Kado untuk Goenawan Mohamad

Nirwan Ahmad Arsuka
Sarjana teknik nuklir, Peminat kajian sains dan kebudayaan, Pendiri Pustaka Bergerak
Konten dari Pengguna
31 Juli 2020 9:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nirwan Ahmad Arsuka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Dok: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Puisi yang bagus memang organisme yang bisa hidup lebih menakjubkan dari yang mungkin dibayangkan oleh penciptanya. Puisi itu ajaib karena meski ia ciptaan yang sangat personal, hasil keseorangan yang betul-betul utuh menurut frase Goenawan Mohamad, namun ia universal karena dapat dinikmati dan dimaknai oleh siapapun yang sungguh-sungguh membacanya. Sebagaimana organisme yang hanya bisa berkembang jika ada perpaduan antara tingkat tertentu kecanggihan sistem biologisnya dengan cukupnya asupan gizi dari luar, puisi yang baik juga hanya bisa tumbuh oleh pertautan kekuatan struktur formalnya dengan kepekaan serta daya intelek pembacanya. Puisi yang punya daya seperti ini bukan saja bisa mengucapkan dirinya dengan memikat. Ia pun sanggup mengucapkan hal lain yang bukan dirinya dengan cara yang memukau, misalnya tentang ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Puisi, atau sastra, bisa membuktikan diri mampu mengatakan kekuatan dan pesona ilmu pengetahuan dengan cara yang bahkan para ilmuwan sendiri pun tak sanggup lakukan. Sastra menghamparkan kekuatan ilmu pengetahuan dengan dua cara. Yang pertama adalah dengan via positiva, yakni dengan mempertegas kehadiran ilmu pengetahuan dan membeberkan pengaruhnya. Yang kedua adalah via negativa, yakni dengan menampik kehadiran pengetahuan dan membentangkan longsoran serta ketercekaman akibat ketakhadiran itu. Di Indonesia, cara pertama dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, dan cara kedua dipamerkan antara lain oleh Sapardi Djoko Damono.
DALAM HIDUPKU BARU SEUMUR JAGUNG. Sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya. Kalimat yang tertera di halaman dua novel "Bumi Manusia" ini membuka kesaksian yang hangat dan menyentuh, tentang kemampuan akal manusia dan keindahan dahsyat ilmu pengetahuan. Paragraf-paragraf yang memancarkan keyakinan pada kemanusiaan dan akal budi yang menyala-nyala itu, buat saya adalah karya literer yang menjulang sendirian dalam khazanah sastra berbahasa Indonesia, setidaknya jika dibandingkan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh para penulis yang kurang lebih sejaman Pram. Tak ada memang yang melampaui Pram dalam melukiskan keindahan tak terhingga dari ilmu pengetahuan: tidak YB Mangunwijaya, tidak Takdir Alisjahbana, bahkan tidak BJ Habibie Sang Bapak Teknologi Indonesia. Wajar jika Rudolf Mrazek mempersembahkan satu bab khusus untuk Pram di buku Engineers of Happy Land.
ADVERTISEMENT
Ilmu pengetahuan, yang Minke dapatkan dari sekolah dan ia saksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membuatnya mengalami metamorfosis, membikinnya berbeda dari sebangsanya pada umumnya. Ia berani memimpikan sesuatu yang tak sanggup dimimpikan oleh kawan-kawannya, dan terlarang oleh para penguasa Hindia Belanda. Penghayatan tentang kekuatan revolusioner ilmu pengetahuan memang bertaut dekat dengan impian tentang sebuah bangsa yang merdeka, dan berbagai hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Hal ini pernah saya ulas di tulisan bertajuk Semesta Manusia, Dimuat di Bentara-KOMPAS, 6 Oktober 2000. Yang jelas, ilmu pengetahuan jugalah, yang dipelajari sendiri oleh Sanikem yang kemudian jadi Nyai Ontosoroh, yang ikut membuat perempuan perkasa itu bisa berkata, "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
ADVERTISEMENT
Jika Pram bisa membantu kita melihat kaitan rapat antara ilmu pengetahuan dengan penciptaan bangsa dan pengukuhan martabat manusia, maka Sapardi dapat memandu kita mendapatkan hubungan erat antara ketiadaan pengetahuan dan kemerosotan eksistensi kehidupan. Sapardi menghamparkan hubungan itu dengan subtil lewat puisi-puisinya yang ditata dengan penuh perhitungan, misalnya:
ADVERTISEMENT
Puisi ini mengajak kita masuk ke sebuah ruang liminal dimana sesuatu sedang mengalami transisi. Suara tunggal dalam puisi ini berbicara kepada si mu yang bisa berarti seseorang, mungkin juga sebuah boneka, tapi bisa juga sebuah bangsa atau satu species cerdas. Jika si mu itu sebuah boneka —Sapardi pernah menulis sajak bagus bertajuk Topeng, yang ia persembahkan untuk Danarto — maka kita akan merasa tegang campur senang karena boneka yang mati itu diberi kesadaran, diberi riwayat. Dengan kata lain, si boneka dijadikan manusia yang berpengetahuan. Di sini terjadi tindakan kreatif yang layak dipuji. Ada metamorfosis dalam pengertian umum kata itu yakni perubahan ke tahapan yang lebih tinggi seperti yang dialami telur yang jadi tetas jadi ulat menuju kepompong blo'on yang akhirnya jadi kupu-kupu jelita.
