Sulitkah Menjadi Kaum Beragama di China?

Novi Basuki
Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo; Lulus dari Huaqiao University dan Xiamen University, Studi doktoral di Sun Yat-sen University, China; Penulis buku "Islam di China: Dulu dan Kini".
Konten dari Pengguna
14 Januari 2019 8:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novi Basuki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga melaksanakan ibadah di bulan ramdhan. (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
zoom-in-whitePerbesar
Warga melaksanakan ibadah di bulan ramdhan. (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
ADVERTISEMENT
Pekan lalu (10/1), kumparan menayangkan berita berisi penuturan mahasiswa Indonesia di China yang “mengaku kesulitan menjalankan ibadah agama di lingkungan kampus” dan di pelbagai fasilitas publik lainnya. Sampai-sampai, katanya, muslim “tidak boleh berkumpul sesama Muslim untuk membicarakan agama sehari-hari”.
ADVERTISEMENT
Aktivitas keislaman hanya diperkenankan dilakukan di dalam masjid. Namun begitu, karena ketatnya pengawasan serta banyaknya kamera CCTV yang terpasang di masjid, dia menganggap hal tersebut tetap “menyulitkan umat Islam untuk menjalankan ibadah salat” dan pengajian dengan leluasa.
Di tengah kondisi di mana agama, komunisme, dan sentimen anti-China acap dioplos sebagai komoditas politik yang laris manis seperti sekarang, ada tiga hal yang perlu diluruskan supaya pengakuan semacam itu tidak dipelintir sebagai bukti valid nan sahih bahwa China alergi terhadap agama khususnya Islam.
Pertama, bejibunnya CCTV –yang belakangan bahkan dilengkapi dengan teknologi pemindai wajah– di China sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa. Hampir bisa dipastikan, di setiap tempat di China, baik di kota atau pula di desa, baik yang ramai maupun yang sepi, dipasangi CCTV semua. Tak terkecuali di masjid, gereja, wihara, dan rumah-rumah ibadah lainnya. Mungkin di kamar mandi saja yang tidak ada.
ADVERTISEMENT
Data IHS Markit yang dikutip portal berita Q Daily (21/11/2017) memerinci, jumlah CCTV yang dipasang di seantero China hingga penghujung tahun 2017 paling tidak sudah mencapai 176 juta unit. Sampai pada 2020 mendatang, IHS Markit memprediksi keseluruhan CCTV yang terpasang di 'Negeri Panda' akan meroket menuju angka 626 juta.
Pemasangan CCTV secara besar-besaran, yang biasa diistilahkan sebagai 'Tian wang gongcheng' (proyek jaring Tuhan), ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan misi jangka panjang guna menciptakan apa yang disebut sebagai 'ping’an chengshi' (kota selamat dan aman) yang diwacanakan pemerintah China sejak 2005 silam.
ADVERTISEMENT
Kenapa China menggalakkan pemasangan CCTV? Jawaban Jubir Kemenlu China Hua Chunying dalam jumpa pers yang digelar pada 24 Desember 2018 berikut menarik untuk disimak:
“[Karena] CCTV itu tidak mempunyai bias ideologi. Ia tidak akan memihak siapa pun. ... CCTV tidak akan membidik suku [beragama] tertentu. Ia akan menakutkan bagi yang jahat; akan menjadi pelindung bagi yang baik.”
Kedua, kendati pemerintah China melalui Pasal 36 konstitusinya menjamin kebebasan warga negaranya untuk menganut agama apa saja yang hendak diimani mereka, tapi –sama seperti keputusan untuk memeluk agama yang sepenuhnya diserahkan kepada kemauan pribadi masing-masing warga negara– kegiatan peribadatannya mesti juga ditempatkan dalam ranah internal.
Makanya, pemeluk agama apa pun di China, tanpa pandang bulu, tidak diperbolehkan untuk menggelar ibadahnya di ruang publik yang pembangunannya memang tidak diperuntukkan untuk perorangan atau ritual keagamaan. Stasiun, misalnya, dibangun sebagai tempat penumpang menunggu kereta, bukan untuk menghelat tablig akbar. Tentu lain soal kalau tidak ketahuan; atau ketahuan tapi yang mengetahui tidak tahu maksud atau merasa tak terganggu dengan ritus yang kita lakukan.
