Drama Perselingkuhan pada Krisis Batu Bara

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
16 Januari 2022 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serial layangan putus berhasil menyita perhatian massa. Tetapi ada sandiwara yang lebih menyakitkan hati rakyat. Yaitu krisis batubara yang disinyalir adanya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha di dalamnya.
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Sungguh malang nian nasib rakyat negeri ini! Kabar tarif dasar listrik (TDL) bakal naik tahun ini masih dilanjutkan dengan kabar pemadaman untuk 10 juta pelanggan karena krisis batubara. Rakyat hanya bisa berharap itu semua hanya kabar burung belaka.
ADVERTISEMENT
Banyak yang heran mengapa Indonesia, sebagai negara pengekspor batubara terbesar kedua di dunia, bisa krisis batubara? Terdengar aneh memang. Tetapi cobalah memandang dari kacamata pengusaha, maka drama krisis energi ini akan terasa logis.
Bayangkan saja! Harga batubara di luar negeri bisa mencapai 200 dolar AS per metrik ton (MT). Jauh dibandingkan jika harus menjual ke PLN yang hanya dihargai 70 dolar AS per MT. Dari sini pasti paham bagaimana otak pengusaha batubara bekerja. Tugas pengusaha hanyalah mencari untung. Mungkin batin mereka berkata: "Rakyat? Bukan urusan Saya!".
Rakyat sempat bertepuk tangan kegirangan ketika pemerintah melarang pengusaha untuk mengekspor batubara selama satu bulan. Tetapi hanya dua minggu berselang, negara membuka plang ekspor kembali. Izin ekspor diberikan, dengan syarat pengusaha tersebut telah memenuhi seratus persen kuota DMO nya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga tidak bisa disalahkan. Karena negara pengimpor batubara Indonesia pasti mencak-mencak ketika Indonesia menutup pintu ekspornya. Barangkali di dalam istana negara tiap hari sibuk mengangkat telepon dari berbagai negara untuk menanyakan perihal kemacetan ekspor batubara. Pihak luar negeri semakin cemas karena pasokan bahan baku yang kian menipis.
Yakinlah pasti ada kesepakatan soal harga, yang nilainya cukup menggiurkan. Dan akhirnya jatuh pada kantong yang tepat, eh angka yang tepat. Rakyat sudah paham, rekening pengusaha harus selalu gendut. Dan, apakah tidak kasihan dengan masyarakat luar negeri kalau listrik mereka mengalami pemadaman? Biarlah rakyat mengalah, toh sabar sudah dianggap sebagai makanan sehari-hari.
Lagi-lagi pemerintah punya solusi yang cerdas. Agar pasokan batu bara domestik aman, maka disparitas harga jual PLN dan internasional akan ditalangi oleh negara. Alias uang rakyatlah yang kembali menebalkan dompet pengusaha batubara.
ADVERTISEMENT
Jika nantinya negara mengelak untuk membayar disparitas harga tersebut, maka rakyat harus tabah menerima kabar tarif listrik melonjak naik. Dikarenakan PLN harus membeli batubara dengan harga dunia. Di sisi lain pengusaha batubara tetap meraup banyak untung. Enak tenan nasib pengusaha batubara!
Dari sinilah drama krisis energi bangsa ini bermula. Negara kelabakan ketika pengusaha batubara terancam rugi. Kepentingan mereka harus diutamakan. Rakyat harus paham, betapa merugikannya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Sandiwara ini lebih menyakitkan daripada "layangan putus".
Jika pengusaha batubara sedikit saja mengerem ketamakannya dan mau "bersedekah" pada PLN, maka bangsa ini pasti sudah tasyakuran nasional. Tetapi apa daya, setan di Indonesia ini sudah bergelar profesor. Lihai menggoda pengusaha untuk selalu rakus akan rupiah, rupiah dan dolar.
ADVERTISEMENT
Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, apakah pengusaha batubara itu memang punya hak menguasai, mengelola batubara sekehendak hatinya? Karena kita semua pasti sudah hafal bunyi pasal 33 UUD 1945 pasal 3. Penjelasannya baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki Minyak dan Gas Bumi yang terkandung di bawahnya (https://jdih.kemenkeu.go.id/).
Kalau mau jujur tindakan mereka sudah inkonstitusional. Barang tambang yang melimpah sejatinya adalah milik rakyat dan dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran khalayak. Penduduk Indonesia secara keseluruhan. Bukan hanya menyejahterakan "rakyat saudagar".
Menurut konstitusi, Negara harusnya yang berhak menguasai dan mengelola batubara. Negara semestinya juga memutuskan hubungan gelapnya dengan pengusaha, selanjutnya fokus untuk mengurusi warganya. Dengan demikian PLN tidak akan kekurangan pasokan batu bara. Harga juga akan jauh lebih murah bahkan bisa gratis. Efeknya tarif listrik akan ikut turun. Dan yes! Akhirnya drama ini berakhir happy ending.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah bisa happy end ketika romantika perselingkuhan penguasa dan tauke semakin hangat? Sedangkan hubungan dengan rakyat terasa hambar. Yang tampak hanyalah pencitraan semata.
Beginilah nasib negara demokrasi. Demokrasilah yang mengawali hubungan gelap penguasa dan pengusaha. Tidak usah malu menguak skandal memalukan ini. Publik sudah mengerti bahwa modal fantastis yang digunakan penguasa untuk maju mencalonkan dirinya berasal dari transferan para pemodal. Sehingga sebagai rasa terima kasihnya, penguasa harus memuluskan proyek-proyek para tauke.
Nah, akhir episode krisis energi ini bergantung pada rakyat. Mau segera selesai happy ending atau suka dilanjutkan dengan alur yang lebih menegangkan?