FENOMENA “BAPER” BERAGAMA DI TENGAH PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA

Nur Afifah
Mahasiswi Program Pendidikan Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri Samarinda, Berkarya Tanpa Batas.
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2020 9:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Afifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
I
Ilustrasi agama di Indonesia. Sumber: goog.le
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi agama di Indonesia. Sumber: goog.le
ADVERTISEMENT
Manusia dilahirkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup tanpa adanya manusia lain. Diantara makhluk lainnya, manusia merupakan makhluk yang memiliki ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Oleh sebab itu, interaksi antar sesama manusia merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat terelakkan. Sehingga manusia diberikan aturan-aturan dan pedoman hidup untuk terciptanya keharmonisan dalam interaksi sosial. Aturan-aturan tersebutlah yang kemudian disebut sebagai ajaran agama.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, agama merupakan risalah yang diamanatkan oleh Tuhan kepada para nabi agar disampaikan kepada manusia. Kehadiran agama di muka bumi tidak hanya membawa misi tentang ibadah, akan tetapi juga membawa misi kedamaian antar sesama manusia dan semesta alam. Hal ini sesuai dengan visi ajaran Islam yakni rahmatan lil ‘alamin. Visi ini tergambar jelas manakala hadirnya Islam pertama kali, menjadi sebuah momentum revolusioner atas ketimpangan sosial di kalangan masyarakat Arab. Dimana saat itu, Islam menjadi simbol perlawanan atas penindasan terhadap kaum perempuan, kelas bawah, dan budak serta menuntut adanya egalitarian terhadap seluruh masyarakat Arab.
Pada dasarnya agama merupakan sumber atas nilai-nilai yang ada dalam kehidupan. Akan tetapi, nilai-nilai tersebut masih bersifat pasif sehingga pada tataran praktik perlu pemahaman yang mendalam bagi setiap pemeluknya agar bisa benar-benar menjalankan nilai-nilai tersebut. Namun, akan menjadi sebuah polemik apabila para pemeluknya tidak mampu menerjemahkan dan mengungkap nilai-nilai tersebut secara benar. Sehingga, kemudian akan berakibat pada lemahnya praktik serta hilangnya esensi ajaran.
ADVERTISEMENT
Nampaknya fenomena gagal paham ini sedang dialami oleh beberapa kelompok di Indonesia, sehingga saat ini negara kita masih disibukkan dengan perdebatan-perdebatan pada tataran pemahaman teologis. Padahal sejatinya agama berfungsi sebagai pemersatu bukan sebagai pemicu konflik. Hal ini disebabkan oleh adanya truth claim atau klaim kebenaran yang tidak lagi disandarkan kepada Tuhan, akan tetapi telah menjadi pemahaman subjektif oleh setiap penganutnya. Sehingga tak heran, apabila praktik keagamaan di Indonesia yang notabene merupakan negara plural dan berasaskan atas “Ketuhanan Yang Maha Esa” masih marak terjadi kasus intoleransi dan kekerasan atas dasar agama.
Masih jelas di ingatan kita baru ini terjadi skandal intoleransi di Solo pada 08 Agustus 2020, di mana ratusan warga menyerang kediaman almarhum Segaff Al-Jufri yang sedang menggelar acara midodareni, yaitu tradisi masyarakat jawa dalam mempersiapkan pernikahan. Selanjutnya, ratusan warga menyerang acara tersebut yang mengakibatkan kerusakan dan timbul korban luka-luka. Melihat kasus tersebut, dapat diketahui bahwa bersikap intoleransi bukanlah sikap menerima keberagaman di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bahaya “Baper” dalam Beragama
Dewasa ini, kata “baper” atau bawa perasaan merupakan kata yang cukup familiar dan sering digunakan oleh masyarakat. Istilah “baper” biasa digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang terlalu menggunakan perasaan dalam menyikapi suatu persoalan. Dalam istilah bahasa Indonesia, kata “baper” biasa dikenal dengan kata sentimen. Hal ini karena kedua kata tersebut memiliki arti yang sama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sentimen dapat diartikan sebagai pendapat dan pandangan yang didasarkan pada perasaan yang berlebihan-lebihan terhadap sesuatu (bertentangan dengan pertimbangan pikiran), atau bisa juga emosi yang berlebihan, iri hati, tidak senang, dendam, dan reaksi yang tidak menyenangkan.
Dalam kacamata psikologi, istilah sentiman juga dikenal dengan stereotip. Konsep stereotip pertama kali diusung oleh Walter Lippman, yang menyatakan bahwa stereotip ialah sikap terlalu menyederhanakan dan menggeneralisir atribut-atribut pribadi ke dalam suatu kelompok. Adapun menurut Grifith dan Heswstone, stereotip merupakan jalan pintas dari proses mental dalam memahami orang lain atau membuat penilaian terhadpa orang lain atau kelompok lain. Hal ini mengindikasikan bahwa proses penilaian dilakukan tanpa adanya pertimbangan lebih lanjut oleh individu sehingga penilaian menjadi bias dan cenderung berkonotasi negatif.
