news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bagaimana Stigma Masyarakat Mengenai Hotel Bekas Isolasi Pasien Covid-19?

Noviana Handayani
Thisusercurrentlydeactive
Konten dari Pengguna
30 Maret 2021 13:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noviana Handayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi room atendant saat membersihkan kamar hotel Foto: Dok. Kemenparekraf
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi room atendant saat membersihkan kamar hotel Foto: Dok. Kemenparekraf
ADVERTISEMENT
Industri hotel saat ini mengalami guncangan yang sangat hebat dan merupakan salah satu sektor yang paling terkena dampak pandemi COVID-19, tak terkecuali di Indonesia. Namun, hotel-hotel di Indonesia masih mempunyai peluang untuk menjadi hunian bagi masyarakat yang perlu melakukan isolasi mandiri. Untuk mengantisipasi penularan COVID-19 pada klaster keluarga, pemerintah berinisiatif untuk menjadikan sejumlah hotel untuk digunakan sebagai fasilitas isolasi bagi pasien positif COVID-19 yang bergejala ringan ataupun tanpa gejala.
ADVERTISEMENT

Bagi sebagian besar masyarakat menjadikan tempat penginapan seperti hotel merupakan pilihan yang tepat pada saat liburan atau dalam perjalanan bisnis mengingat fasilitas-fasilitas yang diberikan serta keamanannya yang terjaga. Namun apabila hotel tersebut sudah pernah dijadikan tempat isolasi bagi pasien positif COVID-19, apakah anda tetap mau menyewa hotel tersebut?

Ilustrasi interaksi antara tamu hotel dengan resepsionis hotel.
Untuk mengetahui hal tersebut penulis melakukan survei dengan memberikan kuesioner kepada 100 orang responden, yang berasal dari beragam usia, domisili, serta tujuan dan lama kunjungan ke suatu penginapan. Kuesioner bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif masyarakat mengenai penginapan yang digunakan isolasi pasien COVID-19.
Pertanyaan yang diberikan berupa bagaimana pandangan responden terkait penginapan yang digunakan sebagai tempat isolasi dengan menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden, yaitu 72% atau 72 responden memiliki pandangan takut tertular apabila menyewa hotel yang digunakan sebagai tempat isolasi pasien COVID-19. Sementara, 26% atau 26 responden memiliki pandangan biasa saja (aman) dan 2% atau 2 responden merasa tertantang dan penasaran.
ADVERTISEMENT
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tim IFRC, PMI, UNICEF, WHO, UN OCHA, CISDI (2020) yang menyatakan bahwa 33% orang merasa takut saat mendengar COVID-19. Hal yang paling ditakuti oleh masyarakat secara umum adalah perubahan kondisi hidup secara radikal. Di awal masyarakat mendengar masalah COVID-19 di Indonesia, kebanyakan masyarakat mengetahuinya dari media sosial dan berita daring. Semakin maraknya berita COVID-19 tersebar juga semakin banyak stigma negatif terhadap orang-orang yang bersinggungan dengan COVID-19.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 80% responden menyatakan bahwa hotel yang digunakan sebagai tempat isolasi pasien COVID-19 berpengaruh terhadap preferensinya untuk menyewa hotel. Sementara itu, 20% sisanya menyatakan tidak berpengaruh. Hasil tersebut sejalan dengan hasil persepsi responden yang merasa takut tertular apabila menginap di hotel yang pernah digunakan sebagai tempat isolasi pasien COVID-19.
ADVERTISEMENT
Faktor penyebab tidak berpengaruhnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat dengan sikap stigma adalah pemahaman yang keliru atas informasi yang diperoleh. Tampak bahwa salah satu upaya pencegahan penularan COVID-19 rekomendasi WHO dengan menjaga jarak antar manusia disalahartikan, terlebih pada orang-orang yang bersinggungan dengan COVID-19, sehingga menyebabkan seseorang dengan pengetahuan tinggi mengenai COVID-19, cenderung memiliki sikap stigma cukup terhadap orang-orang yang bersinggungan dengan COVID-19.
Sementara itu, penulis juga menganalisis data sekunder dari perkembangan berita dan laporan dari instansi terkait. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menuturkan bahwa nama-nama hotel yang dijadikan tempat karantina bagi pasien OTG-GR oleh pemerintah tidak akan dipublikasi. Tidak menampik bahwa stigma negatif akan muncul dari masyarakat pada hotel-hotel yang dijadikan sebagai fasilitas karantina OTG-GR. Kendati demikian, hal tersebut bisa diatasi dengan hotel melakukan sterilisasi secara menyeluruh dan rebranding (Yusran, 2020).
ADVERTISEMENT
Senada dengan Maulana, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta, Krishnadi menyampaikan hal yang sama. Dampak buruk ada, satu hotel dipakai untuk OTG-GR, bukan tamu biasa. Saat pandemi reda dan tidak ada OTG-GR, meski tamu yang datang tahu, nama hotel sudah dikenal sebagai hotel OTG-GR (Krishnadi, 2020).
Sementara itu, PR & Sales Manager PT Dafam Hotel Management (DHM), Ninik Haryanti mengatakan bahwa stigma negatif tergantung dari lokasi hotel. Jika hotel berada di area yang memiliki kasus COVID-19 cukup tinggi, hotel akan menerima stigma negatif dari masyarakat. Di daerah tertentu dengan kasus yang masih sangat kuat, tentu saja ini akan membawa dampak negatif buat hotel jika pernah digunakan untuk isolasi mandiri (Haryanti, 2020). Melalui stigma negatif tersebut, masyarakat akan menganggap bahwa hotel tidak aman untuk ditinggali.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil kuesioner yang telah diisi oleh responden, diperoleh data bahwa terjadi pergeseran preferensi responden terhadap hotel yang digunakan sebagi tempat isolasi pasien COVID-19. Hal ini akan berdampak pada tingkat kunjungan hotel sehingga diproyeksikan terjadi penurunan jumlah kunjungan dibandingkan sebelum digunakan sebagai tempat isolasi pasien COVID-19 yang akhirnya berdampak langsung dari sisi pendapatan hotel itu sendiri. Diperparah lagi dengan biaya operasional yang justru semakin meningkat karena penerapan protokol kesehatan.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menuturkan implementasi protokol pencegahan penularan COVID-19 di sektor perhotelan mengerek biaya operasional. Biaya tambahan untuk disinfektan, biaya rapid test karyawan, biaya reklame iklan, dan sebagainya dirasa berat bagi pengelola hotel lantaran mereka tidak bisa mengurangi biaya operasional meskipun hotel tidak beroperasi. Kenaikan biaya tersebut menjadi beban bagi pengelola terlebih setelah tutup dan sepi pengunjung selama masa pandemi. Besarnya biaya tersebut tidak bisa ditanggung oleh semua hotel.
ADVERTISEMENT
Demi meyakinkan para tamu sebagai konsumen hotel, pihak hotel perlu mengiklankan diri bahwa pihak hotel telah menerapkan protokol kesehatan. Hal ini didukung oleh pihak PHRI yang telah melakukan uji kelayakan terhadap hotel-hotel yang diusulkan ke pemerintah telah memenuhi standar protokol kesehatan. Selain itu, hotel-hotel hasil rekomendasi pihak PHRI telah dibekali pelatihan bagi seluruh karyawan hotel untuk penanganan pasien COVID-19, sehingga hotel-hotel tersebut seharusnya aman untuk disewakan kepada masyarakat umum tanpa harus ada rasa kekhawatiran akan tertular COVID-19.