Social Climber; Menurut Persfektif Islam

Nur Afifah
Mahasiswi Program Pendidikan Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri Samarinda, Berkarya Tanpa Batas.
Konten dari Pengguna
15 Agustus 2020 18:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Afifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Istilah social climber berasal dari kata social climbing. Dalam bukunya communication Mozaics, Bierstedt menyatakan bahwa “Social climbing is the process of trying to increase personal status in a group by winnig the approval of high status member” yang artinya ialah social climbing adalah hal yang dapat diusahakan untuk mendapatkan posisi yang lebih kuat dalam sebuah partisipasi baik secara individual ataupun grup.
Ilustrasi Belanja Berlebihan. Sumber: image.app.goo.gl
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan zaman, kata social climbing mengalami pergeseran dan perubahan makna dari arti awal menjadi social climber. Kata social climbing dan social climber pada dasarnya memiliki orientasi yang sama, yakni, sama-sama ingin mendapatkan pengakuan atau perubahan status sosial yang lebih tinggi, hanya saja social climber menggunakan cara-cara yang yang kurang baik dalam upayanya memperoleh pengakuan dari masyarakat maupun kelompok dalam kehidupan sosial.
Orang-orang yang memiliki gaya hidup hedonis pasti pun memiliki gaya hidup yang sangat konsumtif. Melihat fakta gaya hidup masyarakat di Indonesia, ternyata sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dikategorikan sebagai masyarakat konsumtif. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Global Digital Report 2020, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah persentase tertinggi dalam hal kesukaan dalam berbelanja online. Sebanyak 76 % masyarakat Indonesia sangat suka berbelanja secara online, yang kemudian disusul Tiongkok dengan angka 74 % dan Thailand di twempat ketiga denga angka 71 %. Hal ini pun didukung oleh data yang dihimpun oleh IDN Research Institute & Alvara Research Center yang mengatakan bahwa sebanyak 98,2 % masyarakat Indonesia mengakses internet melalui handphone.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari hal di atas, rupanya dengan hadirnya aplikasi belanja online mulai dari pakaian, perlatan bahkan ada juga makanan yang dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan kehidupan masyarakat dunia juga merupakan pelopor utama yang menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat konsumtif. Meskipun demikian, tidak semua masyarakat yang berbelanja secara online memiliki gaya hidup hedon, akan tetapi tentu orang-orang yang bergaya hidup hedonlah yang mempengaruhi tingginya angka tersebut. Berdasarkan data yang dipaparkan sebelumya, maka tak heran apabila fenomena social climber sedang tumbuh dengan subur di tengah masyarakat tanpa mengenal masa.
Ketahuilah!!
Kehidupan di era modern nampaknya memang telah benar-benar menciptakan pergesaran dan pandangan-pandangan baru dalam nilai-nilai sosial. Lahirnya para social climber pun merupakan contoh nyata dari hal tersebut. Saat ini, status sosial tidak hanya dipandang sebagai sebuah pengakuan semata, tetapi lebih daripada itu, status sosial telah menjadi sebuah kebutuhan bagi manusia. Bahkan, kebutuhan ini pun cenderung bersifat primer, karena besarnya pengaruh iklim sosial disekitarnya yang sangat memotivasi.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana persfektif Islam dan Al-Qur’an?
Dalam pandangan Islam, social climber merupakan sikap yang sangat tercela. Nabi Muhammad saw sebagai gambaran akhlak qur’ani telah mencontohkan sikap hidup yang penuh dengan kesederhanaan. Barang tentu, sikap ini dilakukan bukan untuk mengajarkan umat Islam agar menjadi orang-orang miskin, tetapi ini bertujuan untuk memilhara sikap selalu merasa cukup atau qanaah pada diri pribadi muslim.
Tersurat dalam Kalamullah, ada seseorang umat nabi Musa yang bernama Qarun. Qarun merupakan salah satu makhluk pilihan Allah, karena Allah telah melimpahkan hrta bainya dengan sangat sangat melimpah ruah. akan tetapi Allah SWT membinasakan dia karena sifatnya yang suka membangga-banggakan diri dan harta yang dimilikinya. Kisah ini diabadikan di dalam surah Al-Qasas ayat 76 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
Terjemahan : “sesungguhnya Qarun termasuk kamu Musa, tetapi dia berlaku zalim terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya,‘janganlah engkau terlalu bangga, sungguh Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri’. ” (Al-Qashas: 76)
Secara tidak langsung, ayat ini sedang menggambarkan bahwa harta dan kekayaan benar-benar dapat membawa kelalaian pada diri seorang manusia. Padahal sejatinya, Allah menciptakan manusia tak lain dan tak bukan ialah untuk beribadah kepada Allah. Beribadah yang dimaksud ialah menjalankan segala perintah Allah serta meninggalkan segala hal yang membuat kita jauh dari Allah, termasuk hal-hal yang bersifat keduniawan seperti bermegahan dan bermewah-mewah.
ADVERTISEMENT
Demikian, dapat dipahami manusia memang memiliki akal dan nafsu yang keduanya saling bertentangan. Akan tetapi, apabila manusia mampu menekan nafsu di bawah akalnya, maka In syaa allah akan menjadi orang-orang yang termasuk ke dalam kategori orang yang beriman lagi qana’ah. AAMIIN
Sumber :
Bierstedt, Robert. R. The Sociology of Majority. American Sociological Review, 2002.
Fast, Molly Jong, The Social Climber’s Handbook, (New York: VillRD Booka, 2011.
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1965.
Jayanti, Nadia Ayu. Komunikasi Kelompok “Social climber” pada Kelompok Pergaulan di Surabaya Townsuare (Sutos), Jurnal E-Komunikasi, Vol.3, No. 2, 2015
https://www-idntimes-com.cdn.ampproject.org/indonesia-merajai-daftar-negara- yang-paling-suka-belanja-online
ADVERTISEMENT