Komnas HAM Usut Penembakan Belasan Warga oleh Polisi di Deiyai Papua

3 Agustus 2017 11:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi penembakan. (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penembakan. (Foto: Unsplash)
ADVERTISEMENT
Bentrokan yang terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua, menyebabkan satu orang tewas, bernama Yulius Pigai dan beberapa lainnya terluka.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Antara, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Kamal, mengatakan, peristiwa ini terjadi pada Selasa (1/8) sore. Kala itu ada warga yang meminta tolong diantar ke rumah sakit karena ada warga lain yang kondisi kesehatannya kritis. Namun tidak ada yang mengindahkan permintaan tolong itu hingga warga tersebut meninggal.
Akibatnya, warga mengamuk dan menyerang karyawan yang bertugas membangun jembatan karena dianggap tak memberikan bantuan. Mereka merusak peralatan camp dan menyerang para pekerja pembangunan jembatan itu dengan panah dan batu.
Kemudian sekitar pukul 17.30 WIT, polisi dari Satuan Brimob, mengeluarkan tembakan peringatan untuk membubarkan kerusuhan tersebut. Ada belasan orang yang terluka, dan 1 tewas. Warga menyebut, korban luka 17 orang sedangkan menurut polisi 19 orang.
ADVERTISEMENT
Menanggapi peristiwa ini, Komnas HAM menyampaikan tanggapannya. Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, mengutuk keras aksi penembakan ini.
"Komnas HAM wajib hukumnya turun ke lapangan untuk memantau kasus tersebut," ujar Maneger dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan (kumparan.com), Kamis (3/8).
Dia meminta pihak kepolisian untuk segera mengusut kasus ini secara tuntas, profesional, dan independen. "Siapa pun pelakunya, apa pun motifnya, dan siapa pun aktor intelektualnya harus dimintai pertanggungjawaban," ucapnya.
Maneger mengatakan, Presiden Joko Widodo seharusnya mengambil inisiatif dan memimpin penyelesaian kasus-kasus kemanusiaan di tanah Papua secara dialogis, damai, menyeluruh dan bermartabat. Menurutnya, permasalahan HAM di Papua sudah semakin parah.
"Masalah-masalah Papua sudah mendekati Maghrib. Sejarah NKRI di Tanah Papua menuntut bukti. Semoga masih ada waktu," tuturnya.
ADVERTISEMENT