Pertempuran 5 Hari Semarang: Konfrontasi Fisik dalam Mempertahankan Republik

Nur Dhuha Indah Paramesty
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Semarang.
Konten dari Pengguna
27 November 2021 10:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Dhuha Indah Paramesty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertempuran 5 Hari Semarang. Foto: Pemerintah Kota Semarang
zoom-in-whitePerbesar
Pertempuran 5 Hari Semarang. Foto: Pemerintah Kota Semarang
ADVERTISEMENT
Teman-teman, apakah kalian tahu bahwa setelah terjadinya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, masih banyak sekali prajurit Jepang yang belum bisa kembali ke negara asalnya. Seiring berjalannya waktu, Belanda datang kembali ke Indonesia bersama dengan pasukan sekutu. Hal pertama yang mereka lakukan ialah melucuti senjata dan memulangkan para mantan tentara Jepang yang masih tersisa di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kabar mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa perasaan gembira bagi pemuda-pemuda di seluruh Indonesia salah satunya pemuda di Kota Semarang. Mr Wongsonegoro dipilih oleh seluruh warga Semarang untuk menjadi Gubernur Jawa Tengah pada saat itu. Perasaan semangat para pemuda membuat mereka ingin segera menguasai instalasi sipil di Kota Semarang. Mr Wongsonegoro berusaha untuk menjembatani tuntutan para pemuda dan BKR (Badan Keamanan Rakyat) untuk melucuti senjata tentara Jepang dan negosiasi pun berjalan dengan lancar
Akan tetapi usaha tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar, terdapat hambatan dari Kido Butai atau pasukan elite jepang yang dipimpin oleh Mayor Kido Shinishiro yang bermarkas di Jatingaleh. Pasukan elite tersebut menolak untuk menyerahkan senjata dan bahkan menghubungi kesatuan yang bermarkas di Sumowono dan Ambarawa agar bergabung guna memperkuat pertahanan di Semarang.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 12 Oktober 1945 para pemuda di Semarang mendatangi markas Kido Butai dan pada saat itu pula serdadu Jepang memperkuat pertahanan dan menembaki para pemuda. Jepang melakukan sweeping ke seluruh penjuru Kota Semarang.
Pada tanggal 14 Oktober 1945 terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh 400 mantan tentara Dai Nippon Jepang dimana mereka merupakan pekerja di Pabrik Gula Cepiring yang terletak di Kendal. Saat itu mereka akan dipindahkan ke Semarang tepatnya ke daerah Bulu, namun di tengah perjalanan mereka melarikan diri dari pengawalan. Para serdadu tersebut melakukan perlawanan dan kabur ke Jatingaleh. Di sana, mereka bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Mayor Kido, yaitu Batalion Kidobutai.
Setelah peristiwa kaburnya tawanan tentara Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, para pemuda memperoleh perintah untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara (sekarang RSUP dr. Kariadi). Para pemuda menyita sedan dan merampas senjata milik Kampetai. Para pemuda juga ikut mencari tentara Jepang yang lepas dari pengawalan dan kemudian mengirimnya ke Penjara Bulu.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 6 sore, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan serta melucuti delapan anggota polisi istimewa yang sedang menjaga satu-satunya sumber air milik warga Kota Semarang yaitu Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh.
Sore itu tersiar kabar bahwa tentara Jepang telah memberi racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang pada saat itu. Sebagai kepala laboratorium RS Purusara (sekarang RSUP dr. Kariadi) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Kepala rumah sakit Purusara segera menghubungi dr. Kariadi agar ia segera memeriksa tandon air tersebut.
Dokter Kariadi kemudian dengan cepat pergi ke sana. Akan tetapi pasukan Jepang sudah terlebih dahulu melakukan beberapa serangan salah satunya di sepanjang jalan menuju Reservoir Siranda. Istri dr. Kariadi, drg. Soenarti sempat mencegah suaminya pergi mengingat keadaan pada saat itu yang sangat genting. Namun dr. Kariadi tetap harus pergi ke sana, karena ia harus menyelidiki kebenaran berita itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan menuju tandon air Siranda, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi diadang oleh tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat kritis. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Berita kematian dr. Kariadi membuat para pemuda di Semarang semakin tersulut kemarahannya. Mereka memberanikan diri untuk turun dan melawan para mantan prajurit Jepang hanya dengan bermodalkan senjata bambu runcing.
Para mantan prajurit Jepang mulai melakukan pergerakan di Semarang dan melakukan perlawanan. Lebih dari 2.000 orang dari Kidobutai mendatangi Kota Semarang pada tanggal 15 Oktober 1945. Kedatangan mereka disambut hangat oleh para TKR dan para pemuda di Semarang pada saat itu. Pertempuran pun terjadi selama 5 hari antara kedua belah pihak. Kidobutai dan pasukan Jepang lainnya bergerak di bawah pimpinan Jenderal Nakamura. Pemberontakan ini terjadi di 4 titik di Kota Semarang, yaitu daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan di depan Lawang Sewu.
ADVERTISEMENT
Pertempuran 5 hari di Semarang merupakan sebuah konfrontasi fisik antara para pemuda di Semarang dengan tentara Jepang yang terjadi pada masa transisi. Peristiwa ini melibatkan sisa-sisa pasukan tentara Jepang yang masih berada di Indonesia dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau angkatan perang Indonesia pada masa itu.