Kesehatan Mental di Masa Pandemi dan Nasihat Justin Sudarminta untuk Milenial

Nurenza Huzaifa Ika Meilina
Mahasiswa S1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
16 Desember 2020 6:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurenza Huzaifa Ika Meilina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber : https://id.pinterest.com/pin/744501382145744201/
Setiap hari bermunculan berita-berita pandemi covid-19 hampir di semua media massa baik melalui media cetak, elektronik, hingga media sosial, hingga terkadang kita sudah benar-benar merasa bosan mendengar kata-kata yang berhubugan dengan covid-19. Sejak dideklarasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Desember 2019, para ilmuwan dan dokter diseluruh dunia berusaha mencari solusi untuk sindrom pernapasan coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit baru yaitu coronavirus 2019 atau yang kini kita kenal dengan nama Covid-19 . Namun meskipun demikian, hingga kini belum ada titik terang dari permasalahan ini karena belum ditemukan obat untuk Covid-19 hingga saat ini. Hampir setiap orang pasti setuju bahwa dengan adanya pandemi ini kita lebih banyak mendapat banyak kerugian daripada keuntungan secara finansial. Sering kita jumpai berita-berita tentang para pekerja yang dirumahkan hingga para pedagang yang mengaku dagangannya sepi di masa pandemi. Berdasarkan data Kementrian Ketenagakerjaan jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Mei 2020 mencapai 3,06 juta orang. Hal tersebut tentunya sangat mencengangkan mengingat itu bukanlah jumlah yang kecil. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melakukan penerapan new normal dengan menghimbau masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan agar masyarakat dapat kembali bekerja dan beraktivitas.
ADVERTISEMENT
Namun pernahkan kalian berpikir kapankah pandemi ini akan berakhir?
Bagi sebagian besar orang uang adalah kebahagiaan. Hal-hal yang paling disorot adalah perekonomian dan keuangan yang kacau di berbagai negara. Namun tahukah kalian ada yang luput dari perhatian kita lebih dari keuangan? Beberapa bulan sebelum diberlakukannya new normal di Indonesia, kita seakan terisolasi dari dunia luar, tak ada pertemuan secara langsung. Pergerakan kita terbatas karena hanya beraktivitas di dalam rumah. Interaksi – interaksi langsung dengan tiba-tiba berubah menjadi interaksi online melalui sosial media. Menatap segala sesuatu dibalik layar smartphone. Tentunya sangat membosankan, kebosanan ini menumpuk dan menumpuk menjadi stress dan stress yang tidak dapat dikelola dengan baik akan semakin buruk. Menahan rindu dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman karena terpisah jarak. Kehilangan orang tercinta, baik sahabat, kerabat, maupun keluarga karena terpapar covid-19 atau kehilangan keluarga karena tidak mempunyai uang untuk membeli beras di masa pandemi. Ada banyak alasan. Semua itu adalah kesedihan. Banyak orang merasa sendiri dan kesepian di tengah pandemi ini. Jika selama pandemi orang-orang berfokus tentang cara mendapatakan banyak uang maka sebagian orang juga berfokus tentang alasan mengapa mereka harus bertahan hidup di masa pandemi ini karena mereka kehilangan harapan untuk hidup. Hal tersebutlah yang luput dari perhatian kita. Dilansir dari www.bbc.com Steven Taylor, penulis The Psychology of Pandemics, dan profesor psikiatri di University of British Columbia, berpendapat bahwa “untuk 10-15% minoritas yang malang, hidup tidak akan kembali normal” karena dampak pandemi pada kesejahteraan mental mereka. Itu berarti bahwa meskipun telah diberlakukan new normal agar masyarakat tidak merasa terisolasi namun dampak yang ditimbulkan oleh masalah kesehatan mental adalah dampak yang berkepanjangan. Sebanyak 95% warga Indonesia dilaporkan tertekan karena covid-19 dan lebih dari 264 juta orang di seluruh dunia mengalami depresi. Devora Kestel, Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO mengatakan bahwa “Isu kesehatan mental ini harus diutamakan, kesehatan mental warga dunia terdampak parah akibat krisis ini.” Namun sayangnya jumlah tenaga profesional kesehatan mental berbanding terbalik dengan jumlah orang yang mengalami masalah kesehatan mental, tercatat satu orang tenaga profesional kesehatan mental per 10 ribu orang penderita gangguan kesehatan mental. Hal tersebut diungkapkan dalam saluran youtube BeritaSatu.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk masa depan negara ini?