ADVERTISEMENT
Pendek kata, tak seperti di Indonesia, kaum beragama di China harus bisa membiasakan diri membedakan mana yang privat dan mana yang publik (umum). Bila hendak salat, umpamanya, jangan ke lapangan Tiananmen yang seperti Monas itu. Pergilah ke masjid atau ke tempat tinggal masing-masing.
Intinya, pemerintah China yang komunis tidak akan iseng mengusik komunikasi kita dengan Tuhan, asalkan dilangsungkan di tempat yang semestinya dan tidak melanggar hukum positif.
ADVERTISEMENT
Ini sekaligus menjadi jawaban mengapa mahasiswa-mahasiswa muslim Indonesia yang mempunyai beragam organisasi keislaman yang tersebar di beberapa kampus di China itu (semisal Hikamul Muttaqin di Xiamen, Is-Taqwa di Guangzhou, Persatuan Mahasiswa Muslim di Shanghai, dan Lingkar Pengajian Beijing di Peking), bisa rutin menggelar istigasah bersama tanpa ada hambatan berarti dari pihak mana pun.
Terakhir, benar bahwa penguasa China dari 1949 sampai saat ini adalah Partai Komunis China (PKC) yang kebetulan pembentukannya pada 1921 juga dibantu oleh Henk Sneevliet alias Maring, pelopor berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) asal Belanda itu.
Dan, dari dulu hingga sekarang, sebagaimana pernah dikeluhkan Gus Dur dalam esai 'Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme' yang dimuat Persepsi No.1, 1982, “Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme" acap dianggap “berada dalam hubungan diametral dengan Islam” oleh tak sedikit –jika bukan mayoritas– muslim negara kita. China, dengan demikian, kerap dianggap sebagai negara yang diperintah oleh rezim yang anti-agama, terlebih Islam.
ADVERTISEMENT
Padahal, Mao Zedong dalam artikel 'Teori Demokrasi Baru' (Xin Minzhuzhuyi Lun) yang dipublikasikan mingguan Pembebasan (Jiefang) edisi 20 Februari 1940, memberi lampu hijau kepada anggota PKC membangun aliansi politik dengan para penganut agama untuk bersama-sama melawan imperialisme dan feodalisme.
Bukan cuma itu, Mao menegaskan dalam pidato 'Tentang Penanganan yang Benar Konflik Internal Rakyat' (Guanyu Zhengque Chuli Renmin Neibu Maodun de Wenti) yang disampaikan pada 27 Februari 1957, “Kita tidak boleh ... memusnahkan agama, tidak boleh memaksa orang-orang untuk tidak menganut agama, ... juga tidak boleh memaksa orang-orang untuk memercayai Marxisme.”
ADVERTISEMENT
Belum lagi, setelah mulai memberlakukan kebijakan 'Reformasi dan Keterbukaan' (Gaige Kaifang) pada 1978, pemerintah China semakin menyadari bahwa persekusi massal serta perusakan membabi buta terhadap rumah-rumah ibadah, seperti pernah dilakukan sepanjang masa-masa kalut Revolusi Kebudayaan (1966–1976), adalah sebuah kesalahan besar yang tidak boleh diulang kembali.
Sebab, “pikiran dan perbuatan yang mengira dengan ... cara-cara paksaan dapat memusnahkan agama seketika, sungguh bertolak belakang dengan Marxisme..., salah total, dan sangat membahayakan”. Demikian diakui PKC dalam dokumen yang sohor disebut sebagai 'Dokumen Nomor 19' (Shijiu Hao Wenjian) yang dikeluarkan pada 1982.
Karena itu, Presiden Xi Jinping pada 18 Mei 2015 berpesan, “Jangan karena kita adalah komunis yang ateis dan karena ada kaum agamis yang ekstremis ... lalu agamawan dan umat beragama [yang moderat ikut-ikutan] dipinggirkan dan dianggap jahat semua.”
ADVERTISEMENT
Ya, persis Arab Saudi yang, mengutip Arab News (9/9/2017), garang mengumumkan tidak akan membiarkan siapa pun menyebarkan paham-paham ekstrem keagamaan seraya memecati ribuan imam masjid yang dianggap menyebarkan ekstremisme pada 2017 silam, kaum beragama yang berpemikiran demikianlah yang juga digencet oleh pemerintah komunis China.
Sementara yang moderat dan taat aturan sudah barang tentu tak terusik dan santai-santai saja beribadah tanpa perlu merasa terancam eksistensinya.