ADVERTISEMENT
Tapi rasa senang itu tak dibiarkan rekah penuh. Kemungkinan bahwa si mu itu adalah boneka yang "dimuliakan," benda mati yang "diberi pengetahuan" dengan mendudukkannya di depan cermin dan bisa bertanya kritis; diganggu oleh frase yang sedang diam-diam yang muncul dibaris ke empat. Frase ini membocorkan rangkaian tindakan yang bertujuan rahasia. Rasa senang itu terus digoyahkan sepanjang baris ke empat dan ke lima, dan direnggut sepenuhnya oleh satu-satunya kata yang terpampang di baris ke enam: kematianmu. Kata bentukan ini muncul seperti longsoran, menggoncang gambaran pencurahan hidup dan pengetahuan yang disiratkan sebelumnya. Frase mereka-reka sebab-sebab kematianmu itu —kematian yang mungkin sudah terjadi, atau malah sedang akan direncanakan — meluncur datang menimpa tindakan kreatif itu dan mengubahnya jadi laku "kriminal-destruktif."
ADVERTISEMENT
Jika si mu itu kita anggap memang hanya boneka mati yang tak berpengetahuan, maka tak banyak rongrongan yang muncul seusai membaca puisi ini. Paling banter kita ingin menggetok kepala si ada yang diam-diam lalu mengacak-acak rencana gelapnya. Tindakan terencana si diam-diam itu betapa pun belum bisa dianggap destruktif yang punya konsekuensi, karena benda yang tak berkesadaran dan tak berpengetahuan mustahil akan pernah bisa mengalami destruksi. Tapi puisi ini punya daya persuasi yang sulit dilawan oleh pembaca yang imajinatif untuk membayangkan bahwa si mu itu adalah seseorang yang hidup dan berkesadaran, dan di momen itulah masalah muncul bergentayangan. Ciri organisme yang berkesadaran dan berpengetahuan adalah bisa mencerap dan mengalami berbagai hal, termasuk destruksi.
ADVERTISEMENT
Perubahan dan metamorfosis sebenarnya adalah gejala yang biasa dan alami, tapi bisa jadi masalah besar bagi organisme yang punya pengetahuan dan kesadaran, yakni ketika perubahan itu terjadi di luar kehendaknya. Metamorfosis yang terjadi dalam sajak itu membangkitkan berlapis-lapis problem justru karena si mu mengalaminya di luar keinginan dan kendalinya. Transisi yang terjadi bukanlah metamorfosisi tapi anti-metamorfosis yakni perubahan ke bentuk yang lebih rendah. Si mu akhirnya upacara peralihan hanya untuk menjadi alat, menjadi inang bagi sebuah kekuatan parasitik yang menghisap bukan hanya daya hidup si mu tapi juga identitasnya.