ADVERTISEMENT
Sikap “baper” sendiri bukanlah suatu hal yang baru di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Beragamnya suku, ras, dan agama membuat masyarakat agak sedikit sensitif bila berbicara mengenai perbedaan, terutama dalam konteks agama. Perdebaran mengenai isu agama di Indonesia nampaknya bagaikan sebuah bola api yang terus menggelinding dan memanas tanpa kita ketahui kapan hentinya. Banyaknya masyarakat yang “baper”, membuat mereka dengan mudah termakan isu dan terprovokasi sehingga persoalan menjadi semakin rumit dan sulit dipadamkan. Yang sangat memprihatinkan, dalam hal ini agama menjadi aspek yang paling mudah untuk dipolitisasi dan dijadikan alat untuk menggiring opini masyarakat dalam menilai kelemahan dan kekurangan pemerintah. Hal ini dilakukan oleh oknum kelompok tertentu dengan cara memframing kekecewaan-kekecewaan atas kinerja pemerintah, kemudian mendoktrin masyarakat melalui jargon-jargon tertentu guna menggerakkan kekecewaan-kekecewaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal ini sesuai dengan teori sentiment kemasyarakatan yang dipopulerkan oleh Emile Durkheim. Dalam bukunya yang berjudul Les Formes Elemantares de Lavia Religiuse yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: The Elementary Forms of The Religius Life, Durkheim mengemukakan teori baru tentang dasar-dasar agma yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya. Menurutnya, sentimen kemasyarakatan dapat menyebabkan timbulnya emosi keagamaan dan merupakan pangkal dari segala kelakuan keagamaan manusia. Akan tetapi, sebenarnya hal ini tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya bila dapat dikendalikan secara baik. Jika tidak, maka sentiment kemasyarakatan itu dapat berbahaya, sehingga perlu dilakukan pengendalian melalui kontraksi masyarakat dalam suatu pertemuan besar.
Munculnya sikap sentiment terhadap agama di tengah masyarakat Indonesia tentu tidak terjadi secara tiba-tiba. Sebagaimana pendapat Tarmizi Taher yang dikutip oleh Ucip Pathudin Al-Ma’arif menyatakan bahwa fenomena ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, fanatisme agama. Masyarakat sering terjebak pada sikap fanatisme yang membabi buta terhadap agama, terutama pada simbol, istilah, hingga kepada pemuka agama. Esensi ajaran agama dan Posisi Tuhan beserta sifat-sifatNya tak lagi diindahkan. Prinsip-prinsip agama yang mulai hilang dengan dengan pengakuan diri karena merasa paling agamis hanya karena tampilan fisik dan penampilan yang tidak menggambakan kondisi iman sebenarnya. Agama tidak lagi benar-benar dijalankan sebagaimana fungsinya, sehingga nilai-nilai agama dimanipulasi, direduksi, bahkan dimutilasi berdasarkan kepentingan syahwat.
ADVERTISEMENT
Kedua, subjektivitas pandangan. Sebagian umat beragama masih sering beranggapan bahwa persahabatan mesti berdasarkan atas persamaan dan sebisa mungkin menghindar dari perbedaan agama. Hal ini akan membuat umat beragama kurang objektif dalam memandang setiap perbedaan yang terdapat pada ajaran agama lain. Unsur ketidaksukaan, unsur mayoritas dan dan unsur berlindung dibalik agama merupakan dominasi faktor munculnya sentiment keagamaan di tengah masyarakat.
Ketiga, memonopoli kebenaran dan keselamatan (claim of truth and salvation). Meyakini akan kebenaran ajaran agama yang dianut merupakan sebuah keharusan bagi setiap penganut agama. Menyampaikan doktrin mengenai absolutism kebenaran agama pun adalah hal yang baik. Akan tetapi, menjadi tidak baik apabila penyampaian argumentasi logis dari doktrin yang disampaikan tidak dibarengi dengan anjuran untuk saling menghargai antar sesame doktrin (ajaran), apalagi hingga menjudge bahwa semua ajaran itu salah kecuali ajaran yang dianut oleh pribadi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa kasus-kasus intoleransi dan kekerasan beragama di Indonesia merupakan bukti tingginya tingkat kebaperan atau sentiment masyarakat terhadap perbedaan agama. Keteguhan terhadap doktrin-doktrin agama sangat terlihat di dalam diri mereka. Pada dasarnya sikap ini merupakan cerminan umat beragama yang taat, akan tetapi jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang cukup, maka ini akan menjadi boomerang sendiri, baik bagi diri sendiri maupun ajaran agama.
Sumber:
Amrullah Syarbani dkk, Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011.
Hakim, Riza Abdul, Agama, Identitas, dan Kewargaan: Problematika Hukum dan Sentimen Anti Minoritas di Terban. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol. 5, No. 2, Mei 2016.
ADVERTISEMENT
Joko Kuncoro, Prasangka dan Diskriminasi, Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang.
https;//kbbi.web.id/sentiment, diakses pada tanggal 15 Agustus 2020.
https://jabarnews.com/read/89595/kasus-intoleransi-di-solo-masyarakat-adat-minta-keadilan-kepada-presiden, diakses tanggal 16 Agustus 2020.