Dalam hal ini kita bisa belajar dari salah seorang tokoh filsafat Indonesia, Prof. DR. Justinus Sudarminta atau Justin Sudarminta lulusan Fordham University, New York dengan anugerah gelar Doktor (PhD) di bidang filosofi yang sudah memiliki banyak karya hasil pemikirannya. Beliau menjabat sebgai Direktur Pasca Sarjana dan Ketua Program Doktor Ilmu Filsafat (S3) di STF Driyarkara. Meskipun demikian beliau adalah sosok yang ramah dan rendah hati, tercermin dari raut wajahnya yang selalu tersenyum. Beliau mengatakan bahwa “filsafat tidak cukup hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu, filsafat juga untuk mengarahkan pada tindakan yang baik.” Beliau juga mengakui yang intinya bahwa mendidik anak dan generasi muda untuk setia pada kebenaran bukanlah perkara mudah karena pendidikan nilai kebenaran dan kejujuran adalah bagian dari tugas kita bersama agar memiliki “hati nurani yang terdidik “ dikutip dari www.kompasiana.com. Perkataan tersebut harusnya menjadi cerminan diri bagi kita generasi muda untuk memiliki kepedulian yang besar terhadap hal-hal yang kerap diabaikan seperti masalah kesehatan mental. Jika satu orang tenaga profesional harus menangani 10 ribu penderita masalah kesehatan mental, maka di sinilah peran kita sebagi generasi milenial yang cerdas harus dimulai. Cerdas bukan hanya secara intelektual namun yang lebih penting dari itu adalah kecerdasan emosional, bagaimana kita mengenali perasaan kita sendiri dan memahami perasaan orang lain. Kebanyakan orang yang mengalami gangguan mental baik kecemasan maupun depresi cenderung menyembunyikan perasaan mereka agar terlihat baik-baik saja, tugas kita adalah mengulurkan tangan untuk membantu mereka. Kalian pasti bepikir ini adalah hal yang sulit untuk diakukan namun, pernahkan kalian mendengar kalimat “ kata-kata dapat menyelamatkan atau membunuh” ? Hal tersebut benar, kata-kata yang kita ucapkan dapat membangkitkan orang yang terpuruk atau menjatuhkan orang yang sedang terpuruk. Bedasarkan penelitian 64% populasi warga Indonesia adalah pengguna internet dan pengguna internet di Indonesia merupakan negara pengguna intenet terbesar ke-5 di dunia dan sebagian besar di dominasi oleh generasi muda. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Justin Sudarminta, hal itu tentunya menjadi kesempatan bagi kita untuk menyebarkarkan kebaikan melalui sosial media. Memberikan kata-kata penyemangat motivasi dan komentar-komentar positif yang membangun di sosial media, menjadi pendengar yang baik tanpa menyalahkan terlebih dulu, karena tidak pernah benar-benar tahu beban berat apa yang masih tersimpan dikepala orang lain dan seberapa besar usaha mereka untuk lakukan yang tebaik, seringkali tanpa sengaja kita menuliskan komentar-komentar yang menyakiti perasaan orang lain hingga tanpa kita sadari dibalik layar smartphone itu ada orang yang hatinya terluka karena kita. Sebagai generasi muda penerus bangsa, jadilah generasi yang penuh kepedulian dan bijak dalam menggunakan sosial media, kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir dan bukan tidak mungkin akan ada pandemi seperti ini di masa depan, untuk itu diperlukan kepeduian kita yang besar dengan melihat tidak hanya melalui mata saja namun juga mata hati. Barangkali, kata-kata yang kita sampaikan bisa menjadi penguat dan harapan hidup bagi banyak orang.
ADVERTISEMENT