Jika metamorfosisi Minke membikin dada jadi gembung, maka metamorfosisi si mu menciutkan nyali sekaligus membangkitkan rasa iba, yang mungkin membuat kita cuma dapat berharap bahwa kalaupun ia memang hanya bisa jadi alat maka semoga ia jadi alat buat tujuan yang baik. Si mu mungkin saja punya pengetahuan, tapi pengetahuan dan kesadarannya tak lengkap, bahkan semu, dan belum berkembang menjadi kuasa (power) dan karena itu ia tak punya kendali atas apa yang terjadi. Pengetahuannya hanya pinjaman yang kemudian dilenyapkan. Pelenyapan pengetahuan itu bisa terjadi secara individual bisa juga massal, dan dapat mengambil banyak bentuk termasuk kolonialisasi kognitif yang bertahap.
ADVERTISEMENT
Problem antimetamorfosis dan parasitisme itu mungkin akan lebih mudah dihayati oleh mereka yang hidup di sebuah republik dimana corak pakaian warganya mulai pelan-pelan diganti, cara berbicaranya pun mulai digeser, dan pilihan makanannya bertahap ditukar. Peralihan itu diatur dengan rekayasa yang demikian bagus sehingga yang mengalaminya seakan sedang menjalani ritus inisiasi. Sejumlah pihak barangkali sedang-menimbang ulang hari lahir republik ini dan mereka-reka sebab-sebab kematiannya, yang mungkin dibuat perlahan mungkin juga mendadak dengan cara kekerasan. Mereka yang benar-benar mencintai tanah airnya, akan mungkin mendapat manfaat melimpah dari puisi ringkas ini karena membantu mereka menyadari bahwa republik tanpa pengetahuan yang tepercaya, tanpa kendali dan kedaulatan yang nyata, memang bukan lagi sebuah republik.
Problem ketiadaan pengetahuan yang lengkap ditampilkan juga oleh Sapardi di puisinya yang ditulis 10 tahun sebelumnya:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Puisi yang terdiri dari 174 kata dengan sejumlah repetisi ini menghadirkan cerita dengan kemungkinan lanjutan yang nyaris tak terhingga. Cerita bisa berakhir menyenangkan jika si Ada yang terpekik di paragraf pertama dan si Ada yang memperhatikan si Ia di paragraf terakhir adalah teman si Ia sendiri yang berjanji menemuinya. Si Ada yang pertama itu bisa sama bisa juga tidak dengan si Ada yang kedua. Jika mereka ini memang teman-teman si anak kecil, maka gelak tawalah, yang mengepung gerutuan, yang paling mungkin muncul.
Tapi bagaimana jika si Ada yang bisa sama bisa juga tidak itu ternyata bukan teman si Ia? Salah satu kehebatan puisi ini adalah kemampuannya menyelimuti si Ada itu dengan misteri, dengan menyembunyikannya di balik semak, dan membuatnya tak terlihat oleh si Ia. Dan si Ada ini bukan hanya misterius, ia juga punya kekuatan, dan puisi ini menegaskannya dengan menghadirkannya secara repetitif, lalu memunculkannya lagi di bagian akhir seperti gong yang bergema panjang. Dengan cara penghadiran Ada seperti ini, pembaca diarahkan untuk membayangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang tak diketahui, dan punya kuasa yang tak dapat dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Karena tatanan puisi itu, akan mudah buat pembaca membayangkan bahwa si Ada itu adalah sesuatu yang hostile, dan si Ia telah menganggunya dengan kerikil yang ditendangnya. Kita jadi gampang membayangkan si Ada itu sebagai binatang buas, mungkin macan, mungkin juga ular besar yang bersarang di sumur mati yang disebut dalam sajak Catatan Masa Kecil 1. Karena peristiwa bergerak dari jalan pintas ke tanggul sungai, yakni tempat yang terpencil, kita juga bisa membayangkan si Ada itu mungkin orang asing, dari kampung lain, yang sudah lama merunduk dengan niat yang pekat dan hanya menunggu kesempatan untuk melaksanakan rencananya.
Di tengah berbagai kemungkinan yang ditawarkan puisi ini, bisa kita urai keadaan pengetahuan si Ia. Pertama, si Ia memang tahu beberapa hal, tapi ia tak tahu semua hal. Kedua, ada hal yang si Ia tahu dan bisa ia kuasai, seperti jalan pintas yang ia ambil atau kerikil yang ia tendang. Ketiga, ada juga hal yang Ia tahu, namun tak ia kuasai, seperti "Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin. Keempat, dan ini mulai mencekam, adalah ada hal yang ia tak tahu, dan karena itu pasti ia tak kuasai, dan ia tak tahu bahwa ia tak tahu, yakni si "Ada yang terpekik di balik semak" dan si "Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. Ada."
