Urgensi Pengesahan RUU-PKS di Tengah Pandemi Covid-19

Nabila Putri S
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2020 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabila Putri S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
gambar diambil dari tirto.id
Dari tahun ke tahun, kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, tetapi masih belum ada langkah pencegahan yang berarti. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polda Jatim, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti mencatat 117 anak menjadi korban kekerasan seksual di awal 2018. Jumlah pelakunya ada 22 orang. Selain itu, sebagian besar korban mengalami kekerasan seksual di sekolah.
ADVERTISEMENT
Menurut Retno, di Jombang, Jawa Timur, ada kasus kekerasan seksual oleh pelaku guru dengan korban 25 siswi. Sementara di Surabaya, Jatim, kasus serupa terjadi di periode yang sama dengan korban 65 siswa sekolah dasar (tirto.id, 19 Maret 2018).
Terus Meningkat
Kasus kekerasan seksual hingga kini terus meningkat. Pada tahun 2020 saat terjadi pandemi Covid-19 pun masih banyak kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Dilansir dari detik.com, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Komnas Perempuan, mendapati kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan selama pandemi sebanyak 14.719.
Dari total itu, kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi adalah jenis kekerasan fisik yang jumlahnya mencapai 5.548 kasus. Kemudian kekerasan psikis sebanyak 2.123 kasus, dan kekerasan seksual 4.898 kasus. Sedangkan kekerasan ekonomi mencapai 1.528 kasus dan kekerasan khusus terhadap buruh migran dan trafficking mencapai 610 kasus.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah tentang adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah dan physical distancing selama pandemi ini nyatanya tidak bisa menghambat pelaku untuk tidak melakukan kekerasan. Bahkan ada beberapa kasus yang terjadi berkedok pemeriksaan masker atau pemberian sanksi karena tidak menggunakan masker.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Okezone, Oknum anggota Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polresta Pontianak, Brigadir DY diduga menyetubuhi pelanggar lalu lintas yang tidak menggunakan helm ganda. Bahkan, korban merupakan pelajar SMP yang berusia 15 tahun, berinisial SW.
Kejadian yang sama juga dialami oleh seorang wanita berinisial LHI viral di media sosial (medsos) lantaran mengaku mengalami pemerasan dan pelecehan seksual saat menjalani pemeriksaan rapid test di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Pihak kepolisian pun menyelidiki kejadian tersebut (detik.com, 19 September 2020).
ADVERTISEMENT
Selain itu, banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang belum tuntas. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren di Jombang misalnya. Meskipun kasus tersebut sudah dilimpahkan untuk ditangani Polda Jawa Timur dan sudah dijemput paksa oleh pihak kepolisian tetapi pelaku enggan untuk menyerahkan diri. Hingga saat ini tidak ada kejelasan bagi penanganan kasus tersebut. Di sinilah lagi-lagi korban mendapat beban yang luar biasa..
Keadaan tersebut diperparah dengan wacana pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mengurangi hak-hak pekerja perempuan dan semakin menambah catatan hitam bagi perempuan.
Urgensi Pengesahan RUU-PKS
Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia harusnya menjadikan DPR segera mengesakan RUU-PKS ini. Meningkatnya kasus kekerasan dan tidak adanya perlindungan yang pasti terhadap korban semakin menegaskan bahwa secepatnya harus mengesahkan RUU-PKS.
ADVERTISEMENT
Belum adanya Undang-Undang atau peraturan khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual yang melemahkan posisi korban, adanya relasi kuasa yang besar juga sangat berpengaruh terhadap kondisi korban, sehingga korban membutuhkan keberanian yang besar untuk melaporkan kasusnya yang dialaminya. RUU-PKS disini bertujuan untuk memberikan perlindungan, pendampingan hingga pemulihan terhadap korban.
Sudah seharusnya pemerintah memberi perlindungan kepada warga negaranya. Jika UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dengan segala macam kerumitan dan dampak buruknya sering dibahas dan terburu-buru di sahkan, tetapi RUU-PKS yang benar-benar dibutuhkan sangat sedikit sekali dibahas dan bahkan tidak ada wacana akan disahkan.
Sampai kapan kita menunggu, sampai kapan pemerintah enggan mengesahkan, apakah sampai anak cucu kita semua yang menjadi korban?
ADVERTISEMENT