan mensertifikasi tulisan atau karya seseorang. Itulah yang kita kenal dengan Balai Pustaka yang dikemudian hari dikenal juga sebagai penerbit dan percetakan. Oleh badan tersebut, sebuah karya tulis harus mencerminkan adat ketimuran, kisah cinta yang sedoe sedan, yang mengoeras air mata.
ADVERTISEMENT
Tidak ada ruang bagi kisah-kisah heroik jang mencerminkan pembebasan sebuah bangsa yang ditindas atau juga sosok wanita yang identik dengan emansipasi. Citra perempuan yang harus ditonjolkan.
Balai Poestaka ini seolah menjadi 'radja di radja' yang perintahnya membuat hati sebagian para Bumiputra terpelajar kecewa. Karya seperti Belenggu (Amrjin Pane) dan Lajar Terkembang (STA) ditolak oleh Balai Poestaka karena menyalahi aturan mengenai adab sebuah karya pada masa itu.
Kita tahu bahwa Belenggu dan Layar Terkembang adalah sebuah karya visioner yang mendekatkan hakikat sebuah bangsa dan kaum yang merdeka. Hal ini tidak terlalu mengherankan mengingat para penggawa di Pudjangga Baru ini berkiblat pada sastra barat tahun 1880-an.
Apa yang Balai Pustaka lakukan membuat sebuah era di mana kita mengenal Angkatan Pudjangga Baru yang menabrak batasan-batasan yang digariskan oleh Hindia Belanda tentang sebuah karya sastra.
ADVERTISEMENT
Kisah RUU Permusikan yang riuh beberapa waktu belakangan ini mengingatkan saya kembali akan kisah Balai Pustaka yang menghadapi perlawanan dari kaum-kaum yang suaranya tidak bisa terwadahi oleh aturan Balai Pustaka yang melahirkan angkatan Pujangga Baru.
Jadi apakah ini sebuah momentum lahirnya era baru dari generasi musik Indonesia yang belakangan ini seperti beridentitas lagi dalam karya-karyanya.