ADVERTISEMENT
Yang lebih meremas pikiran lagi adalah bahwa si Ia tak tahu bahwa yang tak ia ketahui itu, yang " ia tak melihatnya" itu, sedang memperhatikannya, dan mungkin akan melakukan sesuatu padanya, yang mungkin saja buruk.
Selain berbagai variasi dengan banyak permutasi, puisi ini meyodorkan sebuah sirkularitas pengetahuan dan ketidaktahuan yang berputar mulai dari si Ia, yang kemudian tersambung ke pembaca, lalu tersambung ke ummat manusia dan kembali lagi melingkar ke si Ia. Sirkularitas ini dapat berputar kencang tergantung pada kekuatan intelek pembaca, dan dapat menciptakan vakum yang menyedot dasar-dasar pengetahuan manusia yang dianggap anggap mantap
Cekaman itu akan makin menyusup dalam jika kita baca si Ia itu sebagai ummat manusia. Dalam upayanya untuk bertahan hidup, ummat manusia telah mengubah alam, menedang batu-batu sejarah dan kenyataan yang kemudian membangkitkan kekuatan yang tak diketahui manusia sebelumnya, seperti SARS-Cov-2 yang kini mengamuk, misalnya, atau perubahan iklim yang pengaruh destruktifnya sudah semakin sering terlihat.
ADVERTISEMENT
Manusia pun sudah berkembang cukup cerdas sehingga ia mampu membayangkan adanya kecerdasan lain yang jauh lebih hebat dari manusia sendiri, yang bisa jadi seperti si Ada yang mengawasi manusia tanpa manusia sadari, semacam intelegensi ekstrateretrial yang mungkin saja terprovokasi oleh tindakan manusia menendang pesawat dan menyemburkan pesan elektromagnetik ke angkasa luar, dan siap memangsa kehidupan di bumi. Serbuan organisme cerdas pemusnah dari luar bumi memang lebih dekat ke fiksi ilmiah. Tapi pengetahuan ilmiah sudah memberi tahu manusia bahwa kepunahan massal di planet Bumi bukanlah rekaan. Diperkirakan Bumi telah mengalami 5 kali peristiwa Kepunahan Massal dan 1 peristiwa kepunahan sedang berlangsung.
Kepunahan massal selama ini terjadi karena perubahan iklim, dampak asteroid, letusan gunung berapi besar atau kombinasi dari penyebab ini. Salah satu peristiwa kepunahan massal yang terkenal adalah yang mengarah pada kepunahan dinosaurus, 65 juta tahun yang lalu. Peristiwa ini tampaknya merupakan gabunga dari letusan gunung berapi besar dan tubrukan meteorit raksasa. Yang mengganggu pikiran kita adalah bahwa organisme yang pernah menguasai Bumi ini tumpas dalam waktu yang sangat singkat tanpa mereka tahu sedikitpun sebab-sebabnya. Hal yang sama juga bisa terjadi pada manusia, dan kecemasan akan kepunahan manusia tanpa manusia tahu, bisa diintensifkan antara lain oleh pembacaan imajinatif puisi Sapardi.
ADVERTISEMENT
Buat mereka yang, seperti Stephen Hawkings dan Elon Musk, mencemaskan bangkitnya kekuatan besar artificial intelligence, kedua puisi Sapardi ini bisa bergema panjang. Tak sulit sungguh untuk membayangkan bahwa si mu di puisi pertama dan si Ia di puisi kedua sebagai representasi Homo sapiens. Sementara yang diam-diam meyusun ulang riwayat ummat manusia, dan yang mengawasi manusia karena ingin mengambil kedudukannya itu adalah sebuah artificial superintelligence. Rongrongan besar kedua puisi ini akan terasa kian kuat buat mereka yang mengira bahwa kecerdasan itu sepenuhnya berarti hanya kemampuan memproses informasi sebanyak dan secepat mungkin, sementara kemampuan mesin terus tumbuh dahsyat secara eksponensial.
Meskipun merongrong pikiran, dua sajak Sapardi ini menyodorkan sebuah pegangan yaitu bahwa hanya pengetahuan yang baik yang disertai dengan kemampuan mengendalikan kenyataan itulah yang akan menyelamatkan manusia. Jika Bumi Manusia menandaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah restu yang tiada terhingga indahnya, maka dua puisi Sapardi ini menegaskan bahwa ketiadaan pengetahuan berupa kemampuan mengendalikan kenyataan adalah petaka yang tiada terperi mencekamnya. Untuk bertahan hidup, manusia mau tak mau harus terus mengetahui, dan pengetahuan yang paling bisa dipercaya dan paling mungkin untuk dikembangkan bersama adalah pengetahuan ilmiah. Semakin banyak yang manusia ketahui, semakin berkembang keunggulan ilmiah, maka akan semakin besar peluang ummat manusia untuk bertahan dengan kehidupan yang bermartabat.
ADVERTISEMENT
Jika sastra bisa mengucapkan peran eksistensial ilmu pengetahuan dengan cara yang melampaui kemampuan para ilmuwan, maka sains pun sanggup merumuskan peran vital sastra, atau seni pada umumnya, yang para sastrawan dan seniman pun mungkin tak pernah bayangkan. Bidang ilmu yang kini agaknya paling mampu memamerkan hal ini adalah sains kognitif dan kecerdasan buatan. Di masa awal kajian kecerdasan buatan, sejumlah pelopornya memang punya keyakinan bahwa mereka mungkin membangun mesin cerdas yang bisa menyamai, bahkan melampaui, manusia. Dan mereka bayangkan itu bisa diwujudkan dengan mempercepat dan memperbesar kemampuan mesin itu untuk memproses informasi, dimana semua bahan yang diperlukan bisa diambil dari khazanah kecerdasan buatan itu sendiri.
Tapi telaah ilmiah dan perkembangan teknologi mutakhir menunjukkan bahwa keyakinan para pembangun awal kecerdasan buatan itu kekanak-kanakan. Mesin paling cerdas yang sudah dikembangkan selama ini, ternyata paling jauh hanya bisa menampilkan satu jenis kecerdasan saja, semacam idiot savant belaka. Para ilmuwan pun berpikir ulang, dan tersadar bahwa untuk membuat mesin yang menyerupai kecerdasan manusia, maka mesin tersebut harus bisa belajar seni dan puisi. Karya para maestro pun dianggap bukan lagi sebagai artefak masa silam, tapi dijunjung sebagai petunjuk dari masa depan untuk memandu perkembangan ilmu. Artificial General Intelligence hanya bisa dicapai oleh organisme buatan jika ada juga kemampuan menghayati momen puitis dan memberi tanggapan memadai pada pathos yang muncul di berbagai karya artistik. Dengan kata lain kecerdasan buatan yang benar-benar cerdas itu hanya mungkin ada jika mampu belajar banyak hal, termasuk di antaranya adalah — meminjam satu baris dari Goenawan Mohamad — ¬ memberi harga pada yang sia-sia, bukan hanya kersik pada karang, lumut pada lokan.
ADVERTISEMENT
Artificial supertintelligence yang tak hanya mampu membuat abadi yang kelak retak, membedakan langit biru dan perih, senyum dan cadar, pahlawan dan hantu — mengutip larik-larik dari Wish You Were Here, Pink Floyd — adalah cita-cita besar kecerdasan buatan. Cita-cita yang akan dikejar dengan segenap kekuatan ini jelas memustahilkan kemungkinan pengetahuan ilmiah jadi abai pada puisi dan seni. Perkembangan mutakhir dalam pengetahuan ilmiah justeru membuat sains tergantung pada puisi dan seni. Puisi dan seni memang tak hanya penting bagi kebudayaan manusia; ia juga luar biasa penting bagi ilmu pengetahuan.
Dengan cara yang menarik, dengan penegasan dan peniadaan, dua sastrawan kita telah menyampaikan peran vital-eksistensial ilmu pengetahuan. Jika Pram melaksanakannya dengan sadar, bahkan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari agenda besar pembanguan sebuah bangsa, maka Sapardi mungkin tidak. Tapi itu tak penting. Yang jelas, Sapardi memang cerdas, namun puisinya lebih cerdas lagi, dan itu yang membuat segenap khazanah sastra dan seni mau tidak mau harus dinafasi abadi dan tak mungkin direlakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Terima kasih, Bung Pram.
Selamat jalan, Mas Sapardi.
Selamat ulang tahun, Mas Goen.